Cerita Rasisme Stasiun Tanjung Priok di Zaman Kolonial, Ruang Tunggu Penumpang Belanda dan Pribumi Terpisah
Diperkirakan pada abad ke-20, penumpang Belanda enggan menyatu dengan pribumi sehingga dibangun ruang terpisah di stasiun.
Tidak dipungkiri kehadiran pemerintah kolonial di masa silam amat berperan dalam kehadiran fasilitas transportasi modern di Indonesia. Stasiun Tanjung Priok jadi salah satu bangunan megah, yang pernah dibangun di Hindia Belanda.
Adanya stasiun ini turut membantu mobilitas warga, termasuk perdagangan dan perindustrian. Barang dari pelabuhan bisa terdistribusi dengan cepat ke pusat kota Batavia, tanpa harus antre di jalan karena menggunakan kereta kuda.
-
Bagaimana desain atap Stasiun Tanjung Priok? Centraal Station Amsterdam.
-
Bagaimana sejarah Museum di Puro Mangkunegaran? Museum ini terletak tak jauh dari Balai Kota Solo, berdasarkan sejarahnya, museum ini sudah dibangun sejak tahun 1867 dan dulunya digunakan sebagai kantor untuk De Javasche Bank Agentschap Soerakarta.
-
Dimana tempat wisata sejarah di Jakarta yang memiliki penjara bawah tanah? Menariknya, di bawah museum fatahilah ini terdapat berbagai penjara bawah tanah yang bisa kamu kunjungi dan dapat merasakan bagaimana di dalam penjara tersebut.
-
Bagaimana menara tersebut di gambarkan dalam sumber sejarah? Menara ini memiliki empat sisi yang tergambar dengan jelas dalam ilustrasi kuno.
-
Di mana pusat pemerintahan Kerajaan Tarumanegara berada? Saat dipimpin Purnawarman, pusat pemerintahannya terletak di antara Kecamatan Tugu, Jakarta Utara dan Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
-
Dimana Stasiun Tanjungkarang terletak? Kota Bandar Lampung memiliki stasiun yang terkoneksi dengan Kota Palembang, Sumatra Selatan, yang bernama Stasiun Tanjungkarang.
Sayangnya, di balik kehadirannya yang dianggap mentereng pada masa itu turut terdapat kisah pilu yang diduga rasisme di sana. Saat beroperasi antara tahun 1900-an awal, para penumpang Belanda enggan menyatu dengan para pribumi.
Lebih parah lagi, pengelola sampai harus memisah ruang tunggu bagi penumpang Belanda dan pribumi. Restoran pun juga dibedakan, dengan menu yang jauh dari setara.
Sampai sekarang, ruang tunggu yang dibedakan masih bisa disaksikan bentuk fisiknya. Berikut kisah rasisme di Stasiun Tanjung Priuk yang pernah terjadi di masa silam.
Kemegahan Stasiun Tanjung Priok Terinspirasi dari Stasiun di Amsterdam
Menurut sejarah, desain atap dari Stasiun Tanjung Priok terinspirasi dari Centraal Station di Amsterdam, Belanda. Bentuknya melengkung memanjang mirip terowongan, dengan susunan rangka baja yang saling terhubung.
Merujuk Wikipedia, struktur rangka dibuat sepenuhnya di Machinefabriek Braat, Ngagel, Surabaya. Kemudian, disusun di bagian atap dengan tenaga ahli agar hasilnya presisi.
- Kisah Lucu Berbalut Horor ‘Noni Belanda’ di RSCM
- Menilik Sejarah Gedung Balai Kota Padang, Bangunan Klasik yang Kental dengan Budaya Kolonial
- Nyaris Satu Abad Melawan Kolonial, Begini Kisah Keluarga Suropati yang Berujung Tragis di Tangan Belanda
- Sejarah Pesanggrahan Menumbing, Saksi Bisu Pengasingan Tokoh Nasional dan Perjanjian Roem-Royen
Setidaknya stasiun ini pernah dua kali berada di masa jaya, pertama pada 1885 ketika stasiun baru diresmikan. Kemudian, keberadaannya dipindah di tahun 1925 saat pemerintah Hindia Belanda memasang rel listrik untuk konektivitas trem.
Nuansa Khas Kolonial Terasa di Stasiun Tanjung Priok
Bagi penyuka sejarah, Stasiun Tanjung Priok jadi tempat menarik untuk dijelajahi. Hampir seluruh bangunannya masih mempertahankan gaya art deco, dengan bentuk jendela dan pintu yang tinggi dan berpola setengah kubah.
Kemudian, seluruh dindingnya dicat menggunakan warna putih sehingga menampakkan kesan abad ke-20 awal. Pilar-pilar yang menopangnya juga masih dipertahankan sejak bangunan ini didirikan.
“Stasiun Tanjung Priok ini menariknya sudah beroperasi sejak zaman Belanda, ya. Tepatnya di tahun 1925,” kata pengamat sejarah Candrian Attahiyyat di kanal Youtubenya, dikutip Selasa (1/10).
Kisah Rasisme di Stasiun Tanjung Priok saat Zaman Belanda
Di balik kemegahannya, stasiun ini turut menyimpan sisi kelam. Di masa silam saat masih dipegang oleh pemerintah kolonial, terjadi rasial antara penumpang Belanda dan pribumi di sana.
Menurut Candrian, pengelola sampai membuat ruangan tersendiri bagi penumpang agar tidak bercampur. Belanda dengan ruang tunggunya yang besar dan megah, sedangan irlander atau pribumi berukuran lebih kecil.
“Dan yang menarik dari stasiun ini adalah, terjadinya perlakuan terhadap penumpang. Jadi penumpang pribumi dan Eropa itu ditempatkan secara berbeda,” katanya.
Ukuran Ruang Tunggu Pribumi dan Eropa
Secara jelas, rasisme yang terjadi pada masa itu adalah pemisahan penumpang antara Eropa dengan pribumi. Pemisahnya adalah ruangan tengah menuju peron jalur kereta api.
Candrian menyebut bahwa ruang tunggu pribumi dan Belanda memiliki ukuran yang hampir sama. Keduanya juga memiliki restoran yang berbatasan dengan ruang tunggu tersebut. Namun saat ini hanya satu bekas restoran yang masih bisa dilihat.
“Restoran ruang tunggu Eropa besar sekali, kemungkinan hanya menunya saja yang berbeda, kalau pribumi mungkin singkong rebus, tapi kalau Eropa tentu saja roti,” katanya.
Candrian sendiri membandingkan ruang kedua berdasarkan peta De Ingenieur yang terbit pada 12 Januari 1929. Di sana terlihat memang ruang tunggu keduanya saling berjuhan. Peta ini juga memuat secara utuh denah dari stasiun Tanjung Priok.