Melihat Perayaan Sekaten dan Maulid Nabi di Keraton Surakarta Tahun 1912, Warga yang Ingin Nonton Wajib Ucapkan Kalimat Syahadat
Acara Grebeg Maulud digelar setiap tahun. Setiap perayaan itu menyimpan momen sejarahnya masing-masing.
Setiap tahun, Keraton Surakarta mengadakan acara Grebeg Maulud. Acara ini digelar dalam rangka peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Tradisi tahunan ini sudah dimulai sejak lama.
Dikutip dari kemdikbud.go.id, acara Grebeg Maulud merupakan puncak dari rangkaian acara perayaan sekaten yang berjalan satu minggu, mulai dari tanggal 5 Rabiul Awal dan berakhir pada tanggal 12 Rabiul Awal.
-
Kapan Keraton Surakarta dibangun? Keraton ini didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono II sebagai pengganti Keraton Kartasura yang hancur karena adanya peristiwa Geger Pecinan pada tahun 1743.
-
Apa fungsi lorong supit urang di Keraton Surakarta? Sebelum masuk ke ruas jalan tersebut, terdapat gerbang dengan bagian atas berupa plengkung besi. Di gerbang tersebut tertulis "Kori Patjikerran" yang lengkap dengan tulisan aksara Jawa di atasnya. Kini lorong supit urang menjadi rute favorit wisatawan yang akan berkunjung ke Keraton Surakarta. Tak jarang mereka menyusuri lorong tersebut dengan berjalan kaki.
-
Siapa saja yang mendapat gelar kehormatan dari Keraton Surakarta? Sebelum Paula, ada beberapa artis Tanah Air yang juga turut mendapat gelar spesial dari Keraton Surakarta. Gelar ini hanya diberikan kepada tokoh-tokoh yang dinilai mampu melestarikan budaya dan mampu menjaga keberagaman.
-
Kapan Kirab Kebo Bule di Surakarta diadakan? Surakarta memiliki tradisi pada perayaan malam 1 Suro atau bisa disebut malam tahun baru Hijriah.
-
Siapa artis yang memiliki keturunan dari Keraton Kasunanan Surakarta? Maia Estianty, seorang musisi ternama dan pengusaha sukses, mewarisi kekayaan sejarah keluarganya. Ia adalah cucu dari salah satu tokoh sejarah Indonesia yang terkemuka, HOS Cokroaminoto, dan memiliki keturunan dari Keraton Kasunanan Surakarta.
-
Kapan Keraton Surosowan dibangun? Keraton ini pertama kali dibangun sekitar tahun 1526 pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin, pendiri dari Kesultanan Banten.
Setiap perayaan Grebeg Maulud menyimpan momen sejarahnya masing-masing. Kanal YouTube Bimo K.A memposting sebuah video acara sekaten di Keraton Surakarta tahun 1912, tepatnya pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwono X.
Dokumentasi yang dipublikasikan itu begitu lengkap mulai dari keberangkatan Patih KRA. Sasradiningrat IV beserta keluarga dari Dalem Kepatihan menuju Keraton, hingga suasana Alun-Alun Lor yang dimeriahkan dengan berbagai wahana hiburan.
Berikut selengkapnya:
Persiapan Acara
Video itu dimulai saat KRA Sasradiningrat, patih Kasunanan Surakarta tahun 1889-1916 berangkat menuju Keraton Surakarta untuk menghadiri acara Grebeg Maulud. Ia berangkat menggunakan kereta kuda. Dengan gagahnya, ia berjalan dari kediamannya naik ke kereta kuda itu. Bersama patih lainnya, KRA Sasradiningrat naik kereta kuda dengan diiringi para abdi dalem yang membawa gamelan, payung, dan barang bawaan lainnya.
Sementara masyarakat setempat bersiap-siap untuk ikut menghadiri acara tersebut. Keramaian pada hari menjelang acara tak hanya terlihat di sekitar keraton, namun juga di kawasan Pasar Gede dan Pecinan di sekelilingnya.
- Penuh Keseruan, Aksi Warga Semarang Main Perosotan di Kali Ini Curi Perhatian
- Raja Surakarta PB XIII Pimpin Kirab 1.000 Tumpeng Sambut Lailatul Qadar
- Berziarah ke Makam Kyai Damar, Konon Utusan Wali Songo dan Tokoh Penyebar Agama Islam di Semarang
- Keseruan Prajurit TNI di Semarang Ikut Lomba 17-an, Ingin Lebih Dekat dengan Warga
Keramaian di Sekitar Pasar Gede
Masyarakat berbondong-bondong menuju Alun-Alun Lor dan Masjid Agung Surakarta. Untuk menyaksikan prosesi grebeg.
Di tengah kerumunan masyarakat, tampak rombongan prajurit berjalan berbaris melewati Gapura Gladag yang berada di sisi utara Keraton Surakarta. Acara itu dijaga ketat oleh pemerintah Belanda. Tampak di tengah-tengah kerumunan masyarakat pula, satuan kavaleri pasukan KNIL berpatroli.
Sebelum acara itu, di lapangan Alun-Alun pasar malam yang menyediakan berbagai macam hiburan berlangsung selama berhari-hari.
Iring-Iringan Raja
Sementara di dalam keraton, tepatnya di Pendhapa Sasana Sawekta, prajurit keraton memberi hormat kepada Susuhunan Pakubuwono X. Para abdi dalem, pejabat, dan penabuh gamelan berkumpul untuk prosesi akbar menuju Alun-Alun Lor di depan Masjid Agung Surakarta.
Setelah itu, Susuhunan Pakubuwono X bersama para residen Surakarta berjalan menuju kompleks Siti Hinggil Lor. Iring-iringan Pakubuwono X melewati Kori Kamandungan. Sang Raja dikawal barisan srimpi-bedhaya, bregada Panyutra, serta para pangeran. Sementara iring-iringan di belakangnya merupakan para tamu dan pejabat gubermen.
Pakubuwono X selanjutnya mengikuti acara pisowanan ageng yang digelar di Sasana Sewayana, Kompleks Siti Hinggil. Dalam acara ini, Sunan Pakubuwono tampak duduk di Bangsal Manguntur Tangkil.
Isi Gunungan
Diiringi tabuhan gamelan, para abdi dalem mengiringi gunungan yang akan dibawa ke Masjid Agung Surakarta. Sebelum iring-iringan itu berangkat, mereka berbaris dulu di halaman Siti Hinggil Lor. Dengan mengenakan busana resmi, mereka berbaris di hadapan Susuhunan Pakubuwono X.
Iring-iringan kirab itu melewati Pagelaran Sasana Sumewa. Gunungan besar itu dibawa Ke Masjid Agung Surakarta melewati tangga Kori WIjil. Gunungan yang dikirab terdiri dari gunungan-gunungan jaler dan estri. Gunungan itu terdiri dari berbagai macam sayuran, buah, serta makanan.
Rutin Diadakan Setiap Tahun
Tembakan salvo mengiringi kberangkatan kirab gunungan. Mereka melanjutkan perjalanan membawa gunungan menuju Masjid Agung Surakarta.
Sebelum dibagikan ke masyarakat, para utusan pergi ke Alun-Alun Lor untuk menyampaikan pesan tentang pembagian gunungan pada masyarakat. Selanjutnya gunungan itu didoakan terlebih dahulu, sebelum kemudian dibagikan kepada masyarakat.
Saat prosesi itu berlangsung, masyarakat tampak memadati kawasan Alun-Alun Lor. Dikutip dari kanal YouTube Bimo K.A, tradisi itu diyakini sudah dimulai sejak era Kerajaan Demak.
Setelah melalui berbagai era mulai dari Kerajaan Pajang, Mataram Islam di Kotagede, Kerto, Pleret, Kartasura, hingga pecah menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta, tradisi itu tetap dijaga untuk rutin diadakan setiap tahunnya.