Sejarah Panjang Perbudakan di Batavia
Merdeka.com - Bagaimana sistem perbudakan menjadi trend di kalangan para bangsawan, pebisnis dan kolonialis di masa lalu.
Penulis: Hendi Jo
SUDAH hampir dua tahun ini, Jalan Sultan Agung terlihat agak longgar. Kendaraan bermotor yang biasanya memenuhi ruas jalannya, berjumlah tidak begitu banyak. Padahal sebelum pandemi melanda, jalur yang memanjang di depan Pasar Rumput itu dikenal sebagai salah satu titik kemacetan Jakarta. Itu terjadi karena deretan para pedagang kaki lima yang tidak mengindahkan aturan dan angkutan umum yang berhenti sembarangan, sehingga arus lalu lintas sering tersumbat.
-
Apa perubahan sosial budaya yang terjadi di Indonesia? Terdapat beberapa gambaran perubahan sosial dan buaya yang terjadi di Indonesia, mulai dari perpindahan masyarakat, gender, hingga pola konsumsi.
-
Kenapa perdagangan budak dimulai di benteng? Perdagangan budak mulai dari benteng ini pada 1663 ketika Raja Charles II memberikan piagam kepada Perusahaan Petualang Kerajaan Inggris yang Berdagang ke Afrika (kemudian Perusahaan Kerajaan Afrika). Dia memberinya hak monopoli atas perdagangan manusia.
-
Bagaimana cara akulturasi budaya terjadi di Indonesia? Proses akulturasi budaya merupakan proses saling memengaruhi antara budaya asing dengan budaya setempat, yang dapat terjadi melalui berbagai faktor. Faktor-faktor yang memengaruhi proses akulturasi antara lain adalah adanya interaksi antara kedua budaya, migrasi, perdagangan, kolonisasi, dan juga globalisasi.
-
Bagaimana masyarakat Indonesia memanfaatkan emas di zaman kuno? Bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa emas telah digunakan oleh masyarakat Indonesia kuno untuk berbagai keperluan, termasuk perhiasan dan ritual.
-
Bagaimana pajak di masa kolonial? Pemerintah kolonial kemudian mulai membidik pajak tanam paksa yang dipelopori oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch.
-
Mengapa jalan zaman kolonial di Indonesia menarik untuk dibandingkan? Diketahui bahwa Indonesia pernah dijajah, dan bukti sejarahnya dapat dilihat dari potret-potret jalan di masa kolonial.
"Terutama kalau di waktu pagi dan sore, wah macetnya enggak ketulungan dah," ujar Zaini, salah satu warga Jakarta yang tinggal di kawasan Manggarai.
Di era Hindia Belanda berkuasa, Jalan Sultan Agung masih bernama Jan Pieterzoon Coenstraat (Jalan Jan Pieterzoon Coen). Itu nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda terkemuka yang dalam sejarah, orang Betawi menjulukinya sebagai 'Tuan Mur Jangkung'. Menurut almarhum Alwi Shahab, nama Jan Pieterzoon Coen dihapus saat militer Jepang berkuasa di Indonesia pada 1943.
"Sebagai gantinya Jalan Jan Pieterzoon Coenstraat diganti menjadi Jalan Sultan Agung, yang tak lain adalah musuh politik Jan Pieter dari Kesultanan Mataram Islam," ujar penulis sejarah Jakarta itu.
Namun tak banyak orang tahu jika pada tahun 1800-an, wilayah tersebut pernah dijadikan sentra penjualan budak di Batavia, terutama para budak yang berasal dari Manggarai di Nusa Tenggara Timur. Bisa jadi itulah yang menyebabkan kawasan tersebut kemudian dinamakan sebagai Kampung Manggarai.
"Belakangan setelah perbudakan dilarang, Manggarai dijadikan tempat penjualan pakan untuk kuda. Maka muncullah nama Pasar Rumput," ungkap Abah Alwi (panggilan akrab Alwi Shahab).
Sejarah bisnis perbudakan di Batavia diawali saat Coen berhasil menaklukkan Jayakarta pada 1619. Ketika pasukannya memasuki Jayakarta (kemudian diberi nama Batavia), kota tersebut ada dalam kondisi nyaris tanpa penduduk. Itu disebabkan orang-orang Jawa dan Sunda yang tadinya menetap di Jayakarta, karena takut dibunuh, kabur ke selatan Jakarta. Terutama ke Jatinegara dan Bogor.
"Sedangkan untuk membangun Batavia pasca penaklukan, orang-orang Belanda itu memerlukan tenaga kerja," tulis Alwi Shahab dalam Kisah Betawi Tempo Doeloe: Robin Hood Betawi.
Sebagai solusi, orang-orang Belanda lantas mendatangkan para tawanan perang dari berbagai tempat seperti Manggarai, Bali, Bugis, Arakan, Makassar, Bima, Benggala, Malabar dan Kepulauan Koromandel (India). Mereka dipekerjakan dalam berbagai proyek pembuatan benteng, loji, jalan dan rumah-rumah para pejabat kompeni.
Seiring perkembangan Batavia yang begitu pesat, bisnis perbudakan di Batavia semakin marak. Selain untuk memenuhi tenaga kerja, budak-budak perempuan pun kemudian didatangkan guna mengurus rumah tangga dan bahkan memenuhi nafsu biologis kaum laki-laki penghuni Batavia.
"Lelaki di Batavia (Belanda, Tinghoa, Melayu dan Arab) 'membutuhkan' budak untuk kawin, sebab wanita Belanda, Tionghoa dan Arab asli hampir tidak ada,” tulis Adolof Heuken SJ dalam Historical Sites of Jakarta.
Mula-mula harga budak ditentukan oleh usia dan tenaga saja. Tetapi pada abad ke-18, harga jual seorang perempuan muda meroket tinggi, jauh dua sampai tiga kali lipat harga seorang budak lelaki.Dalam penilaian Heuken, itu terjadi karena pada saat itu permintaan akan budak perempuan (terutama dari kalangan pebisnis Tionghoa) sangat tinggi sekali.
Macam-macam selera pembeli para budak itu. Jika orang-orang Tionghoa tidak pilih-pilih etnis dan suku, maka orang-orang Eropa lebih memilih budak-budak perempuan dari Nias dan Bali sebagai favorit. Seorang gadis Nias yang cantik dan sehat dihargai sekira seribu dollar, demikian menurut J.Barrow, anggota misi diplomatik Inggris untuk Tiongkok yang sempat mampir di Batavia pada 1792.
Di era kekuasaan Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra (1761-1775), setiap tahun didatangkan kurang lebih 4000 budak dari pelosok Nusantara. Itu menjadikan pembelian budak pun marak dan kepemilikan akan budak menjadi gengsi tersendiri di kalangan orang-orang Belanda.
"Orang kaya seperti van Riemsdijk (1782), di rumahnya yang ada di Batavia saja, memiliki 200 budak yang jika ditotalkan seluruhnya maka akan seharga dengan uang 33.000 rijksdaalder," ungkap Heuken.
Lakunya para budak di kalangan orang-orang kaya Batavia tidak berbanding lurus dengan nasib mereka. Alih-alih diperlakukan baik, mereka justru sering menjadi obyek penyiksaan kejam dan pemerkosaan.
Menurut Heuken, sampai tahun 1814, Batavia memiliki 14.239 manusia berstatus sebagai budak. Itu berlangsung terus menerus, hingga bahkan ketika secara resmi sistem perbudakan dilarang oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1860. Orang-orang Belanda masih hobi menangkapi sekaligus menjual secara diam-diam orang-orang di pedalaman Nusantara. Hal yang sama juga dilakukan oleh orang Arab dari Ende, orang Tidore dan orang Bali Praktik perbudakan di Nusantara mulai jarang terdengar dan mulai habis ketika zaman memasuki abad ke-20.
(mdk/noe)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Keberadaan Orang Rantai ini menjadi bukti perbudakan pekerja tambang yang ada di Sawahlunto.
Baca SelengkapnyaTren perbudakan di Amerika kemudian berhenti di abad ke-18.
Baca SelengkapnyaGambaran eksekusi saat itu sangat menyeramkan. Terhukum mati ditaruh di atas roda yang menggantung pada sebuah tiang. Di atas sana mayatnya dibiarkan mengering
Baca SelengkapnyaKehadiran kota Depok dan munculnya julukan ‘Belanda Depok’ bagi keturunan asli Depok tidak terlepas dari peran tuan tanah Cornelis Chastelein.
Baca SelengkapnyaSejak tingginya aktivitas imigrasi orang-orang Jawa ke Sumatera, mereka menetap dan membentuk sebuah komunitas.
Baca SelengkapnyaMereka yang tak punya tanah dipaksa bekerja di kebun milik pemerintah
Baca SelengkapnyaPasar Baru menjadi salah satu landmark utama di Jakarta. Dahulu, tempat ini juga menjadi pusat perbelanjaan tertua sejak 1820.
Baca SelengkapnyaDi masa kerajaan, masyarakat dibebani pajak tanah dan pajak tenaga kerja.
Baca SelengkapnyaDalam buku Sejarah Indonesia Modern, karya M. C. Ricklefs yang diterbitkan tahun 1994, asal mula adanya outsourcing diyakini muncul pada masa kolonial Belanda.
Baca SelengkapnyaPenjara ini juga jadi saksi pembantaian para pemuda pejuang kemerdekaan Indonesia
Baca SelengkapnyaPerkembangan perkebunan karet di Aceh Timur kerap menggunakan kuli yang berasal dari luar daerah, seperti Jawa hingga Tiongkok.
Baca SelengkapnyaJi Lak Keng atau Jilakeng kerap kali disebut-sebut sebagai ‘Las Vegas-nya Batavia’ karena menjadi tempat hiburan dan prostitusi teramai di Batavia.
Baca Selengkapnya