Hati-Hati, Penerapan Kebijakan Rokok Kemasan Polos Berpotensi Timbulkan Sengketa di WTO
Kebijakan kemasan polos ini juga dinilai dapat menciptakan kekhawatiran akan inkonsistensi dalam pandangan Indonesia.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) mewanti-wanti penerapan kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang tengah dalam tahap perumusan.
Sebab, Kebijakan ini berpotensi kembali menimbulkan sengketa di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO), terutama terkait hak merek dan hambatan perdagangan.
- Wacana Aturan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek, Begini Sikap HKTI Beri Harapan pada Prabowo
- Aturan Rokok Kemasan Polos Dinilai Bukan Solusi Tepat Tekan Prevalensi Perokok di Indonesia
- Wacana Aturan Rokok Kemasan Polos Berpotensi Tambah Rentetan PHK, Anggota DPR Minta Ini ke Pemerintah
- Beredar Wacana Kemasan Rokok Polos, Pelaku Industri Beri Tanggapan Begini
Negosiator Perdagangan Ahli Madya, Kementerian Perdagangan, Angga Handian Putra, mengatakan hingga saat ini, Kemenkes belum memberikan undangan resmi kepada Kemendag untuk berpartisipasi dalam proses perumusan kebijakan tersebut. Mengingat potensi buruk yang ditimbulkan, pihaknya merasa perlu melakukan upaya proaktif untuk terus mengawal perkembangan kebijakan kemasan rokok polos tanpa rokok.
Pihaknya mengetahui tentang rancangan aturan tersebut dari situs Kemenkes, bukan diinformasikan secara langsung.
"Kami berharap agar kami bisa dilibatkan secara resmi sehingga Kementerian Perdagangan dapat memiliki posisi resmi dalam kebijakan ini,” kata Angga.
Kemendag, khususnya Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (Dirjen PPI), fokus pada isu kemasan rokok polos tanpa merek dalam konteks sengketa dagang antara Indonesia dan Australia di WTO beberapa tahun lalu. Sebab itu, Angga menitikberatkan pada pentingnya memiliki dasar ilmiah yang kuat untuk menghindari sengketa di masa depan.
"Saat bersengketa dengan Australia, mereka menyajikan kajian ilmiah yang mendukung bahwa kebijakan ini dapat menurunkan prevalensi merokok. Indonesia perlu memiliki kajian ilmiah serupa," tegasnya dikutip Selasa (24/9).
Inkonsistensi dalam Pandangan Indonesia
Kebijakan kemasan polos ini juga dinilai dapat menciptakan kekhawatiran akan inkonsistensi dalam pandangan Indonesia. Sebelumnya, Indonesia menentang kebijakan tersebut dengan argumen bahwa kemasan rokok polos tanpa mereka bisa menghambat perdagangan dan melanggar hak pemegang merek dagang.
"Jika merujuk pada sengketa dagang yang lalu, kami ingin agar merek dagang tetap bisa digunakan. Sebab, merek dagang memiliki beberapa fungsi penting, seperti membedakan produk, membantu konsumen memilih produk, mencegah perdagangan ilegal, dan pemalsuan produk. Ini adalah hal-hal yang kami perjuangkan saat bersengketa di WTO," tambah dia.
Walaupun belum ada posisi resmi yang ditentukan, Kemendag berkomitmen untuk memberikan masukan terkait kebijakan tersebut. Angga menyatakan bahwa mereka akan terus berkomunikasi dengan unit terkait di Kemenkes dan mengikuti informasi terbaru melalui dokumen yang tersedia di website resmi.
Kemendag juga mengingatkan bahwa selain tantangan terkait merek dagang, kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dapat menciptakan hambatan perdagangan. Angga turut menyoroti pentingnya bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa kebijakan ini mendukung kesehatan masyarakat, sesuai dengan perjanjian WTO yang berlaku.
Terkait dampak kebijakan ini terhadap perdagangan luar negeri, Angga mengkhawatirkan adanya dampak penurunan impor/ekspor akibat penerapan kemasan rokok polos tanpa merek.
"Jika ada pembatasan, negara lain yang memiliki kepentingan bisa merasa dirugikan. Setiap negara memiliki kondisi yang berbeda, dan kami harus hati-hati agar Indonesia tidak terlibat dalam sengketa yang serupa dengan yang dialami Filipina terhadap Thailand terkait produk tembakau," ungkapnya.