Kisah di Balik Mantel Kesayangan Letnan Jenderal Soedirman, Ada Peran Soeharto?
Merdeka.com - Kendati sudah dibawakan seragam kebesaran seorang jenderal oleh Kolonel Simatupang, sang panglima menolak melepas mantel kesayangannya.
Oleh: Hendi Jo
Sebagian besar foto-foto sejarah yang menggambarkan aktivitas Panglima Besar TNI Letnan Jenderal Soedirman pada 1949 selalu merujuk kepada penampilan khas sang panglima dengan mantel tebal.
-
Kenapa Kolonel Bambang menolak jadi jenderal? Bambang menolak menerima begitu saja pangkat jenderal dari presiden, tanpa prosedur yang berlaku. Itu justru akan membuatnya dicemooh oleh sesama perwira dan merusak sistem yang berlaku.
-
Siapa yang menolak jadi jenderal? Bambang Widjanarko adalah Seorang Perwira KKO, kini Marinir TNI AL Dia menjadi ajudan presiden Sukarno tahun 1960-1967.
-
Kenapa Melanchton Siregar mendapat gelar Kolonel Tituler? Semangat perjuangannya yang membara ini membuat Melanchton mendapatkan gelar Kolonel Tituler pada tahun 1947.
-
Kenapa Jenderal Soekanto menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan? Sesuai pesan RS Soekanto, dia menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Dia meminta dimakamkan satu lubang dengan istrinya di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan.
-
Mengapa perwira tersebut diperlakukan seperti itu? Dijelaskan dalam video, bahwa setiap prajurit yang sudah masuk ke rumah tahanan maka dianggap sama. “Tidak ada yang spesial di penjara militer meski setinggi apapun pangkatnya,“
-
Kenapa Kolonel Edward Sitorus memuji nama prajurit Tampan Pamungkas? 'Wah, untung namamu sesuai dengan wajahmu,' katanya.'Siap,' singkatnya.'Namanya Tampan. Kalau enggak tampan, bahaya ini. Ya, cocok lah namamu, kamu tampan ya,' tambah Edward.
Termasuk saat dia menghadap Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta di Balai Agung, Yogyakarta. Mengapa beliau tidak pernah tampil kembali dalam balutan seragam kebesaran lengkap dengan tanda pangkat panglima?
Saat itu Indonesia terlibat dalam Perjanjian Roem-Royen pada 7 Mei 1949. Soedirman merupakan salah satu petinggi Republik yang kecewa.
Dia merasa Indonesia lagi-lagi terkena tipu daya Belanda. Terutama soal eksistensi TNI yang tak dianggap oleh negara agresor tersebut.
Berdasarkan kesepakatan, Belanda harus menarik pasukannya dari Yogyakarta, namun itu ternyata hanya berlaku untuk ibu kota RI saja. Sedangkan untuk wilayah-wilayah lain, militer Belanda masih bercokol.
Dalam buku Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman: Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia karya Tjokropranolo, bahkan disebutkan jika mundurnya tentara Belanda hanya berjarak 5 km dari Yogyakarta.
Menurut ajudan Soedirman tersebut, kenyataan itu membuat Soedirman marah.
Surat dari Gatot & Sultan Buat Soedirman Luluh
Ketika pada 23 Mei 1949, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta menyuratinya untuk bersiap mendekati Yogyakarta, dia tak menggubrisnya dan menolak untuk turun gunung.
"Tetapi karena ada surat dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Kolonel Gatot Soebroto yang memintanya supaya lekas pulang, akhirnya beliau memutuskan untuk kembali ke Yogyakarta," demikian menurut buku Djenderal Soedirman: Pahlawan Sedjati yang ditulis dan diterbitkan oleh Kementerian Penerangan RI pada 1950.
Sri Sultan dan Kolonel Gatot Soebroto adalah dua orang yang sangat dihormati oleh Soedirman. Kendati dalam urusan pangkat dan jabatan, Gatot Soebroto merupakan bawahan Soedirman.
Dalam suratnya, Gatot menyatakan sangat paham dengan ketegasan dan pendirian kuat Soedirman. Dia juga mendukung sikap tersebut. Tetapi sebagai manusia, kata Gatot, untuk mencapai suatu tujuan diperlukan berbagai upaya dan ikhtiar. Terlebih dia pun mengingatkan kondisi Soedirman yang harus mendapatkan perawatan maksimal.
"Ini supaya jangan mati konyol, tetapi supaya cita-cita adik tercapai. Meskipun buahnya tidak turut memetik, melihat pohonnya subur, kita merasa gembira dan mengucapkan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa. Ini kali, saya selaku saudara tua dari adik, minta ditaati," ungkap Gatot.
Mau Turun Gunung
Setelah mempertimbangkan baik-buruknya, pada akhirnya Soedirman menyatakan bersedia turun gunung. Setelah mendapatkan beberapa informasi dan kepastian dari Letnan Kolonel Soeharto (Komandan Brigade ke-10 Divisi III) berangkatlah Soedirman dengan rombongan pengawal dari Ponjong pada 9 Juli 1949.
Di Ponjong, rombongan Soedirman sudah ditunggu oleh Kolonel TB. Simatupang dan Kolonel Soehardjo Hardjowardjojo di mulut Jembatan Kali Opak.
Selain Land Rover yang mereka kendarai, kedua perwira tersebut juga menyediakan satu sedan untuk Soedirman, dua kendaraan pick-up dan satu truk untuk para pengawal Soedirman.
Begitu bertemu, ketiganya terlibat dalam suatu pembicaraan serius di dalam mobil sedan. Tak ada yang tahu apa isi pembicaraan tersebut. Namun menurut Tjokropranolo, kemungkinan besar pembicaraan tersebut membahas pentingnya Soedirman untuk terlebih dahulu menemui Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mochamad Hatta sebelum mengikuti inspeksi pasukan TNI di Alun-alun Yogyakarta.
"Pertemuan ini penting karena akan menangkal perkiraan dan perhitungan Belanda yang mengharapkan akan terjadi suatu pertentangan hebat antara mereka yang bergerilya dan mereka yang ditawan oleh Belanda," ungkap Tjokropranolo.
Pilih Pakai Mantel
Ketika sedang bersiap-siap, Simatupang tiba-tiba menyorongkan seragam resmi panglima besar TNI kepada Soedirman. Dia memohon sang panglima agar menukar mantel Australia-nya dengan seragam tersebut. Alih-alih menerima, Soedirman malah menoleh kepada Soeharto.
"Bagaimana?" tanyanya.
"Kalau menurut saya, lebih baik begini saja. Begini juga sudah baik, Pak," jawab Soeharto seperti yang dia kisahkan dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (disusun oleh G.Dwipayana dan Ramadhan K.H.)
Mendengar jawaban dari Soeharto, Soedirman pun memutuskan untuk tidak mengganti mantel-nya dengan pakaian kebesaran seorang pimpinan tertinggi TNI.
Namun menurut kesaksian Tjokropranolo, sejatinya saat Soedirman dijemput Simatupang dan Soehardjo di Jembatan Kali Opak, Soeharto sudah tidak ada di tempat tersebut. Pagi itu juga dia sudah langsung berangkat ke Yogyakarta guna mempersiapkan upacara penyambutan sang panglima.
"Pak Harto sendiri mendahului rombongan untuk mempersiapkan suatu parade akbar menyambut kedatangan kembali Panglima Besar Jenderal Soedirman yang rencananya akan dilaksanakan di lapangan Alun-alun Lor, depan Sitihinggil, Keraton Yogya pada sore hari itu," kenang salah satu gubernur DKI Jakarta di era Orde Baru itu. (mdk/ian)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Benda itu melingkar di pinggang Soeharto. Tak pernah lepas selama peperangan.
Baca SelengkapnyaBegitu menarik, di dalam rumah ini terdapat sebuah terowongan rahasia.
Baca SelengkapnyaSejumlah tokoh militer senior dan sipil kecewa. Mereka mempertanyakan sikap Soeharto yang menyeret ABRI sebagai alat kekuasaan.
Baca SelengkapnyaPresiden sudah akan menaikkan pangkatnya bulan Agustus. Tapi dia menolak kesempatan langka menjadi jenderal.
Baca SelengkapnyaDulu bahu membahu mendirikan Orde Baru bersama Soeharto. Sang Jenderal pecah kongsi kemudian
Baca SelengkapnyaPelaku yang belakangan diketahui punya kekerabatan dengan Ibu Tien membuat Soeharto tidak nyaman.
Baca SelengkapnyaBanyak kisah menarik Soeharto dan para pengawalnya. Hal ini dikisahkan Jenderal (Purn) Kunarto.
Baca SelengkapnyaDikenal sebagai antitesis Soeharto, sosok Benny Moerdani ternyata memiliki kisah tak terungkap antara dirinya dan sang Presiden kedua RI. Simak ulasan berikut.
Baca SelengkapnyaBanyak cerita menarik yang tidak diketahui publik dari sosok mendiang Presiden Soeharto. Salah satunya dengan tegas menolak untuk dikawal polisi.
Baca SelengkapnyaDi acara penyerahan penghargaan Hoegeng Awards 2023, Anantasena Ramaputra Hoegeng, cicit Jenderal Hoegeng datang dengan memakai seragam Brimob.
Baca SelengkapnyaKeterampilannya menjahit tak bisa dipisahkan dari masa kecilnya
Baca SelengkapnyaDi tengah panasanya penumpasan PKI, Jenderal Soeharto mengaku sempat mau dibunuh.
Baca Selengkapnya