Ogah Jadi Corong Pemerintah dan Kerap Kritik Perang Israel di Gaza, Koran Tertua di Israel Dijatuhi Sanksi
Ini adalah usaha terbaru Israel untuk menyerang media.
Kabinet Israel memberikan suara secara bulat untuk menerapkan sanksi terhadap Haaretz, surat kabar tertua di negara penjajah tersebut Keputusan ini diambil pada Minggu (24/11), sebagai respons atas liputan kritis yang disajikan Haaretz terkait perang yang dilancarkan Israel di Jalur Gaza, Palestina sejak 7 Oktober 2023. Liputan tersebut mencakup investigasi mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan tentara penjajah Israel (IDF) di tengah operasi militer yang meluas di Jalur Gaza hingga Lebanon.
Sanksi tersebut diberlakukan setelah Menteri Komunikasi Israel, Shlomo Kar'i, mengajukan proposal yang bertujuan untuk menghentikan semua iklan pemerintah di Haaretz serta membatalkan langganan surat kabar tersebut bagi pegawai negeri dan karyawan perusahaan milik negara.
- Laporan: Tentara Israel Tidak Akan Tinggalkan Gaza Sebelum 2026
- Tentara Israel Mengaku Sudah Lelah Berperang di Gaza, Menolak Bertugas Karena Tak Ada Kepastian Kapan Pulang
- Koran Israel Ini Berani Terang-Terangan Sebut Netanyahu Lakukan Pembersihan Etnis di Gaza
- Israel Bunuh Jurnalis Palestina, Media Barat Tutupi Kebenaran Genosida di Gaza
"Kita tidak boleh membiarkan keadaan di mana penerbit surat kabar resmi Israel menyerukan sanksi terhadap negaranya dan mendukung musuh-musuh negara di tengah perang, sementara badan internasional merongrong legitimasi Israel, haknya untuk membela diri, dan bahkan memberlakukan sanksi terhadap negara serta pemimpin-pemimpinnya," jelas Kar'i setelah pemungutan suara, seperti dilansir CNN, Rabu (27/11).
Amos Schocken, penerbit Haaretz, juga mendapat kritik tajam setelah menyebut Hamas sebagai "pejuang kebebasan" Palestina dalam pidatonya pada acara yang diselenggarakan oleh Haaretz di London pada 27 Oktober.
"Pemerintah (Israel) tidak peduli dengan penerapan rezim apartheid yang kejam terhadap rakyat Palestina. Pemerintah mengabaikan harga yang harus ditanggung kedua belah pihak untuk mempertahankan permukiman, sementara memerangi pejuang kebebasan Palestina yang disebut Israel sebagai teroris," kata Schocken dalam pidatonya.
Setelah menerima banyak kecaman, Schocken menjelaskania tidak menganggap militan Hamas sebagai pejuang kebebasan. Dalam editorialnya, Haaretz menyatakan bahwa pernyataan Schocken merujuk kepada "warga Palestina yang hidup di bawah pendudukan dan penindasan di Tepi Barat".
Dalam pidatonya, Schocken juga menyerukan agar dunia mengenakan sanksi terhadap pemimpin Israel sebagai satu-satunya cara untuk mendorong perubahan kebijakan pemerintah.
"Apa yang terjadi di wilayah pendudukan dan sebagian Gaza bisa disebut Nakba kedua," ujarnya.
"Negara Palestina harus dibentuk dan satu-satunya cara untuk mewujudkannya adalah dengan memberi sanksi pada Israel, pada pemimpin-pemimpinnya, dan para pemukim."
Tak Mau Jadi Corong Pemerintah
Selain pernyataan Schocken di London, Kar'i juga mengatakan keputusan tersebut diambil "setelah banyak artikel yang merusak legitimasi Israel di dunia dan haknya untuk membela diri."
Haaretz mengecam keputusan pemerintah, menyebutnya sebagai "langkah lain dalam upaya Benjamin Netanyahu untuk menghancurkan demokrasi Israel".
"Seperti teman-temannya (Vladimir) Putin, (Recep Tayyip) Erdogan, dan (Viktor) Orban, Netanyahu berusaha membungkam surat kabar yang kritis dan independen," kata Haaretz dalam pernyataannya.
"Haaretz tidak akan mundur dan tidak akan berubah menjadi alat propaganda pemerintah."
Keputusan pemerintah Netanyahu ini diambil dua bulan setelah militer Israel menutup kantor Al Jazeera di Ramallah dan enam bulan setelah penutupan operasi penyiaran Al Jazeera di Israel, yang memicu kecaman dari PBB dan organisasi hak asasi manusia. Di sisi lain, pada hari Jumat, 22 November, Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) melaporkan setidaknya 137 jurnalis dan pekerja media termasuk di antara puluhan ribu orang yang tewas di Jalur Gaza, Tepi Barat, Israel, dan Lebanon sejak perang dimulai. Ini menjadi periode paling mematikan bagi jurnalis sejak CPJ mulai mengumpulkan data pada tahun 1992.