Anak Terlalu Sensitif dan Mudah Geli, Waspadai Terjadinya Sensory Processing Disorder pada Anak, Kenali Gejalanya
Anak dengan kondisi kulit yang terlalu sensitif dengan sentuhan dan mudah geli, bisa jadi tanda adanya gangguan pemrosesan sensorik.
Sensory Processing Disorder (SPD) atau gangguan pemrosesan sensorik sering kali disadari oleh orang tua ketika anak mulai menunjukkan perilaku yang tidak biasa terhadap rangsangan dari lingkungan sekitarnya. Anak yang mengalami masalah ini mungkin bereaksi berlebihan terhadap suara keras, cahaya terang, atau merasa tidak nyaman dengan pakaian yang mereka kenakan. Beberapa anak bahkan menunjukkan perilaku ekstrem seperti menjerit ketika wajah mereka basah atau menghindari aktivitas yang membutuhkan keseimbangan seperti memanjat atau naik sepeda.
SPD terjadi karena otak anak mengalami kesulitan dalam memproses informasi yang diterima dari panca indera. Selain lima indera yang umum dikenal (penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba, dan pengecap), terdapat dua indera internal lain yang memberikan informasi terkait gerakan tubuh dan posisi tubuh di ruang. Anak yang hipersensitif cenderung menghindari rangsangan sensorik yang kuat, sementara anak yang hiposensitif memerlukan lebih banyak stimulasi sensorik, sehingga mereka sering bergerak aktif atau bahkan menabrak benda di sekitar mereka.
-
Kenapa bayi sering cegukan? Cegukan pada bayi umumnya merupakan fenomena alami dan tidak perlu menjadi sumber kekhawatiran yang berlebihan bagi orangtua.
-
Apa saja tipe gangguan kecemasan pada anak? Mengutip situs Anxiety and Depression Association of America, terdapat beberapa tipe gangguan kecemasan pada anak, antara lain: Gangguan Kecemasan Umum Tipe gangguan kecemasan pada anak yang pertama disebut kecemasan umum atau Generalized Anxiety Disorder (GAD). Ketika gangguan kecemasan pada anak ini terjadi, ia akan merasakan kekhawatiran secara berlebih pada semua hal. Gangguan kecemasan pada anak tipe ini akan membuat pribadi anak menjadi terlalu perfeksionis terhadap berbagai hal. Jika terus berlanjut hingga lebih dari 6 bulan, gangguan kecemasan pada anak akan membuatnya memaksakan diri mencapai semua hal dengan sempurna dan merasa ketakutan atas kesalahan sekecil apapun. Gangguan Kepanikan Tipe gangguan kecemasan pada anak yang selanjutnya adalah gangguan kepanikan atau panic disorder.Pada umumnya, dokter atau psikiater akan melakukan pemeriksaan tipe gangguan kecemasan pada anak apabila ia sudah mengalami minimal dua kali serangan panik secara tiba-tiba tanpa adanya alasan yang jelas.(Foto : istockphoto.com) Kecemasan saat Berpisah Gangguan kecemasan pada anak yang selanjutnya adalah Separation Anxiety Disorder (SAD). Kondisi kecemasan ini biasanya dimulai ketika anak berusia 18 bulan hingga 3 tahun. Diperlukan penanganan yang lebih serius jika terus mengalami gangguan kecemasan pada anak karena hal ini dapat menghambat potensi anak untuk berkembang dan hidup mandiri dengan dirinya sendiri. Kecemasan Sosial Tipe gangguan kecemasan pada anak yang keempat disebut kecemasan sosial atau social anxiety atau fobia sosial. Kondisi ini mengakibatkan anak akan merasa ketakutan ketika diminta berinteraksi dengan dunia sosial. (Foto : istockphoto.com) Selective Mutism Ketika anak secara tiba-tiba menjadi diam membisu apabila ia merasa ketakutan dan panik, ini dapat dikategorikan sebagai gangguan kecemasan pada anak tipe Selective Mutism. Anak yang mengalami gangguan kecemasan ini akan diam, tidak bergerak, tidak berekspresi, menghindari kontak mata, dan menundukkan kepalanya ketika menghadapi situasi yang menegangkan baginya. Fobia Fobia merupakan kondisi ketakutan secara berlebihan terhadap suatu hal. Gangguan kecemasan pada anak yang satu ini dapat menyerang anak apabila ia dihadapkan pada suatu hal yang membuatnya gelisah, menangis, tantrum, rewel, sakit kepala, atau bahkan sakit perut.(Foto : istockphoto.com) Obsessive-compulsive Disorder (OCD) OCD juga termasuk ke dalam tipe gangguan kecemasan pada anak. Kondisi ini biasanya lebih banyak dialami oleh anak pada usia 8 hingga 12 tahun. Anak yang mengalami gangguan kecemasan satu ini akan terobsesi pada suatu hal yang tidak wajar, terutama pada keteraturan dan pengulangan.(Foto : istockphoto.com) Post-traumatic Stress Disorder (PTSD) Tipe gangguan kecemasan pada anak yang terakhir adalah Post-traumatic Stress Disorder atau biasa disebut dengan trauma. Merasa takut atau sedih akan sesuatu hal yang emosional memanglah wajar. Namun, sejumlah anak mungkin akan mengalami trauma jika situasi tersebut sangat mengerikan atau mencekam. Gangguan kecemasan pada anak ini akan mengubah karakter anak secara keseluruhan dan sangat diperlukan penanganan secara khusus agar mental anak membaik.
-
Apa pengertian anak sulung? Anak sulung adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang lahir pertama atau yang tertua dalam suatu keluarga.
-
Kapan bayi tersebut meninggal? Penanggalan radiokarbon mengonfirmasi bahwa keduanya meninggal antara tahun 1616-1503 SM.
-
Apa saja gejala gangguan mental emosional pada anak-anak? Hati-hati, mental emosional disorder. Kami titip perhatian pada anak-anak. Mereka yang sulit diajak komunikasi itu gejala, gejala lain yang mengganggu mental emosional antara lain anak-anak yang merasa hebat sendiri, depresiasi seksual atau memiliki orientasi seksual yang aneh.
-
Kenapa bayi menangis? Seorang bayi masih belum bisa berbicara dan menyampaikan keinginannya. Salah satu cara komunikasi yang bisa mereka lakukan adalah menangis.
Sebagian besar orang tua menyebut perilaku ini sebagai Sensory Processing Disorder, atau SPD. Namun, penting untuk diketahui bahwa SPD saat ini belum diakui sebagai gangguan kejiwaan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5).
“Ketika saya menjelaskan masalah sensorik kepada orang tua yang anaknya mengalami hal ini, reaksi umum adalah, 'Oh, itu dia!' Mereka telah mencoba mencari tahu apa yang terjadi selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun! Rasa lega yang mereka rasakan setelah akhirnya mengetahui apa yang terjadi sangat luar biasa,” ujar Nancy Peske, penulis bersama Raising a Sensory Smart Child.
Meski SPD sering kali dianggap sebagai gejala autisme karena banyak orang yang berada dalam spektrum autisme juga mengalami masalah sensorik, tidak semua anak dengan masalah ini berada dalam spektrum autisme. SPD juga dapat ditemukan pada anak-anak dengan ADHD, OCD, keterlambatan perkembangan, atau bahkan pada anak yang tidak memiliki diagnosis spesifik.
Gejala dan Perilaku yang Muncul
Gejala SPD sering kali pertama kali terdeteksi pada masa balita, saat orang tua melihat reaksi anak yang tidak biasa terhadap kebisingan, cahaya, atau pakaian. Anak-anak ini mungkin terlihat canggung, kesulitan menaiki tangga, atau mengalami masalah dengan keterampilan motorik halus seperti memegang pensil dan memasang kancing. Lebih mengkhawatirkan lagi, anak-anak yang mengalami SPD bisa menunjukkan perilaku ekstrem, seperti menjerit ketika wajah mereka basah atau menolak berpakaian dengan alasan yang sulit dipahami.
Perubahan suasana hati yang dramatis juga sering terlihat pada anak-anak dengan SPD. Seorang anak yang mungkin tampak tenang di lingkungan yang tenang bisa tiba-tiba mengalami ledakan emosi di tempat yang penuh dengan rangsangan, seperti di supermarket yang ramai. Peske menggambarkan situasi ini sebagai “respon panik neurologis” di mana otak anak tidak dapat mengatasi rangsangan yang datang dari berbagai arah.
“Sensory kids” memiliki kecenderungan untuk mencari lingkungan yang menenangkan atau rangsangan yang mereka butuhkan. Misalnya, anak-anak yang hiposensitif mungkin selalu mencari aktivitas fisik yang intens, sementara anak-anak yang hipersensitif menghindari situasi yang membuat mereka tidak nyaman, seperti menggosok gigi atau mengecat wajah. “Anak-anak ini mungkin tampak terlalu sensitif atau bahkan terlalu impulsif,” tambah Peske.
Deteksi dini SPD sangat penting untuk membantu anak-anak mengembangkan strategi koping yang tepat. Mengidentifikasi penyebab perilaku yang tidak biasa ini dapat membawa rasa lega tidak hanya bagi anak, tetapi juga bagi orang tua. Dengan bantuan checklist sensorik, orang tua dapat memahami jenis input sensorik yang memengaruhi perilaku anak mereka.