Larangan Membawa Tanah dari Makkah atau Madinah ke Kampung Halaman, Ini Dia Hukum dan Konsekuensinya
Hukum membawa pulang tanah dari Makkah dan Madinah ke kampung halaman.
Hukum dan konsekuensi membawa tanah dari tanah suci ke kampung halaman.
Larangan Membawa Tanah dari Makkah atau Madinah ke Kampung Halaman, Ini Dia Hukum dan Konsekuensinya
Sering kali disebut sebagai Haramain, atau dua tanah suci, keduanya memiliki batas wilayah tertentu.
Tanah Haram mengacu pada wilayah kota Makkah dan Madinah yang memiliki keistimewaan khusus. Sebagai tempat asal Islam dan tempat yang dimuliakan yang dihuni oleh tokoh-tokoh agung dalam keyakinan Islam, kedua kota ini menjadi sangat dihormati. Karena kedua kota ini dianggap suci, tidak mengherankan jika banyak jamaah haji atau wisatawan yang berharap membawa pulang sedikit tanah suci sebagai kenang-kenangan.
Namun, apakah boleh membawa pulang tanah suci dari Makkah dan Madinah? Dan apa konsekuensinya jika seseorang nekat melakukannya? Berikut adalah penjelasannya.
Hukum Membawa Pulang Tanah dari Makkah dan Madinah yang Suci
Ustadz Muhammad Hanif Rahman dari Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo di NU Online mengungkapkan perbedaan pendapat ulama tentang membawa Tanah Suci pulang ke Tanah Air, baik untuk tabaruk atau sebagai produk perabotan.
-
Kapan surat hibah tanah ditandatangani? Surabaya, 10 Oktober 2022
-
Siapa yang mewakafkan tanah untuk Masjid Jami Al Makmur Cikini? Sejarah berdirinya Masjid Jami Al Makmur dimulai ketika mestro lukis kenamaan Indonesia Raden Saleh, mewakafkan tanah milik pribadinya.
-
Kapan Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekkah ke Madinah? Tahun Baru Islam dimulai pada tanggal 1 Muharram dan memperingati peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah, yang menjadi tonggak penting dalam sejarah Islam.
-
Siapa yang hijrah dari Makkah ke Madinah? Hari ini merupakan peringatan penting saat Rasulullah SAW hijrah, dari Kota Makkah ke Madinah pada tahun 622 M.
-
Bagaimana tanah masjid bisa dijual? Tanah tempat masjid berdiri memang belum diwakafkan dan pemiliknya mengaku butuh uang untuk membangun pesantren. Di masjid itu terpampang spanduk dengan tulisan bahwa tanah itu akan dijual. Nama pemiliknya pun tertulis, yakni Hilda Rahman, lengkap dengan nomor handphone serta nomor sertifikat hak milik atas tanah tempat masjid berdiri.
-
Bagaimana tingkatan hukum makruh dalam Islam? Secara umum, hukum makruh adalah sesuatu yangtidak disukai atau dihindari dalam agama Islam, meskipun tidak diharamkan secara tegas.
صَرَّحَ الشَّافِعِيَّةُ بِحُرْمَةِ نَقْل تُرَابِ الْحَرَمِ وَأَحْجَارِهِ وَمَا عُمِل مِنْ طِينِهِ - كَالأَْبَارِيقِ وَغَيْرِهَا - إِِلَى الْحِل، فَيَجِبُ رَدُّهُ إِِلَى الْحَرَمِ، وَنُقِل عَنْ بَعْضِ الشَّافِعِيَّةِ كَرَاهَتُهُ
Artinya: "Madzhab Syafi'iyah menjelaskan tentang keharaman memindahkan tanah atau debu dan bebatuan Tanah Haram dan apapun yang dibuat dengan tanah liat Tanah Haram seperti kendi dan selainnya ke tanah halal, dan wajib mengembalikannya ke Tanah Haram. Dikutip dari sebagian ulama Madzhab Syafi'iyah tentang kemakruhannya."
Artinya: "Menurut Madzhab Abu Hanifah tidak masalah mengeluarkan bebatuan dan tanah atau debunya Tanah Haram. Pendapat ini dinukil Imam Syafi'i dalam kitab Al-Um, pendapat ini juga adalah pendapat yang dinukil dari sahabat Umar dan Ibnu Abbas akan tetapi keduanya menilai makruh hal tersebut."
Akibat dari Membawa Bahan dari Tanah Suci ke Kampung Halaman
Menurut Syekh Wahbah az-Zuhaili, mayoritas ulama dari Madzhab Syafi'i berpandangan bahwa membawa tanah, debu, batu, atau barang dari Tanah Suci adalah makruh.
Dalam Madzhab Syafi'i, ketika sesuatu yang diharamkan dibawa pulang, seringkali orang yang mengambilnya diwajibkan untuk mengembalikannya ke tempat semula.
Jika tidak, tidak ada ganti rugi. Ini bisa dibandingkan dengan memotong rumput kering di Tanah Suci. Untuk penjelasan lebih lanjut, dapat ditemukan dalam Hawasyi asy-Syarwani, sebuah komentar atas Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar.
Artinya, "Perkataan mushanif: "Maka ia harus mengembalikannya". Yakni, maka apabila tidak melakukannya tidak ada dhoman (tanggungan pertanggungjawaban) karena hal tersebut (tanah, debu dan batu) bukanlah perkara yang bertumbuh kembang. Maka dalam hal ini menyerupai rumput kering. Ini adalah ungkapan Imam Ali As-Syibromalisi. Ungkapan Imam Ramli:
"Menyerupai rumput" yakni, dalam tidak adanya dhoman belaka." (Abdul Hamid Asy Syarwani dan Ahmad bin qosim, Hawasyi asy Syarwani Syarah Tuhfatul Muhtaj, [Bairut, Darul Ihya' Thurots: th.t], juz IV halaman 194).