Jelang Pemilu, India Terapkan Undang-undang 'Anti-Muslim', Isu Diskriminasi Menguat
Jelang Pemilu, India Terapkan Undang-undang 'Anti-Muslim'
Perdana Menteri Narendra Modi kembali maju sebagai calon PM untuk jabatan periode ketiga pada pemilu Mei nanti.
Jelang Pemilu, India Terapkan Undang-undang 'Anti-Muslim'
Beberapa pekan sebelum Perdana Menteri Narendra Modi mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga dalam pemerintahan nasionalis Hindu, pemerintah India mengumumkan peraturan yang akan digunakan untuk menerapkan Undang-Undang Amandemen Kewarganegaraan (CAA).
Undang-undang kontroversial yang disahkan oleh pemerintahan Modi pada 2019 ini memberikan kewarganegaraan India kepada pengungsi non-muslim dari negara tetangga India.
Menurut undang-undang ini, orang-orang beragama Hindu, Parki, Sikh, Buddha, Jain dan Kristen yang melarikan diri ke India dari Afghanistan, Bangladesh, dan Pakistan, yang mayoritas penduduknya beragama Islam sebelum tanggal 31 Desember 2014, dianggap memenuhi syarat untuk mendapatkan kewarganegaraan India.
Beberapa kelompok hak asasi manusia menganggap undang-undang tersebut "anti-muslim" karena membuat warga beragama Islam kian tidak diakui. Karakter sekuler
negara demokrasi terbesar di dunia itu pun dipertanyakan.
Setelah protes nasional atas pengesahannya pada Desember 2019, pemerintah Modi belum menyusun aturan untuk undang-undang itu.
Kebijakan kontroversial itu memicu kerusuhan di Ibu Kota New Delhi yang mengakibatkan kematian puluhan orang, sebagian besar dari mereka adalah muslim, dan ratusan lainnya luka-luka.
"Pemerintah Modi mengumumkan implementasi Undang-Undang Amandemen Kewarganegaraan," ujar seorang juru bicara pemerintah, menurut laporan kantor berita Reuters pada Senin (4/3) yang dilansir Aljazeera.
"Ini adalah bagian integral dari manifesto (pemilu) 2019 BJP. Ini akan membuka jalan bagi mereka yang teraniaya untuk mendapatkan kewarganegaraan di India," katanya, merujuk pada Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa.
Menurut kelompok muslim, undang-undang ini, bersama dengan usulan National Register of Citizens (NRC), dapat mendiskriminasi 200 juta muslim di India, yang merupakan populasi muslim terbesar ketiga di dunia.
Mereka khawatir kewarganegaraan muslim yang tidak memiliki dokumen akan dicabut oleh pemerintah di beberapa negara bagian perbatasan.
Pemerintah membantah tuduhan mereka anti-muslim dan membela undang-undang tersebut, mengatakan aturan itu dibuat untuk membantu kaum minoritas yang dianiaya di negara-negara mayoritas muslim.
Mereka menyatakan undang-undang tersebut dimaksudkan untuk memberikan kewarganegaraan, bukan mengambilnya dari siapapun, dan menyatakan protes sebelumnya disebabkan oleh alasan politik.
Kelompok hak asasi manusia mengklaim sejak Modi mengambil alih jabatan perdana menteri pada tahun 2014, perlakuan buruk terhadap muslim telah meningkat.
Sejak saat itu, telah terjadi peningkatan jumlah serangan terhadap muslim dan mata pencaharian mereka di negara ini, termasuk penghancuran properti dan rumah warga muslim.
Selama pemerintahan Modi, kasus pembantaian massa dengan alasan melindungi sapi, yang dianggap suci oleh banyak orang Hindu, meningkat.
Laporan ujaran kebencian terhadap muslim juga meningkat di India, dengan rata-rata hampir dua peristiwa ujaran kebencian anti-muslim per hari pada tahun 2023.
Sebuah laporan mengungkapkan bahwa tiga dari empat insiden ujaran kebencian terjadi di negara-negara bagian yang diperintah oleh BJP.