Media Asing Soroti Tragedi Kanjuruhan, Kritik Tajam Polisi Indonesia
Merdeka.com - Kericuhan yang terjadi selepas laga sepak bola antara klub Arema Malang dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan Sabtu lalu menewaskan sedikitnya 127 orang. Peristiwa terburuk kedua dalam sejarah persepakbolaan dunia itu sontak menjadi sorotan berbagai media internasional.
Bentrokan terjadi antara aparat polisi dan suporter di stadion. Polisi pun menembakkan gas air mata ke arah penonton sehingga memaksa orang-orang untuk keluar stadion berdesak-desakan. Mereka yang tak kuat jatuh terinjak-injak hingga tewas.
Ini bukan kali pertama bentrokan mematikan antara polisi dan warga sipil terjadi.
-
Kenapa suporter meninggal di Stadion Kanjuruhan? Banyaknya korban jiwa disebabkan penggunaan gas air mata oleh polisi dan diperparah pintu stadion terkunci sehingga terjadi penumpukan massa di satu lokasi.
-
Kenapa Stadion Teladan Medan ambruk? Kondisi menjadi kritis saat pengunjung mulai berdesak-desakan karena stadion hanya memiliki satu pintu masuk yang sempit untuk menampung jumlah orang yang begitu banyak.
-
Bagaimana anggota polisi terluka? Dia memaparkan, provokator dalam peristiwa itu sudah diamankan di Polresta Jambi.
-
Kapan Stadion Teladan Medan ambruk? Mengutip liputan6, pada 16 September 1979, Stadion Teladan Medan, Sumatera Utara, dipenuhi oleh sekitar 200.000 pengunjung yang datang untuk menyaksikan konser artis cilik Adi Bing Slamet, Iyut Bing Slamet, dan Ira Maya Sopha.
-
Mengapa perwira tersebut diperlakukan seperti itu? Dijelaskan dalam video, bahwa setiap prajurit yang sudah masuk ke rumah tahanan maka dianggap sama. “Tidak ada yang spesial di penjara militer meski setinggi apapun pangkatnya,“
-
Apa yang dialami korban? 'Dia alami luka cukup serius. Setelah kejadian, korban kemudian dilarikan ke RSUD Dekai, guna mendapatkan penanganan medis,' kata Kapolres Yahukimo AKBP Heru Hidayanto.
Dikutip dari laman the New York Times, Selasa (4/10), selama bertahun-tahun, ribuan warga harus menghadapi kekerasan polisi yang dinilai korup, brutal dalam menghadapi kerumunan dan aparat yang kebal hukum.
Bentrokan pada 2019 antara polisi dengan pengunjuk rasa yang tidak menerima kemenangan Presiden Joko Widodo dalam pemilu menewaskan 10 orang dalam unjuk rasa.
Ssetahun kemudian, polisi memukuli ratusan orang di 15 provinsi saat unjuk rasa pengesahan UU baru. Kemudian pada April 2020 di kota Ternate, polisi menembakkan gas air mata hingga melukai para pengunjuk rasa.
Melalui bentrokan-bentrokan ini, terlihat jika polisi sering menggunakan taktik memukul dengan tongkat dan perisai huru hara serta menyemprot atau menembak gas air mata. Taktik yang sama itu juga dipakai polisi saat bentrok dengan Aremania pada Sabtu lalu.
Menurut para ahli, tragedi di Stadion Kanjuruhan itu menunjukkan kelemahan polisi, yaitu aparat yang kurang terlatih mengendalikan massa dan perlakuan militeristik kepada warga sipil.
“Bagi saya, ini benar-benar fungsi dari kegagalan reformasi kepolisian di Indonesia,” jelas Jacqui Baker, ekonom politik di Universitas Murdoch Perth, Australia.
Menurut Baker meski dalam 2 dasawarsa terakhir pihak berwajib telah melakukan penyelidikan atas tindakan kasar polisi Indonesia, namun upaya-upaya itu tidak membawa perubahan.
Bagi Baker, tidak adanya perubahan terjadi “karena tidak ada kepentingan politik untuk benar-benar mewujudkan kepolisian yang profesional.”
Setelah bentrokan Sabtu lalu, banyak warga Indonesia meminta agar Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dipecat. Bahkan sekitar 16.000 orang menandatangani petisi agar polisi berhenti menggunakan gas air mata.
Pemerintah segera bergerak cepat untuk meredam kemarahan publik. Kapolres Malang, AKBP Ferli Hidayat pun dicopot dari jabatannya. Namun hal ini tidak dapat mengubah Polri dan ternyata masalah ini memiliki akar yang lebih dalam.
Anggaran PolriSeperti diketahui, Polri tidak memiliki kekuasaan yang besar seperti militer Indonesia selama tiga dasawarsa pemerintahan diktator Presiden Soeharto. Namun Polri tiba-tiba mendapat tugas besar setelah reformasi 1998.
Tugas-tugas besar pun mendorong banyak pejabat tinggi Polri untuk menerima suap dan melakukan korupsi. Setiap tuduhan kepada polisi pun diserahkan kepada pejabat tinggi untuk diselidiki. Namun banyak kasus-kasus itu tidak diselidiki.
Salah satu kasus yang tidak diselidiki adalah kasus kematian 2 mahasiswa saat unjuk rasa di Sulawesi pada 2019.
Kepercayaan masyarakat Indonesia kepada Polri pun terjun bebas. Sebelumnya pada April lalu, tingkat kepercayaan masyarakat kepada Polri sebesar 71,6 persen namun pada Agustus lalu, tingkat kepercayaan itu hanya sebesar 54,2 persen.
Kurangnya akuntabilitas polisi bertepatan dengan anggaran yang membengkak. Bahkan tahun ini, Polri memiliki anggaran sebesar Rp 109,7 triliun. Banyak dari uang itu dihabiskan untuk gas air mata, pentung (tongkat) dan masker gas.
Andri Prasetiyo, seorang peneliti keuangan dan kebijakan mengungkap jika Polri telah menghabiskan sekitar Rp 3,3 triliun untuk membeli helm, tameng, kendaraan taktis, dan peralatan lain untuk dikerahkan dalam unjuk rasa.
Andri menjelaskan pembelian gas air mata meningkat pada 2017 menjadi Rp 331,1 miliar. Kala itu di Jakarta terjadi serangkaian unjuk rasa yang diikuti puluhan ribu orang yang menuntut penahanan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok karena tuduhan penistaan agama.
Menurut para ahli, tahun 2019 menjadi puncak penggunaan gas air mata oleh polisi. Bahkan anggaran pembelian gas air mata yang sebelumnya menurun setelah 2017, meningkat kembali pada 2020 menjadi Rp 225,8 miliar.
Gas air mata pun menjadi senjata utama yang digunakan polisi dalam unjuk rasa.
“Ini menjadi lebih dari sebuah pola sekarang,” kata direktur Lembaga Analisis Kebijakan Konflik, Sana Jaffrey.
Pada Januari lalu, Polri menghabiskan hampir Rp 50,3 miliar untuk membeli pentungan (tongkat) khusus bagi petugas di Provinsi Jawa Timur.
Dalam laga mematikan Sabtu lalu, polisi telah mengantisipasi bentrokan dengan menggunakan helm, rompi dan perisai, dan dipersenjatai dengan pentung. Bahkan Polres Malang meminta kepada pihak penyelenggara untuk memulai pertandingan pada pukul 15.30, namun saran itu tidak didengar.
Menurut para ahli, bentrokan mematikan Sabtu lalu dapat dihindari dengan tidak melepaskan gas air mata, tidak menggunakan tongkat pemukul, memahami cara mengendalikan massa, dan meredakan konflik.
(mdk/pan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Sabtu 1 Oktober 2022 lalu menjadi hari paling kelam dalam sejarah dunia sepak bola Indonesia di Stadion Kanjuruhan.
Baca SelengkapnyaKekerasan dalam sepak bola masih jadi PR berat bagi Indonesia. Sejak tahun 1994 hingga 1 Oktober 2022, sebanyak 230 nyawa melayang karena sepak bola.
Baca SelengkapnyaBentrokan antara suporter dan aparat keamanan terjadi, memaksa polisi untuk menggunakan gas air mata guna menghindari eskalasi lebih lanjut.
Baca SelengkapnyaUsman menyoroti penggunaan water cannon, gas air mata, atau penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang kepada pengunjuk rasa.
Baca SelengkapnyaStadion sepak bola Jakarta International Stadium (JIS) kembali menjadi sorotan publik karena ternyata tidak memenuhi standar FIFA .
Baca SelengkapnyaDirektur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, aparat kepolisian kembali bersikap brutal kepada para pengunjuk rasa
Baca SelengkapnyaSetahun lalu, 1 Oktober 2022 peristiwa berdarah yang menewaskan ratusan orang terjadi di Stadion Kanjuruhan Malang. Hingga kini, korban belum dapat keadilan.
Baca SelengkapnyaErick menegaskan, bahwa PSSI berkomitmen untuk mendorong pemberian hukuman maksimal.
Baca SelengkapnyaKetum PSSI Erick Thohir menanggapi aspirasi keluarga korban tragedi Kanjuruhan yang menuntut keadilan.
Baca SelengkapnyaSeorang anggota TNI yang sedang melerai keributan di acara hiburan solo organ tiba-tiba dikeroyok brutal oleh warga yang emosi.
Baca Selengkapnya344 orang mengalami penangkapan dan penahanan semena-mena.
Baca SelengkapnyaAkibat peristiwa itu, anggota Polres Jakpus mengalami luka robek pada bagian kepala.
Baca Selengkapnya