Ilmuwan Ungkap Sejak Kapan Nenek Moyang Kera dan Monyet Suka Makan Buah-Buahan Lembut dan Manis
Peneliti menganalisis fosil gigi antropoid (nenek moyang kera dan monyet) yang ditemukan di gurun Fayum, Mesir.
Peneliti menganalisis fosil gigi antropoid (nenek moyang kera dan monyet) yang ditemukan di gurun Fayum, Mesir.
Ilmuwan Ungkap Sejak Kapan Nenek Moyang Kera dan Monyet Suka Makan Buah-Buahan Lembut dan Manis
Makanan antropoid awal, nenek moyang kera dan monyet, sejak lama menjadi perdebatan. Penelitian terhadap antropoid awal menyatakan makanan mereka terdiri dari buah-buahan lunak. Sedangkan beberapa spesies lainnya memiliki jenis makanan yang lebih beragam dan lebih keras seperti biji-bijian dan kacang-kacangan.
-
Bagaimana pisang melengkung? Ini menciptakan bentuk melengkung karena pisang secara efektif melipat dirinya sendiri untuk mencari matahari.
-
Siapa saja yang percaya akan mitos makan jantung pisang? Banyak masyarakat meyakini bahwa makan jantung pisang bisa membantu meningkatkan gairah seksual.
-
Mengapa pisang melengkung? Ketika pisang tumbuh, buah ini mulai berat dan mulai tenggelam ke tanag. Namun karena buah ini butuh cahaya ketika semakin dewasa, pisang mulai melengkung ke dalam untuk mencari sinar matahari.
-
Kenapa daun pisang sering digunakan sebagai pembungkus makanan? Daun pisang umumnya dipakai sebagai pembungkus alami untuk makanan karena bisa menambah cita rasa.
-
Di mana pisang merah dikaitkan dengan mitos pemanggil hujan? Di beberapa daerah, pisang merah juga dikaitkan dengan pemanggil hujan.
-
Kenapa daun pisang sering dipakai untuk bungkus makanan? Daun pisang menjadi pembungkus makanan yang lazim digunakan di Indonesia. Ambil saja contoh dari lemper, nasi bakar, pepes ikan, tempe, dan lain sebagainya. Yup, orang-orang pada zaman dulu sudah menggunakan daun pisang karena mereka masih belum mengenal apa itu plastik.
Sumber: The Conversation
Penelitian terbaru mengungkap peran dominan buah lunak. Hal ini kemungkinan besar mencakup berbagai jenis makanan yang matang dan tinggi gula, sebagaimana dibuktikan dengan adanya kerusakan gigi pada beberapa individu.
Hal ini memiliki implikasi penting untuk memahami bagaimana nenek moyang kita beradaptasi dan berevolusi.
Dalam studi baru ini, ilmuwan meneliti kerusakan gigi dan penyakit pada fosil gigi dari lima primata antropoid yang ditemukan di gurun Fayum, Mesir: Aegyptopithecus, Parapithecus, Propliopithecus, Apidium, dan Catopithecus.
- Ilmuwan Temukan Fosil Hiu Berusia 93 Juta Tahun, Giginya Bukan Untuk Mencabik Mangsa
- Temuan Fosil Berusia 86.000 Tahun di Gua Ini Ungkap Bagaimana Awalnya Manusia Tiba di Asia Tenggara
- Ilmuwan Temukan Fosil Monyet Berusia 10.000 Tahun di Dalam Gua Bawah Air, Cedera Pada Tengkorak Ungkap Penyebab Kematiannya
- Ilmuwan Temukan Sayatan Pada Fosil Mamut Berusia 39.000 Tahun, Ungkap Jejak Manusia Pertama di Kutub Utara
Peneliti fokus pada pola gigi terkelupas dan karies gigi (gigi berlubang), yang merupakan indikator utama dari kebiasaan pola makan.
Peneliti menemukan, pola makan buah-buahan lunak pada antropoid awal, berbeda dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menyatakan pola makan lebih bervariasi, termasuk makanan keras.
Hanya 5 persen gigi yang terkelupas (patah email ringan). Hal ini jauh lebih rendah daripada frekuensi yang diamati pada sebagian besar antropoid modern, di mana frekuensi gigi terkelupas berkisar antara 4 persen hingga 40 persen.
Selain itu, adanya karies gigi, terutama pada Propliopithecidae (keluarga primata yang telah punah termasuk Aegyptopithecus dan Propliopithecus), konsisten dengan konsumsi rutin buah-buahan yang lembut dan manis.
Penelitian ini juga mendukung penelitian sebelumnya yang menunjukkan gaya hidup arboreal (hidup di pohon) pada antropoid awal. Primata darat sering kali menunjukkan prevalensi gigi terkelupas yang lebih tinggi karena pola makan yang lebih bervariasi dan konsumsi pasir yang tidak disengaja saat mencari makan di tanah, namun hal ini tidak terlihat dalam temuan terbaru.
Preferensi terhadap buah-buahan lunak kemungkinan besar berdampak signifikan pada eksplorasi relung ekologi, dan bahkan pada perkembangan penglihatan primata antropoid. Hal ini termasuk penglihatan warna yang kemungkinan berkembang sebagai kebutuhan untuk menemukan buah matang di antara dedaunan.
Hal ini juga akan mempengaruhi bentuk gigi, perilaku sosial dan strategi mencari makan, sehingga memicu terjadinya radiasi adaptif, yang mengarah pada penyebaran dan diversifikasi monyet dan kera secara global.
Evolusi cepat beragam spesies dari awal mula antropoid yang sederhana ini kemungkinan besar merupakan respons terhadap terbukanya peluang ekologi baru.
Foto: Matt Borths via The Conversation
Primata lain yang berkerabat lebih jauh dengan manusia, dalam subordo primata Strepsirrhini, yang mencakup lemur dan kukang, terpisah dari nenek moyang antropoid jutaan tahun sebelumnya.
Berbeda dengan antropoid, Strepsirrhini menunjukkan variasi pola makan yang besar dalam interval waktu yang sama. Makanan fosil lemur dan kukang kemungkinan besar terdiri dari makanan keras dan keras, serangga, permen karet, dedaunan, dan buah-buahan.
Sebaliknya, nenek moyang kita sendiri membutuhkan waktu lama untuk beralih dari pola makan yang berbasis buah-buahan lunak. Perjalanan kita ke masa lalu untuk mengungkap kehidupan nenek moyang kita terus berlanjut, dengan setiap fosil menambah potongan baru pada teka-teki evolusi primata awal.