Melihat Akulturasi Budaya di Kota Muntok, Berawal dari Kedatangan Penambang Timah dari Negeri Cina
Akulturasi budaya di Kota Muntok berjalan seiring dengan tumbuhnya pertambangan timah. Budaya toleransi berjalan baik di kota itu.
Kota Muntok dibangun pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin Jayawikrama pada tahun 1721 hingga 1756 Masehi. Pada masa itu, Kota Muntok memegang kekuasaan pemerintahan serta urusan penambangan bijih timah di Pulau Bangka. Hal yang menjanjikan ini mendorong kedatangan orang-orang dari berbagai negeri seperti Cina, Siam, Kamboja, dan Siantan untuk mengadu nasib di Kota Muntok.
Sejarawan Pulau Bangka, Chairul Amri, mengatakan, pada waktu itu Kota Muntok masuk dalam wilayah jajahan Belanda. Belanda kemudian mendirikan sebuah perusahaan timah bernama Bangka Tin Winning (BTW) dengan kantor pusat di Muntok.
-
Bagaimana upaya Kutai Timur untuk melestarikan budayanya? Di beberapa desa dan kawasan, ada yang masih menerapkan norma-norma adat. Kami mengedepankan pendekatan itu untuk mengatasi berbagai persoalan, sekaligus ikut melestarikan budayanya," kata Kasmidi.
-
Apa yang menjadi simbol kerukunan di Kota Muntok? Hanya berjarak sekitar 4 meter di sisi kiri kelenteng, kedua bangunan ini menjadi simbol nyata keanekaragaman suku dan agama di Indonesia.
-
Bagaimana cara Pemerintah Kutai Timur melestarikan budaya di Desa Sekerat? Budaya ini yang akan terus dilestarikan dan dikolaborasikan dengan keindahan pantai dan wisata edukasi lingkungan seperti mangrove.
-
Apa yang dilakukan Banyuwangi untuk melestarikan budaya asli bangsa? Ini salah satu bentuk pengejawantahan nasionalisme di masa sekarang. Bagaimana kita semua bisa melestarikan budaya asli bangsa kita.
-
Bagaimana penduduk Desa Nunuk Baru melestarikan budaya Sunda? Warga Nunuk Baru juga secara turun temurun mempertahan berbagai acara warisan zaman dulu.
-
Apa minuman khas Kabupaten Lingga yang dipengaruhi budaya Timur Tengah? Kabupaten Lingga memiliki satu minuman khas yang lahir dari pengaruh budaya orang-orang Islam Timur Tengah yang bernama Air Serbat.
Berikut cerita selengkapnya:
Pusat Penambangan Timah
Kesuksesan Belanda menjadikan Muntok sebagai pusat penambangan melalui keberadaan BTW tidak bisa lepas dari kepiawaian pendatang penambang Hakka ke Kota Muntok. Mereka didatangkan langsung oleh para saudagar kaya waktu itu untuk dipekerjakan ke Muntok.
“Jadi mereka itulah yang menjadi penambang-penambang timah dan membawa teknologi baru. Sebelumnya warga menambang timah dengan cara konvensional di sungai-sungai, tapi setelah datang orang-orang Cina alat-alat mereka bertambah modern dan bertambah maju,” kata Chairil Amri.
Akulturasi Budaya
Berawal dari para penambang Cina, pertambangan timah di Muntok terus berkembang. Orang-orang datang dari berbagai negeri seperti dari Siam, Yaman, Arab, Cina, Belanda, dan di sana lah mereka membuat klaster sesuai dengan negeri asal mereka.
Saat itu, tercatat ada tiga klaster di Kota Muntok, yaitu klaster Cina, klaster Melayu, dan klaster Eropa. Pembagian klaster ini membawa akulturasi bagi masyarakat Muntok melalui keberadaan Masjid Jami’ dan Kelenteng Kong Fuk Miao.
- Menilik Sejarah Situs Kota Cina, Jejak Bandar Perdagangan Tiongkok di Kota Medan Marelan
- Ragam Kata Bijak Tentang Budaya, Penting untuk Menjaga Toleransi Antar Sesama
- Melihat Jejak Etnis Tionghoa di Tanah Minang, Berawal dari Berdagang hingga Hidup Berbudaya dengan Masyarakat Lokal
- Menjaga Tradisi, Begini Suasana Perkampungan Suku Jawa Kuno Kejawen Adat Istiadatnya Masih Kental
“Di Muntok antara kelenteng dan masjid dibangun berdampingan dan hanya dibelah oleh satu jalan kecil menuju Benteng Kute Seribu,” ungkap Chairil dikutip dari kanal YouTube Bina Budaya.
Tempat Ibadah yang Berdiri Berdampingan
Pembangunan Kelenteng Kong Fuk Miao merupakan hasil Kongsi dari para pekerja timah keturunan Cina di Kota Muntok. Kelenteng ini didirikan pada tahun 1820 pada masa kepemimpinan Mayor Thjung A Thiam. Ia merupakan mayor kedua yang diangkat oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai kepala masyarakat Cina di Kota Muntok.
Pembangunan Masjid Jami’ juga tak lepas dari para tokoh Cina kaya yang menjadi mualaf dan Mayor Thjung A Thiam. Masjid itu dibangun pada tahun 1883 atas Prakarsa tokoh muslim Muntok, Abang Muhammad Nuh.
“Masjid ini dibangun secara gotong royong dengan masyarakat etnis Tionghoa. Karena dari dulu sampai sekarang orang non-muslim itu bersatu dengan masyarakat Muntok,” kata M Najieb selaku pengurus masjid.
Toleransi di Kota Muntok
Budaya toleransi berjalan baik di Kota Muntok. Saat datang waktu sholat, kegiatan latihan barongsai ataupun tari-tarian di kelenteng dihentikan sejenak. Saat mereka mengadakan perayaan pun masyarakat muslim juga ikut menyaksikan.
Begitu pula dengan masyarakat Cina, saat perayaan hari raya Qurban, masyarakat Cina juga ikut membagikan daging kurban ke masyarakat dan juga mendapatkan daging kurban itu.
“Walaupun mayoritas muslim tapi bisa menghargai yang non-muslim. Dan kita dari non-muslim juga bisa menghargai mereka. Jadi akan tumbuh kerja sama yang baik, jadi istilahnya kita kalau bertemu harus sapa, salam, dan ngomong,” kata Pak Amek, pengurus Kelenteng Kong Fuk Miao, dikutip dari kanal YouTube Bina Budaya.