Demi Reformasi Birokrasi, Vietnam Akan Pangkas Jumlah Kementerian Jadi Hanya 13 Pada 2025
Vietnam akan memiliki total 13 kementerian, ditambah empat lembaga setingkat kementerian dan empat badan pemerintah lainnya.
Pemerintah komunis Vietnam sedang merencanakan sebuah revolusi institusional yang bertujuan untuk merampingkan birokrasi secara drastis dalam waktu dekat. Rencana ini mencakup pengurangan jumlah badan pemerintahan dari 30 menjadi 21. Beberapa kementerian penting, seperti kementerian keuangan dan investasi, akan digabung menjadi satu entitas, sementara komisi-komisi yang dikelola oleh Partai Komunis Vietnam (VCP) serta organisasi media milik negara akan dibubarkan. Menurut laporan dari DW Indonesia pada Jumat (19/12/2024), Komite Sentral partai telah menyetujui rencana ini pada 25 November 2024, dan diharapkan dapat diselesaikan pada bulan April 2025. Setelah reformasi ini, Vietnam bakal memiliki 13 kementerian, empat lembaga setingkat kementerian, dan empat badan pemerintah tambahan.
Rincian Perubahan yang Direncanakan
Salah satu perubahan yang paling mencolok adalah penggabungan Kementerian Keuangan dengan Kementerian Perencanaan dan Investasi, yang akan membentuk "kementerian super" baru bernama Kementerian Keuangan dan Perencanaan Nasional. Selain itu, Kementerian Transportasi akan bergabung dengan Kementerian Konstruksi, dan Kementerian Tenaga Kerja, Penyandang Disabilitas, serta Urusan Sosial akan digabung dengan Kementerian Dalam Negeri. Laporan dari media pemerintah Vietnam juga menyebutkan bahwa Partai Komunis dan Majelis Nasional akan mengalami restrukturisasi. Sebagai contoh, Komisi Pusat Partai untuk Urusan Eksternal dan Komite Hubungan Luar Negeri dari Majelis Nasional akan digabungkan ke dalam Kementerian Luar Negeri. Di samping itu, beberapa media yang dikelola oleh negara, terutama stasiun radio, akan dibubarkan, dan staf yang ada akan dipindahkan ke organisasi berita yang lebih besar. Meskipun rincian spesifik mengenai jumlah pegawai yang terdampak belum diumumkan, skala pemangkasan ini menunjukkan bahwa ribuan pegawai negeri kemungkinan akan terpengaruh oleh perubahan tersebut.
Di Vietnam, ini bukanlah sesuatu yang baru
Proses penggabungan kementerian di Vietnam bukanlah hal yang baru, karena negara ini telah mengurangi jumlah kementeriannya dari 36 pada awal 1990-an menjadi 22 pada tahun 2021. Namun, para analis memperhatikan bahwa kali ini, skala dan kecepatan reformasi yang dilakukan sangat signifikan, di mana Sekretaris Jenderal Partai Komunis, To Lam, menyatakan bahwa proses ini merupakan "revolusi kelembagaan". Reformasi ini bertujuan untuk "modernisasi aparatur negara Vietnam, mengatasi inefisiensi yang terus-menerus menghambat tata kelola pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi, serta merampingkan birokrasi yang membengkak," ujar Nguyen Khac Giang, seorang peneliti tamu di ISEAS Yusof Ishak Institute. Jika reformasi ini berhasil dilaksanakan, Nguyen percaya bahwa To Lam, yang dianggap sebagai sosok paling berpengaruh di Vietnam, serta Perdana Menteri Pham Minh Chinh, dapat dikenang sebagai reformis yang berfokus pada tindakan.
Reformasi sebagai Kebutuhan Ekonomi
Dalam pertemuan Komite Sentral yang diadakan bulan lalu, To Lam menggarisbawahi bahwa perubahan ini merupakan kebutuhan ekonomi, dengan menekankan bahwa institusi-institusi saat ini berfungsi sebagai "hambatan dalam hambatan". Ia menegaskan bahwa tujuan dari reformasi ini adalah untuk menciptakan pemerintahan yang "ramping, kompak, kuat, efisien, efektif, dan berdampak." Nguyen Dinh Cung, mantan direktur Central Institute for Economic Management, yang merupakan salah satu lembaga nasional terkemuka di Vietnam, meyakini bahwa reformasi ini akan meningkatkan efisiensi ekonomi. Menurutnya, pengurangan jumlah kementerian dan komisi akan mempermudah pengurusan dokumen investasi serta perencanaan infrastruktur dan real estat, dan juga akan menyelesaikan beberapa tumpang tindih kelembagaan yang seringkali mengarahkan pemerintah ke arah yang berbeda. "Satu lembaga mengharuskan Anda ke kanan sementara lembaga lain menuntut Anda ke kiri. Masalah ini cukup umum terjadi," jelas Cung.
Rencana untuk melakukan reformasi
Rencana reformasi ini muncul di tengah kekhawatiran yang melanda Hanoi terkait pertumbuhan ekonomi. Vietnam, yang merupakan negara dengan ekonomi yang bergantung pada ekspor, kini menghadapi ketidakpastian mengenai hubungan perdagangan dengan pasar terbesarnya, yaitu Amerika Serikat. Ketegangan ini semakin meningkat menjelang masa kepresidenan Donald Trump yang akan datang. Trump telah mengancam untuk mengenakan tarif antara 10% hingga 20% untuk semua barang impor dan sebelumnya telah menyebut Vietnam sebagai "pelanggar terburuk" dalam perdagangan AS, terutama karena surplus yang besar, yang terus meningkat sejak tahun 2019.
Hai Hong Nguyen, seorang dosen senior di VinUniversity, menjelaskan bahwa setelah 40 tahun menerapkan prinsip-prinsip pasar bebas, Vietnam kini telah menjadi negara berpenghasilan menengah ke bawah dan dianggap sebagai model pembangunan oleh komunitas internasional. "Namun, kerangka institusionalnya dipandang sebagai hambatan yang menghambat perkembangan ekonomi lebih lanjut," ungkap Nguyen. Ia menambahkan, "Berdasarkan semua indikasi, Vietnam seharusnya berkembang lebih cepat dan berada di tingkat perkembangan yang lebih tinggi." Dengan demikian, tantangan yang dihadapi Vietnam saat ini memerlukan perhatian serius agar dapat mendorong pertumbuhan yang lebih berkelanjutan.
Apa yang dimaksud dengan konsolidasi kekuasaan?
Reformasi yang sedang berlangsung ini juga melibatkan aspek politik. To Lam diangkat sebagai pemimpin partai pada bulan Agustus setelah kepergian pendahulunya, Nguyen Phu Trong, yang dikenal dengan kampanye anti-korupsi yang disebut "tungku yang menyala-nyala". Sebelumnya, saat menjabat sebagai menteri keamanan publik, To Lam telah membangun kekuatan yang cukup besar melalui inisiatif antikorupsi. Sejak tahun 2021, banyak pejabat dari Kementerian Keamanan Publik, militer, dan kepolisian yang menduduki sebagian besar posisi di Politbiro, lembaga pengambil keputusan tertinggi di Vietnam. Setelah menjabat sebagai pemimpin partai, To Lam terus memperkuat kekuasaannya, yang memicu tuduhan mengenai kecenderungan otoriter. Pada awal tahun ini, ia juga menjabat sebagai pemimpin partai sekaligus presiden negara, sebuah konsentrasi kekuasaan yang belum pernah terjadi sebelumnya di Vietnam.
Meskipun banyak analis memprediksi bahwa ia akan tetap menjabat sebagai sekretaris jenderal, muncul kabar mengenai ketidakpuasan di dalam partai. Beberapa pengamat mencatat adanya kesamaan antara reformasi institusi di Vietnam dan rencana pemerintahan Trump untuk merombak pemerintahan AS. David Brown, mantan diplomat AS di Vietnam, menyatakan bahwa pendekatan Trump bertujuan untuk "mengukuhkan kendalinya." Dengan cara yang serupa, To Lam juga "berniat untuk menempatkan orang-orang yang ia percayai pada jabatan-jabatan penting," terutama jika hal ini disertai dengan perombakan struktur pemerintahan yang telah lama dinantikan.