Qatar Umumkan Hamas dan Israel Sepakat Gencatan Senjata di Gaza, Berlaku Mulai 19 Januari
Gencatan senjata ini belum langsung diterapkan, karena masih ada proses yang perlu dilalui terlebih dahulu.
Hamas dan Israel telah sepakat untuk melaksanakan gencatan senjata di Jalur Gaza, yang juga mencakup pembebasan para sandera. Kesepakatan ini menetapkan gencatan senjata awal selama enam minggu, di mana pasukan Israel akan ditarik secara bertahap dari Jalur Gaza. Para sandera yang ditangkap oleh Hamas akan dibebaskan sebagai imbalan atas pembebasan tahanan Palestina yang saat ini berada di Israel. Dalam konferensi pers yang berlangsung di Doha, Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani menginformasikan bahwa gencatan senjata ini akan mulai efektif pada hari Minggu (19/1/2025).
"Kesepakatan ini akan menghentikan pertempuran di Jalur Gaza, mempercepat bantuan kemanusiaan untuk warga Palestina, dan menyatukan para sandera dengan keluarga mereka setelah lebih dari 15 bulan dalam penahanan," ujar Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden di Washington, seperti yang dikutip dari CNA pada hari Kamis (16/1). Warga Palestina menyambut baik berita mengenai kesepakatan ini dengan merayakannya di jalan-jalan Jalur Gaza. Di Khan Younis, kerumunan memadati jalanan, membunyikan klakson, bersorak, mengibarkan bendera Palestina, dan menari dengan penuh sukacita. "Saya sangat bahagia, ya, saya menangis, namun ini adalah air mata kebahagiaan," ungkap Ghada, seorang ibu yang terpaksa mengungsi bersama lima anaknya.
- Qatar Ungkap Negosiasi Gencatan Senjata di Gaza Sudah Capai Tahap Akhir
- Hamas Dilaporkan Siap Bebaskan 34 Tawanan Israel Setelah Kesepakatan Gencatan Senjata dan Pertukaran Tahanan
- Israel Tawarkan 2 Bulan Gencatan Senjata di Gaza, Ini Syaratnya
- Israel Izinkan Bantuan Masuk ke Gaza Tapi Ada Syaratnya, Begini Isi Kesepakatannya dengan Hamas
Di Tel Aviv, keluarga para sandera Israel dan teman-teman mereka merayakan kabar baik ini. Mereka merasakan kegembiraan dan kelegaan yang mendalam atas kesepakatan yang memungkinkan mereka untuk membawa orang-orang terkasih pulang. "Penerimaan Israel terhadap kesepakatan ini belum resmi sampai disetujui oleh Kabinet Keamanan dan pemerintah Israel, dengan pemungutan suara yang dijadwalkan pada hari Kamis," jelas seorang pejabat Israel. Meskipun ada penolakan dari beberapa anggota pemerintahan koalisi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, kesepakatan ini diperkirakan akan disetujui. Salah satu penentang, Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, kembali mengutuk kesepakatan tersebut pada hari Rabu (15/1).
Presiden Israel Isaac Herzog mendesak kabinet dan pemerintah Israel untuk menerima dan menyetujui kesepakatan ini. "Dengan mengorbankan banyak darah, melalui upaya keamanan, diplomatik, dan sosial yang sangat besar, kita telah menciptakan sebuah momen kesempatan. Kita harus memanfaatkannya," tegas Herzog, seperti yang dikutip dari kantor berita NPR. Kantor Perdana Menteri Israel menyatakan bahwa Netanyahu telah menelepon Biden dan presiden terpilih AS Donald Trump untuk mengucapkan terima kasih serta menyatakan rencananya untuk segera mengunjungi Washington. Dalam sebuah pernyataan di media sosial terkait gencatan senjata, Hamas menyebut kesepakatan ini sebagai "sebuah pencapaian bagi rakyat kami" dan "sebuah titik balik."
Mengurangi ketegangan di tingkat regional
Jika gencatan senjata berhasil dilaksanakan, hal ini akan menghentikan pertempuran yang telah menghancurkan sebagian besar Jalur Gaza yang padat penduduk. Akibatnya, banyak penduduk asli wilayah ini, yang sebelumnya berjumlah 2,3 juta orang, terpaksa mengungsi. Langkah ini diharapkan dapat meredakan ketegangan yang melanda Timur Tengah, di mana konflik telah menyebar ke Tepi Barat yang diduduki Israel, Lebanon, Suriah, Yaman, dan Irak. Selain itu, kekhawatiran akan terjadinya perang besar antara Israel dan Iran juga semakin meningkat.
Seorang sumber mengungkapkan bahwa tahap awal dari kesepakatan ini mencakup pembebasan 33 sandera Israel, termasuk semua wanita, anak-anak, dan pria di atas usia 50 tahun. Di antara mereka yang akan dibebaskan pada fase pertama adalah dua sandera asal AS, Keith Siegel dan Sagui Dekel-Chen. Kesepakatan ini juga mencakup peningkatan bantuan kemanusiaan untuk Jalur Gaza. Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, menekankan bahwa "prioritas saat ini harus untuk meredakan penderitaan luar biasa yang disebabkan oleh konflik ini." Baik PBB maupun Komite Palang Merah Internasional telah menyatakan bahwa mereka tengah mempersiapkan untuk meningkatkan operasi bantuan secara signifikan.
Kesepakatan gencatan senjata dan pembebasan sandera ini tercapai setelah melalui berbulan-bulan negosiasi yang rumit dan berulang, yang dilakukan oleh mediator dari Mesir dan Qatar, dengan dukungan dari AS. Kesepakatan ini datang tepat menjelang pelantikan Trump pada hari Senin (20/1). Dalam akun media sosialnya, Trump menyatakan bahwa kesepakatan ini tidak akan terwujud jika dirinya tidak memenangkan Pilpres AS 2024. Utusan Timur Tengah Trump, Steve Witkoff, hadir di Qatar bersama utusan Gedung Putih untuk negosiasi, dan seorang pejabat senior pemerintahan Biden menyebutkan bahwa kehadiran Witkoff sangat penting untuk mencapai kesepakatan setelah 96 jam negosiasi yang intensif. Biden mengungkapkan bahwa kedua tim "telah berbicara sebagai satu kesatuan," meskipun pemerintahan Trump akan menangani sebagian besar pelaksanaan kesepakatan ini.
Ke depan, situasi akan menjadi rumit, dengan kemungkinan adanya hambatan politik. Keluarga sandera Israel menyatakan kekhawatiran bahwa kesepakatan yang ada mungkin tidak sepenuhnya terlaksana, sehingga beberapa sandera bisa saja tertinggal di Jalur Gaza. Negosiasi untuk melaksanakan fase kedua dari kesepakatan ini dijadwalkan dimulai pada hari ke-16 setelah fase pertama, dan tahap ini diharapkan akan mencakup pembebasan semua sandera yang masih tertahan, gencatan senjata permanen, serta penarikan total pasukan Israel dari Jalur Gaza.
Selanjutnya, tahap ketiga diharapkan akan membahas pemulangan semua jenazah yang belum teridentifikasi dan dimulainya proses rekonstruksi Jalur Gaza, yang akan diawasi oleh Mesir, Qatar, dan PBB. Trump mengungkapkan bahwa ia akan memanfaatkan kesepakatan gencatan senjata ini sebagai momentum untuk memperluas Abraham Accords, yaitu perjanjian yang didukung oleh AS untuk mengnormalisasi hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab selama masa kepresidenannya antara 2017 hingga 2021. Jika segala sesuatunya berjalan sesuai rencana, Palestina, negara-negara Arab, dan Israel masih harus mencapai kesepakatan mengenai visi untuk Jalur Gaza pasca-perang, yang merupakan tantangan besar karena melibatkan jaminan keamanan bagi Israel serta investasi miliaran dolar untuk proses rekonstruksi.
Salah satu pertanyaan yang belum terjawab adalah siapa yang akan menguasai Jalur Gaza setelah konflik berakhir? Israel menolak keterlibatan Hamas, yang telah menguasai wilayah tersebut sejak 2007 dan secara resmi berkomitmen untuk menghancurkan Israel. Namun, Israel juga menolak pemerintahan oleh Otoritas Palestina, yang merupakan entitas yang dibentuk berdasarkan perjanjian perdamaian sementara Oslo tiga dekade lalu dan memiliki kekuasaan terbatas di Tepi Barat. Invasi Israel ke Jalur Gaza terjadi setelah kelompok bersenjata yang dipimpin oleh Hamas menembus penghalang keamanan dan menyerang komunitas di dekat perbatasan Israel pada 7 Oktober 2023. Israel melaporkan 1.200 orang tewas dan lebih dari 250 orang diculik pada hari tersebut. Serangan udara dan darat yang dilakukan oleh Israel di Jalur Gaza telah mengakibatkan lebih dari 46.000 orang tewas, menurut data dari otoritas kesehatan Jalur Gaza, dengan ratusan ribu orang terlantar yang berjuang menghadapi dinginnya musim dingin di tenda-tenda dan tempat penampungan darurat.