Alasan Kenapa Bir Pletok Bisa Mendapat Serifikasi Halal, sedangkan Penggunaan Kata Beer, Wine, dan Tuyul Dilarang
Alasan dibalik kenapa makanan atau minuman yang mengandung kata beer, wine dan tuyul dilarang, sedangkan bir pletok bisa mendapat sertifikasi halal.
Belakangan ini, sejumlah produk dengan nama yang mengandung kata seperti beer, wine, rhum, dan bahkan tuyul telah mendapatkan sertifikasi halal di Sihalal. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kementerian Agama (Kemenag) pun menjadi sorotan publik karena bertanggung jawab atas penerbitan sertifikat halal tersebut.
Selain itu, Komisi Fatwa MUI dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) seperti LPPOM juga turut diperhatikan. Pertanyaannya adalah, apa saja aturan baku terkait penamaan produk tersebut? Sekretaris Komisi Fatwa MUI, KH. Miftahul Huda, menjelaskan bahwa penamaan produk yang sesuai dengan hukum halal dan haram dalam Islam telah diatur dalam Fatwa MUI Nomor 44/2020. Fatwa ini mengatur penggunaan nama, bentuk, dan kemasan produk yang tidak dapat disertifikasi halal.
-
Kenapa Bir Pletok disebut Bir? Meskipun namanya mengandung 'bir,' minuman ini sama sekali tidak mengandung alkohol. Bir pletok muncul dari rasa penasaran masyarakat Betawi era kolonial terhadap anggur.
-
Kenapa bir pletok diciptakan? Bermula dari orang-orang Belanda yang menyukai bir, masyarakat Betawi pun ingin mengikuti hal tersebut. Namun lantaran masyarakat Betawi mayoritas Islam dan bir merupakan minuman haram, sehingga masyarakat Betawi menciptakan minuman sendiri.
-
Apa itu bir pletok? Bir Pletok minuman khas dari Betawi, sebagai penghangat tubuh. Meskipun dari namanya terdapat kata “bir“, Bir Pletok tidak mengandung alkohol namun menjadi minuman yang sehat dan kaya rempah.
-
Mengapa sertifikat halal penting bagi PKL? Sebagai informasi, dalam upaya meningkatkan keamanan dan kehalalan produk di sektor pangan pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 tahun 2021 lalu yang mewajibkan seluruh PKL dalam sektor minuman, makanan hingga jasa penyembelihan mempunyai sertifikasi halal sebelum 17 Oktober 2024.
-
Kenapa sertifikat halal penting untuk produk makanan? Sertifikat halal memberikan jaminan bahwa produk yang disertifikasi telah memenuhi syariat Islam dan tidak mengandung bahan haram. Hal ini sangat penting karena dalam agama Islam, memakan makanan yang halal merupakan sebuah kewajiban.
-
Apa saja fungsi sertifikat halal? Sertifikat halal merupakan dokumen yang dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan berdasarkan fatwa halal tertulis dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Berikut adalah penjelasan panjang tentang fungsi sertifikat halal: 1. Jaminan Kehalalan ProdukSertifikat halal memberikan jaminan bahwa produk yang disertifikasi telah memenuhi syariat Islam dan tidak mengandung bahan haram.
Salah satu ketentuan menyebutkan bahwa produk yang menggunakan nama atau simbol yang berkaitan dengan kekufuran, kemaksiatan, atau memiliki konotasi negatif tidak dapat memperoleh sertifikasi halal. Misalnya, nama-nama seperti beer, wine, rhum, anggur, dan tuyul termasuk dalam kategori tersebut, sehingga pengajuan sertifikasi halal untuk produk dengan nama-nama tersebut bisa saja ditolak. Namun, bir pletok diperbolehkan dan dianggap halal karena merupakan bagian dari tradisi yang dipahami dengan jelas oleh masyarakat.
"Produk bir pletok itu sudah mentradisi atau dalam bahasa agama, sudah menjadi urf. Dan, masyarakat Betawi itu meyakini bahwa bir itu tetap haram, bukan halal. Beda dengan bir pletok karena dia minuman herbal," ungkapnya dalam Media Gathering LPPOM di Jakarta pada Kamis (3/10/2024).
Selain itu, KH. Miftahul Huda juga memberikan contoh lain, seperti roti buaya, yang merupakan salah satu seserahan dalam tradisi masyarakat Betawi. "Saya yakin masyarakat Betawi tetap meyakini bahwa buaya tetap haram. Jadi, hal-hal yang sudah mentradisi kita kecualikan dari fatwa ini," tambahnya. Dengan demikian, tradisi yang sudah ada dan diterima oleh masyarakat dapat menjadi pengecualian dalam penerapan fatwa tersebut.
Menghindari Kesalahpahaman di Masyarakat
Penggunaan nama wine dalam produk kosmetik, menurut Miftah, masih dapat memperoleh sertifikasi halal karena produk tersebut tidak dikonsumsi dan nama tersebut merujuk pada warna yang diakui secara internasional. Namun, ia menegaskan bahwa nama-nama yang tidak memenuhi kriteria harus ditolak dalam pengajuan sertifikasi halal.
Sertifikasi halal tidak hanya berkaitan dengan kehalalan produk, tetapi juga mengandung unsur dakwah yang penting. "Jangan sampai sesuatu yang telah diharamkan oleh ulama itu menimbulkan hal yang tidak diharamkan, atau dalam bahasa usufiknya itu, menjaga agar orang tidak terjerumus pada sesuatu yang dilarang, diharamkan," jelasnya.
Sebagai ilustrasi, terdapat usulan untuk nama produk kopi wine. Meskipun zat yang terkandung dalam produk tersebut tidak mengandung wine sama sekali, penggunaan nama kopi wine dikhawatirkan dapat membingungkan masyarakat dan menyebabkan kesalahpahaman. "Kalau kita halalkan kopi wine dengan nama kopi wine, itu imbasnya di masyarakat, 'wah, wine sudah dihalalkan oleh MUI'. Berarti, sah untuk kita minum dan kita konsumsi. Nah, ini jangan sampai," tambahnya.
Miftah juga memberikan contoh kasus yang terjadi di MUI Jawa Barat, di mana sertifikasi halal dikeluarkan untuk minuman bersoda. Dalam sidang Komisi Fatwa MUI untuk menentukan status kehalalan produk tersebut, istilah soju tidak disebutkan sama sekali, tetapi produsen justru menggunakan istilah itu untuk menarik perhatian konsumen, yang dapat menimbulkan kebingungan di masyarakat.
Kriterian Nama dan Bentuk Kemasan yang Tidak Dapat Sertifikasi Halal
Menurut Fatwa MUI Nomor 44/2020, terdapat beberapa kriteria yang menjadikan suatu produk tidak layak untuk disertifikasi halal. Kriteria tersebut meliputi:
1. Produk yang menggunakan nama serta simbol yang berkaitan dengan kekufuran, kemaksiatan, atau memiliki konotasi negatif.
2. Produk yang mengandung nama benda atau hewan yang diharamkan, kecuali:
a. Produk yang telah menjadi tradisi ('urf) dan dipastikan tidak mengandung bahan haram.
b. Produk yang secara umum tidak menimbulkan kekhawatiran akan penafsiran mengenai konsumsi hewan yang diharamkan.
c. Produk dengan makna lain yang relevan dan telah digunakan secara luas.
3. Produk yang berbentuk babi dan anjing dalam berbagai desain.
4. Produk yang menggunakan kemasan dengan gambar babi dan anjing sebagai fokus utama.
5. Produk yang memiliki rasa atau aroma yang berasal dari benda atau hewan yang diharamkan.
6. Produk yang menggunakan kemasan yang memiliki bentuk dan/atau gambar yang bersifat erotis dan pornografi.
Miftah menyatakan bahwa terkait dengan nama-nama yang melanggar aturan namun terdaftar sebagai produk bersertifikasi halal, “sudah tidak ada lagi karena produk-produk itu temuan 2023, bukan tahun ini,” menurut pengakuan BPJPH. Dalam waktu dekat, Komisi Fatwa MUI akan mengadakan pertemuan dengan BPJPH dan Komite Fatwa untuk mendiskusikan penamaan produk yang tidak sesuai dengan standar.
Pihak MUI juga mengajak masyarakat untuk berperan aktif dalam mengawasi hal ini, mengingat banyak celah yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha yang memiliki niat buruk. "Sanksinya kita serahkan kepada BPJPH untuk diatur terhadap pelaku usaha yang nakal itu," tambahnya. Dengan demikian, kolaborasi antara masyarakat dan lembaga terkait sangat penting untuk memastikan produk yang beredar di pasaran memenuhi kriteria halal yang ditetapkan.
BPJPH Lempar Tanggung Jawab
Sebelumnya, alih-alih mengakui kesalahan, BPJPH dengan cepat mengalihkan tanggung jawab kepada pihak lain yang terlibat dalam proses pengeluaran sertifikasi halal, yaitu Komisi Fatwa MUI dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), termasuk LPPOM.
Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJP, Mamat Salamet Burhanudin, dalam pernyataannya yang dikutip dari laman kemenag.go.id pada Selasa, 1 Oktober 2024, menyampaikan bahwa berdasarkan catatannya, terdapat 61 produk yang menggunakan kata 'wine' dan telah diterbitkan sertifikat halalnya berdasarkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI.
Selain itu, ada 53 produk lainnya yang sertifikat halalnya dikeluarkan berdasarkan penetapan halal dari Komite Fatwa. Di sisi lain, sertifikat halal untuk produk yang namanya mengandung kata 'beer' berjumlah delapan produk yang diterbitkan berdasarkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI, dan 14 produk lainnya berdasarkan penetapan halal dari Komite Fatwa.
"Kami juga ingin menekankan bahwa produk-produk dengan nama yang mengandung kedua kata tersebut, yang ketetapan halalnya berasal dari Komisi Fatwa MUI, telah melalui pemeriksaan dan/atau pengujian oleh LPH. Jumlah terbanyak berasal dari LPH LPPOM, yaitu sebanyak 32 produk. Sisanya berasal dari lembaga lainnya," jelasnya.
LPPOM MUI, sebagai salah satu Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), menyelidiki 32 nama produk yang mengandung kata kunci 'wine' dan 'beer' yang diambil dari Sihalal. Hasil penelusuran menunjukkan bahwa terdapat 25 nama produk dengan kata kunci 'wine' dalam database LPPOM. "Kesemua produk tersebut adalah kosmetik, di mana penggunaan kata 'wine' lebih berkaitan dengan warna (bukan rasa atau aroma). Menurut Komisi Fatwa MUI, penggunaan kata 'wine' untuk menunjukkan warna 'wine' pada produk non-pangan adalah diperbolehkan," demikian bunyi pernyataan resmi LPPOM MUI yang diterima oleh Tim Lifestyle Liputan6.com pada Rabu, 2 Oktober 2024.