Cerita Tukang Gali Kubur di Gaza, Tak Bisa Tidur karena Dihantui Korban Tewas Serangan Israel
Cerita Tukang Gali Kubur di Gaza, Tak Bisa Tidur karena Dihantui Korban Tewas Serangan Israel
Memasuki bulan kedua serangan udara dan rudal Israel, korban Palestina terus berjatuhan.
-
Apa yang memperkirakan Pertahanan Sipil Palestina tentang jenazah di Gaza? Sekitar 10.000 warga Palestina diperkirakan terkubur di bawah reruntuhan bangunan akibat serangan Israel di Jalur Gaza, demikian disampaikan oleh pertahanan sipil Palestina.
-
Apa yang terjadi di Gaza? Genosida masih terus terjadi di Gaza, Palestina.
-
Siapa yang menjadi korban pembantaian di Gaza? Jumlah korban tewas yang tercatat resmi mencapai 32.975 orang pada hari Rabu. Namun, angka ini hanya mencakup warga Palestina yang jenazahnya tiba di rumah sakit, sementara sekitar 7.000 lainnya masih hilang.
-
Kenapa warga Palestina di Gaza diserang? Serangkaian serangan demi serangan terus diluncurkan oleh tentara Israel. Akibatnya, sudah banyak warga Palestina yang meninggal dunia. Bahkan mirisnya, korban termasuk anak-anak.
-
Siapa bocah Gaza yang mengubur diri? Seorang bocah bernama Hossam pun ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi orang meninggal seperti para korban Israel.
Cerita Tukang Gali Kubur di Gaza, Tak Bisa Tidur karena Dihantui Korban Tewas Serangan Israel
Saadi Baraka terus menggali tanah di bawah kakinya dengan sekop. Dia sedang menyiapkan kuburan massal di Gaza, Palestina.
Kuburan massal menjadi satu-satunya solusi untuk menguburkan banyaknya korban tewas akibat serangan Israel ke Gaza.
Memasuki bulan kedua serangan udara dan rudal Israel, korban Palestina terus berjatuhan tak terkira. Tragedi yang terus meningkat kini perlahan menguak lebih banyak kejahatan tentara Israel terhadap warga sipil di Jalur Gaza.
Pria 63 tahun itu mengungkapkan penderitaannya menyaksikan antrean mayat anak-anak dan wanita yang harus ia kuburkan.
Meski dirinya sudah menghabiskan hidupnya menjadi tukang gali kubur, pria ini mengatakan apa yang dia saksikan saat ini "tidak ada bandingannya" dengan apapun di masa lalu. Jiwanya terguncang sampai-sampai dia tidak bisa tidur atau makan.
Israel selama ini terus menyebut serangannya bertujuan menghancurkan Hamas, tapi kenyataannya adalah, menurut data resmi, mayoritas penduduk Gaza yang terdiri dari perempuan dan anak-anak yang menjadi korban. Angkanya mencapai setidaknya 70%.
Dalam wawancara dengan Anadolu, Baraka dengan suara gemetar menceritakan kesulitannya mengubur puluhan bahkan ratusan mayat setiap hari sejak dimulainya serangan pada 7 Oktober.
"Saya belum pernah melihat, sampai hari ini, kekejaman seperti ini terhadap anak-anak, perempuan, dan orang lanjut usia, bahkan dalam rezim Nazi yang mereka bicarakan," katanya dengan mata yang mencerminkan kelelahan dan duka.
"Kemarin, saya menguburkan hampir 600 syuhada, lebih banyak dari yang saya kuburkan dalam lima tahun terakhir. Saya belum pernah melihat kekejaman seperti ini. Mayoritas dari mereka yang saya kubur adalah perempuan dan anak-anak," sambungnya.
Dia menjelaskan mengapa harus membuat kuburan massal dengan nada pahit, "Kami terpaksa melakukan ini (kuburan massal). Tidak ada tempat untuk menampung jumlah mayat setiap harinya, dan tidak ada blok (lempengan semen yang diletakkan di atas kuburan jenazah). Semuanya sudah habis di Gaza."
"Setiap kuburan massal berukuran sekitar 6 meter, dan menampung sekitar 45 orang. Kuburan massal terbesar bisa menampung 137 mayat," ungkap Baraka.
Dengan tumpukan mayat, Baraka menyoroti masalah kelangkaan kebutuhan. "Tidak ada bahan mentah yang tersisa; tidak ada yang tersisa di Gaza. Bahkan air pun tidak lagi tersedia," tambahnya.
Di tengah tumpukan mayat di sekitarnya, Baraka menyoroti masalah jenazah yang tidak teridentifikasi. Ia menyampaikan mereka yang tidak teridentifikasi dikuburkan sama seperti jenazah lain. Dalam situasi ini tidak mungkin menggali kuburan setelah perang untuk mengidentifikasi jenazah yang sudah dimakamkan.
Namun, kepedihan yang paling mendalam muncul ketika Baraka menceritakan kesulitannya selama hari kerja yang panjang.
"Saya tidak bisa tidur karena banyaknya mayat anak-anak yang saya lihat. Apa kesalahan anak-anak ini?" serunya getir.
Di tengah keputusasaan, harapan Baraka untuk hidup sebagai warga negara di tanahnya sendiri terus berkobar.
"Kami hanya berupaya untuk kehidupan dengan martabat dan kebebasan, memiliki negara, dan kedaulatan. Saya ingin menjadi warga negara seperti warga negara lain di dunia. Mereka yang mengirim bantuan seharusnya mempertimbangkan lebih pantas membiarkan kami hidup sebagai warga negara di negara kami sendiri, seperti halnya di negara lain," tegasnya.
"Kami tidak mencari bantuan dan makanan; kami telah berjuang untuk perdamaian sejak zaman Abu Ammar (mendiang Presiden Palestina Yasser Arafat). Sementara itu, Netanyahu hanya mengejar pertumpahan darah," sambungnya.
Tragedi Gaza bukan hanya tentang angka statistik, tetapi tentang penderitaan manusia yang membutuhkan perhatian dunia. Saadi Baraka menjadi simbol kekuatan di tengah puing-puing keputusasaan.