Menerima tobat mantan teroris
Menerima tobat mantan teroris. Tak ingin jatuh korban lebih banyak, Ali mendirikan yayasan. Diberi nama Yayasan Lingkar Perdamaian. Melalui ini, dia ingin menderadikalisasi para teroris agar kembali kepada jalan benar. Keluar dari lingkar pelaku teror.
Tangis Tum pecah. Terisak-isak. Tak kuasa menahan air mata. Mendengar cerita pahit dari seorang mantan narapidana teroris (napiter), Ali Fauzi. Berbicara sulitnya diterima lagi di masyarakat. Banyak penolakan. Sampai sulit mendapat pekerjaan demi menyambung hidup selepas keluar penjara.
Kisah sedih Ali membuat wanita ini menjadi perhatian. Tum bukan mantan napiter. Dia justru korban Bom Bali I tahun 2002 lalu. Jeritan Tum sempat menyita perhatian peserta. Seorang wanita langsung menghampiri Tum. Berkali-kali bahu Tum diusap. Ditenangkan. Namun, Tum memilih meninggalkan acara. Tak kuasa menahan tangis.
-
Bagaimana cara BNPT membantu para penyintas terorisme agar tetap berdaya? Selain itu, BNPT juga sering mengadakan agenda gathering yang ditujukan untuk menumbuhkan semangat hidup dan mengembalikan kepercayaan diri bagi para korban terorisme agar tetap berdaya.
-
Bagaimana cara mencegah tindakan terorisme? Cara mencegah terorisme yang pertama adalah memperkenalkan ilmu pengetahuan dengan baik dan benar. Pengetahuan tentang ilmu yang baik dan benar ini harus ditekankan kepada siapa saja, terutama generasi muda.
-
Bagaimana peran Ditjen Polpum Kemendagri dalam menangani radikalisme dan terorisme? Ketua Tim Kerjasama Intelijen Timotius dalam laporannya mengatakan, Ditjen Polpum terus berperan aktif mendukung upaya penanganan radikalisme dan terorisme. Hal ini dilakukan sejalan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024.
-
Siapa yang berkomitmen untuk memperhatikan para penyintas terorisme? Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI) komitmen perhatikan para penyintas.
-
Apa saja bentuk bantuan yang diberikan pemerintah kepada korban terorisme? Pemerintah dalam hal penanganan dan pemulihan korban terorisme bersinergi dengan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), berupaya optimal untuk menerapkan kebijakan sensitif korban.
-
Bagaimana caranya untuk memperkuat ideologi bangsa agar terhindar dari infiltrasi ideologi yang mengarah pada aksi terorisme? “Semua sila-silanya harus masuk ke hati. Namun, selama ini yang dirasa Pancasila hanya sekadar pengetahuan kognitif, belum menjadi belief system ke hati yang paling dalam, maka tanamkan itu dan insyaallah nilai-nilai yang tidak sesuai di hati akan terhindar dengan sendirinya,” ucapnya.
"Saya histeris bukan karena dendam," ungkap Tum saat berbincang dengan merdeka.com, Rabu pekan lalu.
Pertemuan dengan Ali tidak sendiri. Tum bersama 51 penyitas lain. Mereka merupakan korban bom di Indonesia. Tak hanya peristiwa bom Bali I dan II. Ada juga dari peristiwa bom Kedutaan Australia, Insiden Hotel JW Marriott dan lainnya.
Para penyintas dan napiter ini memenuhi undangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk dipertemukan. Mereka menggelar acara bertajuk 'Silaturahmi Kebangsaan Satukan NKRI' itu di Hotel Borobudur, Jakarta. Kegiatan berlangsung tiga hari. Dengan pelbagai kegiatan hingga menghadirkan para menteri terkait demi menyukseskan program deradikalisasi.
Tum menangis mendengar cerita Ali lantaran dirinya merasakan nasib serupa. Kondisi para penyintas sebenarnya tak jauh beda dengan napiter. Peristiwa ledakan bom seketika mengubah hidup mereka. Kehilangan keluarga, cacat fisik, hingga goncangan ekonomi. Jalan hidup mereka berubah. Tak terbayangkan sebelumnya. Hampir putus asa.
Tum adalah korban yang mengalami goncangan ekonomi. Putri sulungnya terpaksa putus sekolah saat kelas 2 sekolah menengah atas (SMA). Putri dari suami pertamanya itu memilih untuk tak melanjutkan sekolah lantaran tak punya uang. Ibunya tak lagi bekerja seperti semula. "Anak pertama saya putus sekolah pas SMA," ungkap Tum sambil menitikkan air mata.
Sebelum tubuhnya cacat akibat terbakar, Tum seorang pedagang. Menjual nasi dan lauk pauk di Bandara Ngurah Rai. Saat itu, dalam sehari bisa menjual hingga 300 porsi. Dagangannya pasti ludes sebelum jam 2 siang. Kehidupannya terbilang berada. Mampu menghidupi keluarga. Dua anaknya bisa sekolah.
Peristiwa Bom Bali I mengubah hidupnya. Sebanyak 45 persen tubuhnya terbakar. Saat peristiwa itu, dia juga tengah berjualan di sekitar lokasi kejadian. Semula dia pasrah. Si jago merah melalap tubuhnya. Bayangan dua anaknya masih kecil menjadi kekuatan untuknya menyelamatkan diri. Tum selamat. Meski tubuhnya penuh luka bakar.
Silaturahmi korban dan mantan napi terorisme ©2018 Merdeka.com/Imam Buhori
Selamat dari maut, tak membuat Tum mampu kembali mencari penghasilan. Dia tak mampu berjualan di bandara. Harga sewa tempat tak lagi terjangkau. Sementara uangnya habis dipakai berobat. Ada beberapa pengobatan tak ditanggung pemerintah. Banyak alasan. Salah satunya karena menghilangkan kiloid bukan bagian dalam pengobatan. Melainkan perawatan kecantikan.
Usaha mencari penghasilan tak sampai di situ. Tum juga mencoba peruntungan dengan melamar kerja. Sayang, banyak perusahaan menolak. Terkendala alasan cacat fisik. Warna kulitnya belang akibat terbakar. Beruntung lima tahun terakhir dia bisa bekerja di sebuah katering makanan sehat.
Tum tak sendiri. Banyak korban serangan teroris bernasib serupa. Sulit mendapatkan pekerjaan. Alasannya sama: Cacat fisik. Nasibnya tak jauh beda dengan mantan napiter. Tersudutkan. Karena itu, curahan hati Ali Fauzi di hadapan para menteri membuatnya tersentuh. Dia teringat anaknya putus sekolah. Tak mampu membayar iuran. Sementara pemerintah abai. Tak mampu lagi dia membendung kekecewaan. Air matanya tak tertahan. Sampai pecah tangisan.
"Makanya pas tadi Pak Ali bicara, air mata saya sudah tidak bisa ditahan. Saya jadi kasihan sama dia. Saya merasa, sedih dengar dia seperti apa, sedih karena saya tidak pernah disentuh oleh pemerintah," cerita Tum.
Sedangkan sosok Ali Fauzi dikenal para penyintas sebagai mantan napiter paling berpengaruh. Bahkan, Tum sebagai korban merasa Ali berperan besar menyatukan mantan napiter dengan para penyintas. Ali Fauzi merupakan saudara kandung Amrozi dan Ali Ghufron. Pelaku ledakan Bom Bali I pada 12 Oktober 2012. Ali pernah menjadi pembuat bom untuk jaringan teroris Jemaah Islamiyah. Menjalani hukuman 3 tahun karena dianggap melakukan pelanggaran terorisme.
Perjalanan Ali melepas dunianya tak mudah. Stigma dari masyarakat kadung melekat. Banyak orang tak lantas memercayai bahwa dirinya sudah bertobat. Kesalahan dilakukan dua kakaknya, membuat Ali sadar. Teror dibuat saudara kandungnya salah sasaran. Sebab para korban banyak keluarga seiman.
Tak ingin jatuh korban lebih banyak, Ali mendirikan yayasan. Diberi nama Yayasan Lingkar Perdamaian. Melalui ini, dia ingin menderadikalisasi para teroris agar kembali kepada jalan benar. Keluar dari lingkar pelaku teror.
Silaturahmi korban dan mantan napi terorisme ©2018 Merdeka.com/Imam Buhori
Perjalanan para mantan kombatan ini pun tak mudah. Berbagai akses seakan tertutup. Sekolah tak bisa. Bekerja pun sama. Untuk itu, Ali dalam ceritanya juga meminta pemerintah segera turun tangan.
"Mohon kami didorong ada pelatihan. Kami tak ingin setiap hari mendapatkan ikan. Berilah kami kail dan jala. Kami bisa ambil jala itu sendiri," kata Ali.
Bukan hanya Ali. Sofyan Tsauri, mantan napiter lain dan sempat tergabung dalam jaringan Al Qaeda juga mengalami nasib sama. Sebelum menjadi teroris, dia merupakan mantan anggota kepolisian. Hingga saat ditugaskan, justru dirinya terkena radikalisasi. Sampai dirinya berperan sebagai pemasok senjata dan memberikan pelatihan militer di Aceh. Tahun 2010, dia ditangkap dan diadili. Hakim memvonis hukuman enam tahun penjara.
Setelah menghirup udara bebas, Sofyan kembali memulai hari baru. Kembali menjadi warga negara dan mencintai Tanah Air. Namun, lingkungannya tak memberikan dukungan. Banyak pihak masih meragukan diri telah bertaubat. Bahkan selama di penjara, anak dan istrinya pernah lima kali berpindah tempat tinggal. Alasannya warga tak mau terpapar paham terorisme.
Tahun lau, Sofyan sempat mendapatkan undangan dari Aliansi Perdamaian Indonesia (AIDA) di Medan, Sumatera Utara. Acara itu merupakan pertemuan para mantan napiter dengan sejumlah korban bom pernah terjadi di Indonesia. Kala itu, Sofyan bertemu dengan keluarga korban. Seorang wanita kehilangan suaminya akibat insiden bom. Dalam acara itu, wanita tersebut dengan mata membelalak bertanya kepada Sofyan.
"Ustaz, apa yang dimaksud dengan jihad? Jadi pembunuh?," kata Sofyan menirukan wanita itu.
Sofyan dimarahi. Tapi dia hanya diam. Berbagai pertanyaan dan tudingan wanita itu tak dijawabnya. Dia sadar kelompoknya dulu telah melenyapkan tumpuan hidup wanita itu. Ayah dari anak-anaknya meninggal tragis. Lantas, dirinya hanya bisa meminta maaf.
"Biarlah dia marah kalau itu bisa membuat dia menjadi lega. Saya siap dicakar-cakar korban sekalipun. Saya legowo. Saya mau dipukul pun, saya akan terima, saya tidak akan membalas," ungkap Sofyan.
Sofyan tak tahu permohonan maafnya diterima atau tidak. Sebab saat bertemu kembali hanya saling melihat tanpa bertegur sapa. Namun, dia tak mau lama memikirkan dan mempersulit keadaan. Dari situ, dia justru belajar untuk bersikap dewasa. Sekaligus berharap teror tak lagi terjadi kembali di Indonesia.
Baca juga:
Dicap pengkhianat setelah hijrah
Agar para mantan teroris setia pada NKRI
Saat tobat, mantan terpidana teroris ini dicap pengkhianat oleh rekannya
Kisah eks Napi teroris jihad di Filipina hingga tobat demi keluarga
Gayeng Santri, program andalan Polres Purworejo tangkal paham radikal
Wiranto sebut 999 mantan teroris berhasil dibina