Pemberontak Suriah Pernah Ungkap Mereka 'Cinta Israel', Dibantu Persenjataan Senilai Miliaran Dolar oleh AS
AS mengirim bantuan senjata ke kelompok pemberontak Suriah sejak demonstrasi pecah pada 2011.
Pemberontak yang menggulingkan rezim Presiden Bashar Al-Assad di Suriah disebut mendapat dukungan persenjataan dan pelatihan militer dari Amerika Serikat (AS). Sejumlah kelompok pemberontak ini terkait dengan Al-Qaida dan ISIS.
Penasihat Keamanan Nasional AS, Jake Sullivan, mengakui dukungan tersebut pada 2012 lalu, mengatakan "AQ (Al-Qaida) berada pada pihak kita di Suriah", seperti dikutip dari laman Geopolitical Economy, Selasa (10/12).
- Pemukim Israel Beli Ratusan Senapan Kaliber Tinggi untuk Bantai Warga Palestina di Tepi Barat
- Sedang Salat Subuh, 100 Warga Gaza Tewas Dihantam Serangan Udara Israel
- Dahsyatnya Dana Tak Berseri Pro-Zionis Israel buat Dukung Calon Anggota Kongres AS, Pendukung Palestina Terancam
- Indonesia Tegas Dukung Palestina, MUI Serukan Israel Adalah Musuh Bersama
Hal tersebut diungkapkan Sullivan ketika menjadi penasihat utama Menteri Luar Negeri Hillary Clinton. Ketika itu, dia menggunakan alamat surel Departemen Luar Negeri untuk mengirim pesan ke Hillary Clinton, yang kemudian diretas WikiLeaks.
AS juga mengirim bantuan senjata ke kelompok pemberontak Suriah sejak demonstrasi pecah pada 2011. CIA memiliki program untuk mempersenjatai dan melatih kelompok pemberontak sebagai upaya untuk menggulingkan pemerintah Suriah. Menurut laporan The Washington Post pada 2015, program ini memiliki “anggaran mendekati USD1 miliar per tahun”.
Program CIA ini, yang disebut Operasi Timber Sycamore, menurut New York Times, adalah “salah satu upaya paling mahal untuk mempersenjatai dan melatih pemberontak sejak program badan tersebut mempersenjatai mujahidin di Afghanistan pada tahun 1980an”, yang dikenal sebagai Operasi Topan.
Sama seperti Operasi Topan di Afghanistan yang membuka jalan bagi Al-Qaida dan Taliban, Operasi Timber Sycamore di Suriah memicu pertumbuhan Al-Qaida dan ISIS.
Pentagon secara terbuka mengakui pada tahun 2015 bahwa pemberontak yang dipersenjatai dan dilatih AS dan sekutunya memberikan senjata mereka kepada afiliasi Al-Qaida di Suriah, Front al-Nusra.
"Cinta Israel"
Israel juga secara langsung mendukung “pemberontak” yang terkait dengan Al-Qaida di Suriah. Pada 2019, Kepala Staf Pasukan Penjajah Israel (IDF), Gadi Eisenkot secara terbuka mengakui Israel telah memberikan senjata kepada pemberontak Suriah yang mencoba menggulingkan pemerintahan Presiden Assad.
The Times of Israel melaporkan pada 2015 bahwa “Israel telah membuka perbatasannya dengan Suriah untuk memberikan perawatan medis kepada Front Nusra dan pejuang al-Qaida yang terluka dalam perang saudara yang sedang berlangsung”.
Beberapa pemberontak yang terkait dengan Al-Qaida dari Aleppo dan Idlib juga disebut pernah mengatakan kepada media Israel, Kan, bahwa mereka "cinta Israel". Mereka berjanji membangun rezim baru pro-Barat di negara tersebut.
"Kami mencintai Israel dan kami tidak pernah menjadi musuhnya… (Israel) tidak memusuhi mereka yang tidak memusuhinya. Kami tidak membencimu, kami sangat mencintaimu," kata pemberontak tersebut.
Menurut Times of Israel, militan Suriah memuji Israel karena menyerang Hizbullah. Mereka memuji perang Israel di Lebanon karena membantu mereka menaklukkan Aleppo.
Seorang komandan pemberontak Suriah mengatakan kepada Channel 12 Israel, para militan berusaha untuk menggulingkan Presiden Bashar al-Assad dan membentuk pemerintahan baru yang memiliki hubungan baik dengan semua negara di kawasan, “termasuk dengan Israel”.
Israel selama bertahun-tahun telah memberikan senjata dan bentuk dukungan lainnya kepada “pemberontak” ekstremis di Suriah, termasuk Al-Qaida. Mereka berhasil menggulingkan pemerintahan Presiden Bashar al-Assad yang menolak mengakui Israel dan memberikan bantuan militer kepada kelompok perlawanan Palestina.
Afiliasi Al-Qaida
Militan jihadis Salafi yang merebut kota terbesar kedua di Suriah, Aleppo, pada akhir November, dan kemudian mengambil alih Damaskus pada 8 Desember, digambarkan secara simpatik di media Barat sebagai “pemberontak”, namun mereka dipimpin oleh Al-Qaida.
Kelompok bersenjata utama yang menaklukkan Suriah disebut Hay’at Tahrir al-Sham (HTS), yang muncul dari afiliasi Al-Qaida di negara tersebut, Jabhat al-Nusra (juga dikenal sebagai Front Nusra). Ini sebelumnya merupakan cabang Al-Qaida terbesar di dunia.
HTS menjauhkan diri dari Al-Qaida dinilai sebagai bagian dari kampanye untuk menggambarkan dirinya sebagai lebih “moderat” untuk mendapat dukungan Barat. Lembaga pemikir neokonservatif di Washington menyebut pemimpin HTS sebagai “jihadis yang ramah terhadap keberagaman”, namun mereka masih mempertahankan ideologi fasis yang sama. Terlepas dari itu, pemerintah AS secara resmi mengakui HTS sebagai organisasi teroris pada tahun 2018.
Dipuji Netanyahu
Namun, sebutan teroris seperti ini tidak menghentikan AS dan sekutunya di Israel, Turki, dan negara-negara Teluk untuk memberikan dukungan kepada kelompok-kelompok yang terkait dengan Al-Qaida di Suriah.
HTS sebelumnya telah mendirikan pemerintahan de facto di provinsi Idlib, barat laut Suriah, dengan bantuan langsung dari Turki, anggota NATO. HTS menyerang Aleppo pada November lalu bergerak ke selatan dan merebut ibu kota Damaskus, menggulingkan pemerintah.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memuji kemenangan pasukan pemberontak tersebut. Netanyahu dengan bangga menyatakan jatuhnya Assad adalah “akibat langsung dari serangan yang kami lakukan terhadap Iran dan Hizbullah”.