BNPT: Tren Teroris Sekarang yang Terpengaruh Kuat Adalah Istri
Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irfan Idris, mengatakan tren teroris yang terpapar paham radikalisme sudah berubah. Saat ini paparan radikalisme sudah menyebar hingga kalangan istri dan anak-anak. Melihat latar belakang yang terpapar, alasan ekonomi bukan tunggal.
Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irfan Idris, mengatakan tren teroris yang terpapar paham radikalisme sudah berubah. Saat ini paparan radikalisme sudah menyebar hingga kalangan istri dan anak-anak.
"Tren baru sekarang, kalau dulu dengan laki-laki, suami yang ikut, dan tidak membawa banyak pengaruh, membawa anak dan istri. Tapi trennya sekarang, sejak Sibolga, Surabaya, kemudian seperti Eselon IV Kementerian Keuangan, kemudian Eselon II Batang, yang terpengaruh kuat adalah istrinya. Istrinya ajak anaknya. Anaknya ajak bapaknya," ucap Irfan dalam sebuah diskusi di bilangan Jakarta, Sabtu (16/11).
-
Bagaimana cara BNPT membantu para penyintas terorisme agar tetap berdaya? Selain itu, BNPT juga sering mengadakan agenda gathering yang ditujukan untuk menumbuhkan semangat hidup dan mengembalikan kepercayaan diri bagi para korban terorisme agar tetap berdaya.
-
Bagaimana peran Ditjen Polpum Kemendagri dalam menangani radikalisme dan terorisme? Ketua Tim Kerjasama Intelijen Timotius dalam laporannya mengatakan, Ditjen Polpum terus berperan aktif mendukung upaya penanganan radikalisme dan terorisme. Hal ini dilakukan sejalan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024.
-
Kenapa Ditjen Polpum Kemendagri menggelar FGD tentang penanganan radikalisme dan terorisme? Direktorat Jenderal (Ditjen) Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menggelar Focus Group Discussion (FGD) dalam rangka Fasilitasi Penanganan Radikalisme dan Terorisme di Aula Cendrawasih, Kantor Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Jawa Tengah, Rabu (23/8).
-
Apa tujuan dari FGD tentang penanganan radikalisme dan terorisme yang diselenggarakan Ditjen Polpum Kemendagri? Lebih lanjut, Handoko berharap, FGD Penanganan Radikalisme dan Terorisme ini dapat memberikan wawasan dan pemahaman dalam upaya penanganan penyebaran paham radikalisme dan terorisme. Dengan demikian, nantinya dapat terbangun stabilitas sosial politik dan keamanan dalam menjaga keutuhan bangsa Indonesia.
-
Siapa saja yang terlibat dalam FGD tentang penanganan radikalisme dan terorisme yang diselenggarakan Ditjen Polpum Kemendagri? FGD melibatkan sejumlah narasumber dari berbagai instansi terkait. Mereka di antaranya Kepala Badan Kesbangpol Provinsi Jawa Tengah, Binda Jawa Tengah, Satuan Tugas Wilayah Densus 88, serta Sekretaris Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah.
-
Bagaimana cara mencegah tindakan terorisme? Cara mencegah terorisme yang pertama adalah memperkenalkan ilmu pengetahuan dengan baik dan benar. Pengetahuan tentang ilmu yang baik dan benar ini harus ditekankan kepada siapa saja, terutama generasi muda.
Dia menuturkan, melihat latar belakang yang terpapar, alasan ekonomi bukan tunggal. "Jadi kalau alasannya ekonomi, Eselon II Batang aja sudah sejahtera. Eselon IV Kementerian Keuangan, bahkan S2 Flinders University, ditemukan di Suriah dengan 5 gadisnya berjuang," ungkap Irfan.
Dia menyebut, banyak faktor seseorang menjadi teroris. Meski menyebutkan faktor ekonomi tidak tunggal, kebanyakan di Indonesia dibungkus akan hal ini.
"Kalau di negara-negara lain bukan faktor ekonomi, tapi di negara kita kemasannya lebih banyak faktor ekonomi tetapi lebih benar dikemas tafsiran agama, dengan jihad diarahkan satu makna, tafsiran hijrah diarahkan satu makna, tafsiran thogut diarahkan satu makna. Dan tafsiran kafir itu dipaksakan ke semua orang, bukan hanya polisi," pungkasnya.
Radikalisme Dinilai Masih Jadi Ancaman Nyata di Indonesia
Paham radikalisme dinilai masih menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Deputi V Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengakui, persoalan radikalisme di Indonesia sudah mulai meningkat sejak 10 tahun terakhir.
"Sepuluh tahun tahun terakhir ini mengkonfirmasi radikalisme tidak hanya muncul di institusi pemerintah, namun juga di institusi masyarakat, termasuk di bidang pendidikan. Semua membuktikan ancaman radikalisme ini nyata," kata Jaleswari Pramodhawardhani dalam seminar menuju kongres 2 NasDem menggelar diskusi tematik dengan tema Menangkal Radikalisme, Menjaga Indonesia" yang digagas Partai Nasdem, Jumat (25/10). Dikutip dari Antara.
Menurutnya, selama 10 tahun terakhir ini alarm adanya gerakan radikalisme di Indonesia sesungguhnya sudah berbunyi. Termasuk ketika Indonesia sedang melakukan agenda Pemilu serta menurunnya kualitas toleransi di Indonesia.
Karena itulah, di dalam periode kedua pemerintahan Joko Widodo akan memprioritaskan pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang berlandaskan Pancasila. Semua dilakukan agar muncul penguatan Pancasila di tengah masyarakat.
"Soal radikalisme kita tahu bahwa alarm kita sudah berbunyi. Saat ini pun pembangunan jokowi 5 tahun ke depan adalah SDM yang berlandaskan Pancasila," ujarnya.
Mantan Asops Panglima TNI, Mayor Jenderal (purn) Supiadin Aries Saputra menjelaskan, gerakan radikalisme sudah ada sejak lama di Indonesia. Dia pun mencontohkan bagaimana ketika ada pemberontakan DI TII maupun NII pada masa awal kemerdekaan.
"Tadinya gerakan radikalisme adalah gerakan tradisional. Namun dengan berkembangnya media sosial, maka gerakan radikal juga ikut berkembang," kata Anggota DPR RI Periode 2014-2019 itu.
Menurutnya, sampai dengan saat ini ada sekitar 120 juta pengguna sosial di Indonesia. Dari jumlah itu, sebagian besar atau mayoritas datang dari kaum milenial.
"Media sosial menjadi media untuk kelompok radikal untuk menghancurkan moral generasi milenial. Kita kenal dengan asimetrik warfare, perang anomali, ujung tombaknya proxy war, yakni perang yang tidak menggunakan angkatan perang," ucapnya.
Dia mengingatkan, yang paling mungkin menghancurkan bangsa Indonesia justru adalah bangsanya sendiri. Kalau dilihat dari indeks pengukuran ketahanan nasional laboratorium Lembaga Ketahanan Nasional diketahui, di bidang ideologi dan sosial budaya nilai atau indeks berada di posisi 2, atau tidak tangguh.
"Yang nilainya tidak tangguh yakni indeks 2 adalah di bidang ideologi. Di bidang sosial budaya juga rendah. Tingkat pendidikan rendah dan ini yang menyebabkan mudahnya penyebaran informasi menyesatkan di Medsos," ungkapnya.
Reporter: Putu Merta Surya Putra
Sumber: Liputan6
(mdk/bim)