BPA Berbahaya, Sekjen PB IDI Sebut Masyarakat Harus Dididik
Pada 27 negara di Uni Eropa, penggunaan BPA pada kemasan makanan dan minuman sudah dilarang.
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Ulul Albab menyebut Bisphenol A atau BPA yang biasa dipakai untuk kemasan makanan dan minuman, adalah termasuk bahan kimia yang berbahaya. Dia menilai perlu ketegasan semua pihak dalam persoalan ini.
"Karena kita tahu bahwa BPA berbahaya, harusnya kita firm (tegas) ya. Kita harus free BPA," kata Ulul yang juga spesialis obstetri dan ginekologi kepada wartawan, Selasa (26/11).
- BPIP Kumpulkan Para Pakar Bahas Paradoks Beragama di Indonesia, Hanya Formalitas?
- Pakar Ini Beda Pandangan Soal BPA Padahal Sudah Dilarang di Negara Maju, Bagaimana Faktanya?
- Tanggapan Pakar Soal Upaya Pengaburan Fakta BPA, Sebut Pelabelan Bahaya BPA Demi Kesehatan Masyarakat
- Agar Tak Disita Bea Cukai, Ini Batas Makanan yang Bisa Dibawa Pulang dari Luar Negeri
Pada 27 negara di Uni Eropa (UE), penggunaan BPA pada kemasan makanan dan minuman sudah dilarang, dengan masa transisi singkat bagi industri untuk menyesuaikan diri, yakni hanya selama 18 hingga 36 bulan.
Peraturan tentang BPA di UE telah berubah secara bertahap dari awalnya dibatasi, diperketat, hingga akhirnya dilarang demi melindungi kesehatan masyarakat.
Pada 2011, aturan kemasan BPA diperketat karena perlu penilaian keamanan dari Otoritas Keamanan Makanan Eropa (EFSA) sebelum digunakan. Lalu, pada 2018, aturan kembali diperketat dengan melarang penggunaan BPA dalam botol plastik serta kemasan untuk bayi dan anak-anak di bawah tiga tahun.
Pada 2020, larangan ini diperluas ke struk kertas termal. Dari 2021 hingga 2023, penelitian baru menunjukkan risiko BPA terhadap sistem imun sehingga pada tahun 2024 akhirnya, EU menyetujui aturan untuk melarang kemasan BPA mulai akhir tahun demi keamanan konsumen.
Sementara di Indonesia, sejauh ini, BPOM masih bertoleransi hanya dengan mewajibkan pelaku industri air minum dalam kemasan (AMDK) untuk memberikan label peringatan BPA pada kemasan galon guna ulang dengan bahan plastik polikarbonat.
Hal ini sebagaimana tertuang pada Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan.
Namun ini dilihat sebagai langkah awal yang baik jika berkaca pada regulasi negara lain yang awalnya dibatasi, diperketat, hingga akhirnya dilarang.
"Beberapa rekomendasi sebenarnya sudah kami (IDI) lakukan, bahwa kami mendorong untuk mendidik masyarakat seyogianya BPA Free. Artinya memang pelarangan penggunaan BPA. Kita tidak hanya bicara tentang air minum dalam kemasan, tapi juga produk atau wadah atau kemasan apa pun itu terkait dengan BPA. Karena kita tahu, alternatif selain BPA itu ada," ujarnya.
Ulul menyambut baik langkah BPOM yang mengeluarkan beberapa aturan terkait penggunaan label peringatan BPA pada kemasan produk makanan.
"Paling tidak dengan adanya labeling ini ada sebuah langkah, karena sebelumnya belum pernah ada. Kita harus men-support itu. Mudah-mudahan saja labelnya bukan hanya awareness, tapi juga sebuah larangan, jadi kita tidak kompromistis lagi," tukasnya.
Sementara itu, pakar polimer Universitas Indonesia Mochamad Chalid mengatakan, isu bahan kimia berbahaya pada kemasan plastik untuk manusia dan lingkungan ini sudah menjadi isu global.
Chalid juga mengatakan, kandungan yang ada di dalam sampah plastik yang disebut dengan aditif, atau juga lepasan-lepasan seperti BPA, kini sudah menjadi sorotan dunia.
"Dalam hal ini, karena digunakan sebagai kemasan untuk air minum, maka (potensi BPA terlepas) sangat besar. Sudah terbukti dari ratusan jurnal, memang mengindikasikan banyak cemaran yang dihasilkan dari kemasan ini," terangnya.