Menilik Stasiun Kereta Api Binjai, Bukti Peninggalan Zaman Kolonial Belanda di Sumatra Utara
Stasiun Binjai, salah satu peninggalan zaman Belanda yang masih kokoh dan berfungsi dengan baik.
Salah satu peninggalan sejarah di bidang perkeretaapian ini masih begitu kental dengan nuansa kolonial Belanda.
Menilik Stasiun Kereta Api Binjai, Bukti Peninggalan Zaman Kolonial Belanda di Sumatra Utara
Masa kolonial di Indonesia telah meninggalkan beragam bangunan kuno yang bahkan sampai sekarang masih berfungsi dan digunakan sebagai fasilitas masyarakat. Salah satu peninggalannya berupa stasiun kereta api.
Di Kota Binjai terdapat sebuah bangunan stasiun kereta api yang konon sudah berdiri sejak zaman Belanda. Stasiun tersebut bernama Stasiun Binjai atau yang dulunya bernama Stasiun Timbang Langkat.
-
Mengapa kolonial Belanda membangun jalur kereta api di Sumatera Barat? Di Sumatera Barat, wacana pembangunan rel kereta api oleh kolonial Belanda digunakan untuk distribusi kopi dari daerah pedalaman, seperti Bukittinggi, Payakumbuh, Tanah Datar, hingga Pasaman menuju ke pusat kota yaitu Padang.
-
Apa yang menjadi tujuan utama pembangunan jalur kereta api di Aceh saat masa kolonialisme Belanda? Melansir dari heritage.kai.id, rencana pembangunan jalur kereta api di Aceh dimulai saat Belanda menyatakan perang dengan Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1873. Masa kekuasaan dari pihak Belanda terus berganti sampai pada tahun 1874 Banda Aceh sudah dikuasai oleh Jenderal Jan van Swieten. Saat Swieten ditarik ke Batavia, pimpinan militer Belanda di Aceh diganti oleh Mayor Jenderal Johannes Ludovicious Jacobus Hubertus Pel. Dirikan Rel Kereta Api Pel, yang terkesima melihat jalur kereta api di Pulau Jawa membuat dirinya langsung menulis surat kepada Jenderal James Loudon tentang betapa pentingnya moda transportasi kereta api untuk menaklukan Kesultanan Aceh.
-
Mengapa Belanda membangun jalur kereta api di Sumatera Barat? Sumatra Barat menjadi salah satu lokasi yang dipilih Belanda untuk dibangun jalur kereta di sana. Pasalnya, di daerah tersebut ditemuan sebuah pertambangan batu bara tepatnya di Sawahlunto tahun 1868.
-
Di mana saja stasiun kereta api yang ada di Sumatera Utara? Sumatra Utara menjadi provinsi di Sumatra yang memiliki rute kereta api dan layanan terbanyak. Pasalnya, Sumatra memiliki rute kereta api yang melewati Medan, Siantar, Tebing Tinggi, Kisaran, Padang Halaban, Tanjung Balai, Batang Kuis, Lubuk Pakam, serta Rantau Prapat.
-
Apa saja yang menjadi koleksi di Museum Kereta Api Sawahlunto? Museum ini memiliki koleksi berjumlah 106 buah yang terdiri dari gerbong, lokomotif uap, jam, alat-alat sinyal atau komunikasi, foto dokumentasi, miniatur lokomotif dan berbagai macam barang lainnya.
-
Di mana letak Museum Kereta Api Sawahlunto? Letaknya berada di Jalan Jenderal A. Yani, Pasar, Lembah Segar, Sawahlunto, Sumatera Barat.
Secara fisik, bangunan stasiun tersebut begitu kental dengan gaya arsitektur perpaduan Eropa dan juga budaya lokal yang artinya menyesuaikan dengan kondisi pada saat itu.
Penasaran dengan stasiun peninggalan Belanda tersebut? Simak ulasannya yang dihimpun dari beberapa sumber berikut ini.
Pertahankan Keasliannya
Mengutip cagarbudaya.sumutprov.go.id, Stasiun Binjai merupakan stasiun kereta api kelas II di ketinggian 29,52 meter di atas permukaan laut. Stasiun ini termasuk dalam Divisi Regional (Divre) I Sumatra Utara dan Aceh.
Konon stasiun ini dibangun sekitar tahun 1887. Stasiun ini memiliki ciri khas bangunan yang didominasi dengan gaya Belanda. Meski bangunan ini tergolong tua, secara fisik Stasiun Binjai masih kokoh dengan mempertahankan keasliannya, berbeda dengan stasiun lainnya yang ada di Sumatra Utara.
Sampai detik ini, stasiun yang berada di Jalan Ikan Pasu, Kecamatan Binjai Timur ini masih berfungsi dilewati kereta api setiap hari namun tak sebanyak stasiun-stasiun lainnya.
Didesain Tahan Iklim Tropis
Mengutip artikel Universitas Sumatera Utara karya Ludy Hartono (2017), bangunan Stasiun Binjai tergolong dalam arsitektur indis yang gaya bangunannya perpaduan antara Belanda. Lalu bangunannya menyesuaikan dengan keadaan wilayah.
Pembangunan stasiun ini disengaja agar tahan terhadap iklim tropis di Indonesia. Hal ini sangat berhubungan dengan pergantian musim kemarau ke musim penghujan yang berpotensi mengalami kerusakan pada fisik bangunan.
Untuk mengatasi hal tersebut, bangunan Stasiun Binjai didesain ramping yang memungkinkan penggunaan bukaan yang banyak pada sekitar bangunan sehingga memudahkan pergantian udara yang sangat diperlukan di iklim tropis.
- Menguak Jejak Stasiun Kereta Api Tertua di Indonesia, Kini Hilang Tenggelam
- Bekas Stasiun Kereta Api di Magelang Kini Jadi Bangunan Sekolah, Ini Penampakannya
- Menilik Stasiun Pulau Aie, Saksi Perkembangan Sejarah Kereta Api di Kota Padang
- Mengunjungi Kampung Brem Madiun, Jajanan Khas Sejak Zaman Kolonial Belanda
Ada Ornamen Bergaya Belanda
Salah satu bukti bangunan ini dibangun zaman kolonial adalah di bagian ornamen yang diambil dari perkembangan arsitektur di Eropa. Hal ini terbukti banyaknya penggunaan ornamen di setiap dinding bangunan.
(Foto: wikipedia)
Bagian ornamen yang cukup menonjol adalah hood molding yang mudah dijumpai pada bagian pintu dan jendela stasiun. Kemudian ada dado berwarna abu-abu yang berada di bagian dinding stasiun.
Terakhir, terdapat Plinth atau semacam bagian lekukan siku-siku yang menambah kesan berbeda di bagian dinding. Ornamen ini bisa ditemukan di beberapa sudut dinding bangunan stasiun.
Gunakan Arsitektur Melayu
Tak hanya gaya Belanda, bukti bangunan ini bergaya arsitektur Indis terlihat dari penggunaan arsitektur Melayu yang terlihat pada lubang angin tepat di atas pintu atau jendela.
Bukan untuk bergaya saja, rupanya fungsi dari lubang angin tersebut memang dirancang untuk mengalirkan udara dan memasukkan cahaya ke dalam ruangan yang masih berkaitan dengan iklim tropis.
Bagian lainnya ada pada tiang stasiun yang masih menggunakan kayu sebagai bahan utamanya. Tiang-tiang tersebut berfungsi untuk menopang atap stasiun. Terlihat pula bagian atas tiang menggunakan sistem gapit yang berciri khas arsitektur Melayu.