Sejarah Kekuasaan Politik Kasunanan Surakarta, Dihapus Sistem Pemerintahan Baru
Pada masanya, Daerah Istimewa Surakarta merupakan suatu wilayah setara provinsi yang dipimpin oleh Mangkunegaran dan Pakubuwono. Namun kini jejak keberadaan wilayah itu seolah hilang ditelan waktu.
Pada era Pemerintahan Hindia Belanda, daerah administratif tingkat satu di Jawa dan Madura terdiri dari tiga provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Selain itu ada pula dua kegubernuran setingkat provinsi yaitu Kegubernuran Yogyakarta dan Kegubernuran Surakarta.
Kegubernuran Surakarta terdiri dari dua entitas swapraja yaitu Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran. Pada masa pemerintahan Jepang, Surakarta dan Yogyakarta diberi status “kochi” atau daerah istimewa. Maka sejak saat itu Kegubernuran Surakarta berubah nama menjadi Daerah Istimewa Surakarta (DIS).
-
Kenapa Jaka merantau? Dengan penuh tekad, Jaka pun memutuskan untuk merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah dan mewujudkan semua impian mereka berdua.
-
Kapan Beji Sirah Keteng dibangun? Mengutip Instagram @purbosasongko_dalang, Situs Beji Sirah Keteng dibangun pada masa pemerintahan Raja Sri Jayawarsa.
-
Apa yang diterima Pemprov Jateng dari Balai Bahasa? Pada Kamis (10/8), Pemprov Jateng menerima hibah dari Balai Bahasa berupa bangunan gedung permanen dan perangkatnya.
-
Bagaimana cara membuat Jenang Saren? Mengutip Kemdikbud.go.id, bahan utama yang digunakan untuk membuat jenang saren adalah tepung ketan dan gula jawa.
-
Kenapa Candi Jago dibangun? Sejarah Candi Jago dibangun atas inisiasi Raja Kertanegara untuk menghormati mendiang sang ayah, Raja Sri Jaya Wisnuaedhana (1248-1268).
-
Bagaimana cara membuat kue jipang? Berasnya dimasukkan ke situ,” ungkap pemilik kanal YouTube Brent Sastro sembari menunjuk sebuah alat pemanas yang dihubungkan ke gas elpiji. Di sebelahnya, tampak sebuah wajan berisi air gula yang dicampur minyak sedang dipanaskan.
Walaupun awalnya disambut suka cita, seiring waktu pendudukan Jepang justru menghadirkan kesengsaraan baru bagi rakyat. Begitu pula yang dirasakan orang-orang istana di jajaran Kasunanan Surakarta.
Sunan Pakubuwono XI yang saat itu berusia 59 tahun, meninggal dunia pada 1 Juni 1945. Ia wafat sebelum mengangkat seorang putra mahkota. Pilihan kemudian jatuh pada KGPH Purboyo, putra termuda Sunan Pakubuwono XI dan permaisurinya yang lahir pada 14 April 1925. Pengangkatan putra mahkota inilah yang memicu perdebatan di kalangan istana.
Berikut selengkapnya, dikutip dari kanal YouTube Bimo K.A:
Perdebatan Pengangkatan Putra Mahkota
©YouTube/Bimo K.A
Sebagian pangeran dan pejabat senior tidak menghendaki seorang pangeran berusia 20 tahun menduduki singgasana. Namun penobatan Pangeran Purboyo tetap dilaksanakan.
Pada 12 Juli 1945, penobatan Pangeran Purboyo sebagai Susuhunan Pakubuwono (PB) XII resmi dilaksanakan. Dengan begitu, otomatis ia juga menyandang sebagai Surakarta Ko, atau Gubernur Daerah Istimewa Surakarta.
Namun kekuasaan PB XII berada dalam bayang-bayang dominasi ibu suri, para patih, serta para sekutunya, yang menyebabkan disintegrasi di lingkup istana. PB XII sendiri mengakui, kedudukannya sendiri telah mendapat dukungan dari Soekarno.
PB XII mengatakan, Soekarno pernah berkata padanya kalau ia layak diangkat sebagai raja karena ia merupakan seorang pemuda yang dianggap mampu mengikuti perkembangan zaman dan tahan terhadap situasi yang bergejolak.
Desakan Bangsawan Senior
©YouTube/Bimo K.A
Lain halnya di mata para bangsawan Keraton Surakarta, PB XII masih dianggap belum punya pengalaman. Para bangsawan senior yang lebih berpengalaman akhirnya semakin ambil bagian dalam perpolitikan.
Dari para bangsawan ini, beberapa dari mereka pernah mengenyam pendidikan tinggi dan aktif dalam organisasi pergerakan. Pangeran Sumodiningrat, salah satu bangsawan itu, merupakan cucu Pakubuwono X yang juga menjadi tokoh di Partai Indonesia Raya dan menjabat sebagai komandan Batalyon 2 Manahan dalam kesatuan Tentara PETA.
Lalu ada pula KRMH Wuryaningrat yang menjadi tokoh anti Belanda dan pendukung gagasan Indonesia Merdeka. Ia sempat didapuk menjadi pemimpin Gerakan 3 A di Surakarta. Bahkan dia menjadi salah satu anggota BPUPKI dan PPKI pada hari-hari menjelang kemerdekaan Indonesia.
Bergabung dengan Republik Indonesia
©YouTube/Bimo K.A
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Daerah Istimewa Surakarta resmi menjadi bagian dari Pemerintahan Republik Indonesia. Sama halnya dengan Daerah Istimewa Yogyakarta, kedudukan pemerintahan ini bersifat monarki dan diakui langsung oleh Presiden Soekarno.
Walaupun mendapat pengakuan langsung dari presiden, namun tidak serta merta memberikan kekuatan politis bagi DIS. Para politisi dan pejuang kemerdekaan di Surakarta menganggap sistem pemerintahan monarki pada DIS tidak sesuai dengan semangat revolusi. Mereka menginginkan agar pemerintahan dijalankan oleh rakyat, bukan oleh Sunan Pakubuwono maupun Mangkunegoro.
Maka pada saat itu, masyarakat Surakarta terpecah menjadi tiga kelompok yaitu kelompok pendukung Swapraja atau sistem monarki di DIS, kelompok moderat, dan kelompok anti swapraja.
Kondisi Keraton Makin Genting
©YouTube/Bimo K.A
Perlawanan terhadap pemerintahan DIS makin sengit. Kaum anti swapraja misalnya, menyoroti kedudukan patih pada pemerintahan itu sebagai warisan kolonial Belanda yang sarat masalah.
Pada akhirnya, Kabupaten Klaten yang sudah dikuasai kaum anti swapraja melepaskan diri dari pemerintahan DIS pada 26 April 1946 dan diikuti oleh kabupaten-kabupaten lainnya. Hubungan politik antara kasunanan dengan kabupaten ini terputus.
Pada 29 April 1946, muncul mosi dari kepolisian, pamong praja, barisan banteng, Masyumi, Hizbullah, GRI, PNI, dan berbagai kelompok lainnya yang menuntut agar DIS dihapuskan dan statusnya diubah menjadi karasidenan.
Situasi kian panas saat kelompok anti swapraja berani menerobos pintu Keraton Surakarta dan menculik PB XII beserta ibu suri. Karena situasi yang kian terdesak, PB XII beserta pemerintah swapraja Kasunanan Surakarta menyerahkan status otonomi pada pemerintah pusat.
Di sisi lain, Mangkunegaran dengan kelompok pendukung swapraja bersatu untuk mempertahankan DIS. Mereka menghimpun kekuatan dan menggelar rapat raksasa di Wonogiri.
Runtuhnya Daerah Istimewa Surakarta
©YouTube/Bimo K.A
Terbentuknya jabatan residen, wali kota, dan kabupaten-kabupaten yang melepaskan diri dari pemerintahan pusat swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran menyebabkan kedudukan Daerah Istimewa Surakarta semakin tenggelam dalam bayang-bayang ketidakpastian. Belum lagi datangnya kembali penjajah Belanda memperparah keadaan tersebut.
Saat Republik Indonesia resmi berdaulat pada tahun 1949, masalah status DIS masih juga terkatung-katung. Dampak status DIS ini berdampak pula ke rakyat. Mereka melakukan demonstrasi pada pemerintah pusat untuk pemulihan status DIS.
Di sisi lain, PB XII mengirim maklumat pada pemerintah pusat bahwa kedudukan DIS harus tetap dipertahankan. Namun tak lama setelah maklumat itu dikirim, pemerintah pusat Republik Indonesia mengesahkan undang-undang tentang pembentukan Provinsi Jawa Tengah, yang di dalamnya termasuk wilayah Karasidenan Surakarta.
Pada akhirnya, setelah sempat mengalami ketidakpastian, kedudukan DIS berakhir. Sementara itu status Sri Sunan dan Mangkunegara berubah menjadi simbol pemersatu di tengah masyarakat sekaligus sebagai Yang Dipertuan Pemangku Tahta Adat Jawa khususnya di wilayah Solo dan sekitarnya.