Tari Klasik Cirebon Ini Pernah Tak Dipentaskan Puluhan Tahun, Dianggap Sakral dan Sulit Cari Penerus
Sukarnya tarian ini bertahan, karena sulitnya mencari penerus yang sesuai. Hal ini karena Bedaya Rimbe dianggap sakral dan tak boleh dibawakan sembarang orang.
Tahukah Anda bahwa Cirebon memiliki sebuah tarian klasik yang sudah langka bernama Bedaya Rimbe?
Patut diketahui bahwa wilayah pesisir utara Jawa Barat ini merupakan daerah dengan kekayaan seni daerahnya. Jarang diketahui, bahwa kota ini juga memiliki sebuah kearifan lokal yang hampir ditelan zaman.
-
Dimana Keraton Kaibon berada? Keraton Kaibon sendiri letaknya berada di Kampung Kroya, Kelurahan Kasunyatan, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Banten.
-
Kenapa Keraton Kaibon dibangun? Salah satu alasan keraton ini dibangun, karena Sultan Muhyiddin pada saat itu wafat dan mempersiapkan sang putra yang baru berumur 5 tahun untuk meneruskan kepemimpinannya.
-
Bagaimana kesenian Tayuban Cirebon dipertunjukkan? Pertunjukkan Tayuban Dalam pementasannya, kesenian ini dilakukan oleh seorang penari yang disebut ronggeng dan diiringi pemusik karawitan seperti kendang, goong, kenong, gamelan, kecrek dan suling. Musiknya cenderung dinamis, namun didominasi tempo lambat. Penarinya juga menggunakan selendang yang akan diberikan kepada tamu yang disambut untuk ikut menari.
-
Apa yang menjadi ciri khas dari rotan Cirebon? Keunggulan dari rotan khas Cirebon ini adalah di motifnya yang beragam, dengan aneka hiasan dan warna.
-
Dimana Tebing Keraton berada? Tebing Keraton terletak pada kawasan Taman Hutan Raya Djuanda, Desa Ciburial, Kelurahan Dago, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
-
Bagaimana Keraton Kaibon dibangun? Kemudian, keraton ini juga dibangun dengan teknologi konstruksi yang mumpuni di kala itu dengan memakai teknologi pengeras serupa semen berbahan kapus dan direkatkan ke batu bata merah sebagai struktur utama bangunan.
Bedaya Rimbe jadi salah satu yang saat ini mulai luput dan jarang diketahui keberadaannya. Saking terlupakannya, kearifan lokal ini sudah puluhan tahun tidak pernah dipentaskan.
Adapun sebab sukarnya tarian ini bertahan, karena sulitnya mencari penerus yang sesuai. Hal ini karena tarian Bedaya Rimbe dianggap sakral dan tak boleh dibawakan oleh sembarang orang. Berikut informasinya.
Dibuat oleh Raja Kanoman Tahun 1895
Merujuk Buku Lokalitas, Gender dan Seni Pertunjukan di Jawa Barat (2003), disebutkan bahwa tari Bedaya Rimbe merupakan hasil kreasi klasik yang berasal dari Keraton Kanoman Cirebon.
Sebelumnya, tarian ini dikreasikan oleh Raja Muhammad Zulkarnaen pada sekitar tahun 1895. Tarian ini menjadi unik, karena para penarinya harus dari kalangan perempuan.
“Pada abad ke-20, di istana Kanoman biasanya ditarikan oleh enam orang penari perempuan, dan menurut keterangan, tarian ini bekas (warisan) Sultan Kanoman ke-10,” kata penulis buku tersebut, Lalan Ramlan.
- Mengenal Kecamatan Gegesik Cirebon yang Kaya Kearifan Lokal, Ada Tradisi Berburu Tikus
- Menilik Tari Makan Sirih, Kesenian Tradisional Klasik dari Pekanbaru untuk Menyambut Tamu Agung
- Melihat Tari Melinting, Kesenian Klasik Khas Lampung Timur Simbol Keagungan dan Keperkasaan
- Uniknya Cara Warga Cirebon Sambut Malam Takbiran, Arak Patung Raksasa Berhiaskan Lampu dan Bendera
Jumlah Penari Mengandung Makna Rukun Iman
Sejak awal kemunculannya, tari Bedaya Rimbe sudah ditarikan oleh enam orang perempuan. Angka ini bukan berarti tanpa makna, sebab, enam tersebut merupakan simbolisasi dari jumlah Rukun Iman dalam agama Islam.
Itulah mengapa, tarian ini selalu diidentikkan dengan ajaran Islam dan menjadi salah satu media dakwah kerajaan di Cirebon.
“Jumlah penari Bedaya Rimbe yang enam itu disesuaikan dengan jumlah Rukun Iman dalam ajaran Islam. Maka dari itu, cerita yang dibawakan bertemakan seputar menak yang hidup di era Indonesia-Islam,” tulisnya lagi.
Merupakan Tarian Lilin
Keunikan tarian ini juga terdapat pada pernak-pernik yang ditampilkan. Setiap penampilannya di masa lampau, tarian ini selalu menggunakan media lilin untuk ikut dibawakan.
Dari sini juga dimungkinkan lahirnya nama Bedaya Rimbe, yang dalam bahasa setempat Bedhaya berarti jalinan sisi baik dan buruk sebagai pengingat dan Rimbey atau Rimbe yang memiliki arti kerlipan cahaya lilin.
Dalam pementasannya, para penari akan memakai pakaian adat khas Keraton Kanoman, lalu mereka menggerakkan tangan dan kaki, sembari membawa beberapa lilin menyala.
Tari Pembesar Kerajaan
Kesakralan Bedaya Rimbe tampak dari fungsinya. Di masa silam, tarian ini merupakan sebuah kehormatan dari Keraton Kanoman. Kemudian, tarian ini juga menjadi simbolisasi pembesar kerajaan saat menyambut tamu agung.
Untuk menarikan tari ini, tidak bisa sembarangan. Karena harus merupakan keturunan Keraton Kanoman, dan beberapa hari sebelum pertunjukan para penari harus melakukan puasa.
Ini agar konsentrasinya bisa terfokus ke penampilan, dan tidak terpikirkan hal duniawi lainnya. Kemudian, berpuasa juga membantu menjaga kesucian diri serta kebersihan jasmani dan rohani.
Dianggap Sakral dan Tak Dipentaskan Selama Puluhan Tahun
Sisi sakral, sebelumnya terlihat dari fungsinya yang merupakan media untuk mengenalkan ajaran Islam. Kemudian, berdasarkan tutur pinutur pembesar keraton, pelaksanaannya juga harus dilakukan oleh para keturunan dari kerajaan Kanoman.
Sebelumnya, pementasan sempat dilakukan pada 1960 silam. Ketika itu, pertunjukan dilakukan di Keraton Mangkunegaran, Kota Surakarta. Setelah penampilan, rombongan asal Cirebon diberikan cindera mata sebagai tanda terima kasih.
Setelah itu, tarian ini tidak pernah ditampilkan selama 30 tahun. Baru pada 1990, Bedaya Rimbe kembali ditampilkan dengan format serupa dari terakhir ditampilkan.
“Dalam upaya menghidupkannya banyak terdapat kendala, terutama karena calon penari harus dari kalangan keraton sehingga cukup sulit diperoleh. Tetapi, bukan berarti tidak ada penerusnya, karena persoalan waktu yang sempit,” kata Lalan.
Kondisi Tari Bedaya Rimbe saat Ini
Saat ini, tari tersebut kembali dihidupkan melalui kegiatan latihan rutin di halaman Keraton Kanorman.
Para pemainnya berasal dari berbagai kalangan, namun masih merupakan kerabat sultan, anggota keluarga keraton dan para keturunannya.
Mengutip Liputan6, sejak 2017 lalu, tarian ini kembali dipentaskan di acara Festival Keraton Nusantara XI di Cirebon.