Bea Cukai Beberkan Dampak Buruk Rokok Ilegal, dari Kerugian Negara Hingga Industri
Berdasarkan data penindakan Bea Cukai, 94,96 persen rokok ilegal tidak menggunakan pita cukai.
Maraknya rokok ilegal dapat mengganggu iklim usaha khususnya industri rokok legal. Selain itu ada risiko hilangnya potensi penerimaan negara.
Bea Cukai Beberkan Dampak Buruk Rokok Ilegal, dari Kerugian Negara Hingga Industri
Bea Cukai Beberkan Dampak Buruk Rokok Ilegal, dari Kerugian Negara Hingga Industri
Bea Cukai di seluruh wilayah Indonesia terus menggencarkan operasi gempur rokok ilegal. Ini dilakukan sebagai langkah represif penanganan peredaran barang kena cukai (BKC), khususnya rokok ilegal.
Maraknya rokok ilegal perlu ditangani dengan serius, mengingat dampaknya terhadap penerimaan cukai yang harusnya masuk ke negara dan kesehatan masyakarat.
Kasubdit Humas dan Penyuluhan Bea Cukai, Encep Dudi Ginanjar menjelaskan, Operasi Gempur Rokok Ilegal merupakan aspek pencegahan dan penegakan hukum yang meliputi pemberian edukasi kepada masyarakat dan pelaku industri serta pemberantasan rokok ilegal.
Selain itu ada risiko hilangnya potensi penerimaan negara dan aspek kesehatan masyarakat menjadi tidak terjamin.
"Pada intinya rokok ilegal ini merugikan masyarakat dan negara. Hak-hak yang harusnya kembali kepada masyarakat, misalnya dalam bentuk pembangunan, subsidi, dan lainnya dapat terganggu karena rokok ilegal tidak membayar cukai. Alasan seperti itulah yang membuat Bea Cukai berkomitmen untuk terus memberantas rokok ilegal," ungkap Encep.
Encep memaparkan, motif rokok ilegal umumnya bertujuan untuk menghindari membayar cukai yang sudah ditetapkan. Misalnya rokok ilegal yang tidak menggunakan pita cukai (rokok polos), pita cukai palsu, pita cukai bekas, hingga menggunakan pita cukai yang tidak sesuai aturan (peruntukan dan personalisasi).
Motif yang paling banyak digunakan pelaku bisnis rokok ilegal, kata Encep, adalah rokok polos. Berdasarkan data penindakan Bea Cukai, 94,96 persen rokok ilegal tidak menggunakan pita cukai.
"Rokok ilegal ini tidak melewati berbagai proses standardisasi sehingga memiliki dampak negatif yang lebih besar. Selain itu rokok ilegal juga tidak berkontribusi terhadap penerimaan negara, dengan kata lain, tidak mendukung proses penyelenggaraan negara, redistribusi pendapatan, hingga tidak berkontribusi dalam meminimalisasi eksternalitas yang timbul karena efek negatif konsumsi rokok," tegas Encep.
Sunaryo mengatakan, disparitas harga menjadi salah satu penyebab motif salah peruntukan pita cukai. Hal ini terjadi karena adanya selisih tarif rokok antar-golongan di mana perbedaan tarif yang signifikan mendorong upaya mengakali cukai.
"Kita harus aware bahwa permasalahan ini (rokok ilegal) juga menjadi permasalahan prevalensi. Kalau dalam praktiknya, sudah dipertimbangkan di pusat di mana ada satu kebijakan jangan sampai memberikan insentif kepada rokok ilegal karena kalau diberikan maka penerimaan negara juga tidak optimal," ucap Sunaryo.
Kekhawatiran ini beralasan sebab penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) alias cukai rokok sampai akhir Agustus 2023 baru mencapai Rp126,8 triliun atau setara dengan 54,53 persen dari target dalam APBN 2023 yang sebesar Rp232,5 triliun. Bahkan realisasi ini menurun 5,82 persen dibandingkan pencapaian di periode yang sama tahun lalu sebesar Rp134,65 triliun.
Sumber: Liputan6.com