Kisah Hidup Herman Pratikto, Novelis Legendaris dari Blora Teman Masa Kecil Pramoedya Ananta Toer
Herman Pratikto tidak pernah menyebut dirinya sebagai pengarang cerita
Herman Pratikto tidak pernah menyebut dirinya sebagai pengarang cerita
Kisah Hidup Herman Pratikto, Novelis Legendaris dari Blora Teman Masa Kecil Pramoedya Ananta Toer
Novel itu berjudul “Bende Mataram”. Berkisah tentang persahabatan dua bekas perajurit Kerajaan Klungkung, Bali, yang merantau ke Jawa karena lelah dengan perang saudara yang sedang berkecamuk.
Novel Bende Mataram ditulis oleh Herman Pratikto. Novel itu bergenre novel silat dan pernah populer pada masanya.
-
Apa arti dari istilah Jawa kuno "Merdeka iku yen Soekarno mbe Hatta baris rapi ning njero dompet. Yen sing baris Pattimura, berarti isih perjuangan."? "Merdeka iku yen Soekarno mbe Hatta baris rapi ning njero dompet. Yen sing baris Pattimura, berarti isih perjuangan."(Merdeka itu kalau Soekarno dan Hatta baris rapi di dalam dompet. Kalau yang baris Pattimura, berarti masih perjuangan)
-
Siapa target pembaca surat kabar "Bintang Mataram"? Surat kabar ini memiliki segmentasi pembaca kalangan Tionghoa.
-
Di mana Bambang Hermanto lahir? Bambang Hermanto lahir pada 1 Agustus 1925 di Batu Jamus, Sragen, Jawa Tengah.
-
Siapa yang bersama Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia? Pada tanggal 17 Agustus 1945, Hatta bersama Soekarno resmi memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta.
-
Kapan Tri Heriyanto memulai budidaya talas pratama? Empat tahun sudah Tri Heriyanto menjalankan budidaya talas pratama pada sebuah lahan yang berlokasi di Kapanewon Ngemplak, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
-
Apa yang ditolak mentah-mentah oleh Prabowo Subianto? Kesimpulan Prabowo lawan perintah Jokowi dan menolak mentah-mentah Kaesang untuk menjadi gubernur DKI Jakarta adalah tidak benar.
Herman Pratikto lahir di Blora pada 18 Agustus 1929. Dia menulis “Bende Mataram” pada periode 1960-an.
Saat itu ia bekerja sebagai seorang redaktur di sebuah majalah sastra dan budaya terbitan Yogyakarta bernama “Minggu Pagi”.
Oleh pendiri Majalah Tempo, Goenawan Muhammad, Herman Pratikto digambarkan sebagai penulis yang tenang, mengalir lancar, jenaka, memelas, sekaligus begitu hidup.
Saat menulis Bende Mataram, Herman Pratikto selalu menyebut dirinya sebagai penggubah cerita, bukan pengarang cerita. Banyak orang bertanya-tanya tentang apa maksud dari pernyataan itu.
Dilansir dari Indonesia.go.id, Bende Mataram memiliki plot cerita yang sama dengan novel “Wuxia” karya Jin Young, seorang penulis legendaris asal Hong Kong.
Novel Wuxia sendiri merupakan cerita silat fantasi berlatar belakang sejarah China.
Salah satu cerita berjudul “The Condor Heroes merupakan karya Jin Young yang ditulis pada tahun 1950-an.
Apakah karya Bende Mataram milik Herman Pratikto terinspirasi dari Wuxia? Hingga sekarang masih belum ada data bagaimana proses kreatif penulisan novel Herman Pratikto.
Novel Wuxia karya Jin Young diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Oey Kim Tiang, seorang penulis Tionghoa senior yang tinggal di Tangerang. Konteks sejarah saat Oey Kim Tiang menerjemahkan karya-karya Jin Young adalah saat Presiden Soekarno berada pada periode yang tidak menguntungkan. Politik nasional “anti-barat” membuat penerbitan koran-koran yang menulis cerita-cerita fiksi silat Hong Kong dianggap tidak berkepribadian nasional.
- Kisah Hidup Artis Legendaris Titien Sumarni Sang 'Ratu Layar Perak', dari Kondang hingga Meninggal Tragis
- Kisah Hidup Bambang Hermanto, Aktor Legendaris Karismatik Tahun 1950-an yang Dijuluki John Derek dari Indonesia
- Kiai & Gus Poros Tambak Beras Dorong Yenny Wahid jadi Cawapres, Siap Bergerak Hingga Ketuk Pintu Langit
- Pesan Lucu Ibu Tien Pada Soeharto: Jangan Memancing Ikan Yang Rambutnya Panjang
Kondisi ini membuat Oey Kim Tiang harus menunggu beberapa waktu bersama penerbit Mekar Djaja menerbitkan karya terjemahannya. Dilansir dari Indonesia.go.id, bisa jadi proses kreatif proses penerjemahan karya Jin Young dan penggubahan karya itu menjadi “Bende Mataram” berada pada satu masa kreatif yang sama.
Herman Pratikto sendiri masih sepupu Pramoedya Ananta Toer. Mereka adalah teman masa kecil. Umur mereka hanya terpaut empat tahun. Sebelum masa revolusi kemerdekaan, Herman dan Pram memiliki kisah persahabatan yang unik. Beberapa cerita kedekatan mereka ditulis Herman Pratikto di Majalan Minggu Pagi yang ia asuh.