Timur Pane, Dari Penjual Jengkol dan Pencopet sampai Jadi Jenderal Mayor
Timur Pane, sang pejuang dari Sumatera yang memiliki reputasi yang terkenal dan menggelisahkan.
Timur Pane, sang pejuang dari Sumatera yang memiliki reputasi yang terkenal dan menggelisahkan yang dulunya adalah seorang pedagang jengkol dan sayur-sayuran merangkap sebagai pencopet.
Timur Pane berangkat dari seorang penjual jengkol dan sayuran di pasar Sambu, Medan. Sebelum menjadi prajurit, Timur Pane sudah menjadi jagoan di kotanya karena terkenal lihai dan pemberani serta sebagai pencopet.
Keahliannya ini ia manfaatkan dengan penampung para pemuda pengangguran untuk menjadi anak buahnya. Mereka dijuluki sebagai bandit.
Meski pernah berkecimpung di dunia kriminal, namun Timur Pane sadar untuk menjaga wilayah NKRI dari para penjajah yang masih terus berupaya merebut Indonesia kembali bahkan setelah menyatakan kemerdekaan melalui proklamasi.
Pada masa revolusi fisik, Timur Pane mengambil bagian masuk ke dalam laskar. Kelompoknya berafiliasi dengan Nasional Pelopor Indonesia (Napindo), barisan laskar PNI di Sumatera Utara.Sejak Oktober 1945, tentara Sekutu dan Belanda berhasil menduduki kota Medan.
Oleh karena itu, para pejuang Republik turun untuk merebut kembali kota Medan, pertempuran ini dikenal sebagai Pertempuran Medan Area. Salah satu pasukan laskar yang turun dalam pertempuran ini adalah pasukan Timur Pane, yang saat itu bernama Napindo Naga Terbang.
Pasukan Naga Terbang di bawah pimpinan Timur Pane sering kali mengabaikan perintah dari pimpinan Napindo, Selamat Ginting. Mengutip dari The Blood of The People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra karya Anthony Reid, Pasukan Naga Terbang lebih suka menjarah kaum Tionghoa dan India kaya ketimbang menghadapi Belanda.
Insting Bandit
Hal tersebut karena Pane sendiri lebih mengikuti insting keterampilannya sebagai pembandit, pasukannya lebih memilih berada di barisan belakang untuk mencari kebutuhan materi.
Pasukannya lebih berfokus pada penjarahan dan penyelundupan. Ketika tidak berhasil merebut kembali kota Medan, pasukan Timur Pane berpindah ke Deli-Serdang yang kaya akan hasil bumi. Di sini Pane mulai perniagaannya dengan mengelola beberapa perkebunan untuk diselundupkan ke Malaya melalui pelabuhan Pantai Labu.
Markas pasukan Pane berada di Perbaungan.Nama Naga Terbang menjadi kian terkenal karena kekayaan yang dimiliki, bahkan berhasil menarik badan perjuangan lain untuk bergabung.
Pada bulan Desember 1946, Timur Pane memutuskan keluar dari Napindo dan kemudian membentuk pasukan bernama Marsose yang sebagian besar anggotanya berasal dari etnis Batak-Toba. Pasukan ini mundur ke daerah pedalaman dan mendirikan markas besar di Prapat.
Timur Pane secara sepihak mengangkat dirinya sebagai jenderal mayor, sementara beberapa pengikutnya diberi pangkat kolonel dan perwira menengah lainnya. Dalam buku Republik Indonesia: Propinsi Sumatera Utara yang diterbitkan oleh Kementerian Penerangan pada tahun 1952, disebutkan bahwa "Tentara Marsose yang dipimpin Jenderal Mayor Timur Pane ini mengklaim telah menjadi bagian dari TNI, dengan seluruh anggotanya mengenakan tanda pangkat militer.”
Tak hanya itu, Pane juga menuntut pengakuan resmi dari pemerintah terhadap pasukannya dan mengancam akan terjadi pertumpahan darah jika permintaannya tidak dipenuhi. Ia menemui Mr. S.M. Amin, gubernur Sumatera Utara, dan meminta alokasi anggaran sebesar 120 juta gulden per bulan untuk mendukung pasukan Marsose.
Tindakan Timur Pane menarik perhatian Panglima Komandemen Sumatera, Jenderal Mayor Suhardjo, yang akhirnya memutuskan untuk melebur pasukan Pane ke dalam TNI sesuai instruksi Presiden Soekarno untuk menggabungkan laskar dengan TNI.
Meskipun Suhardjo awalnya ragu karena pasukan Pane dianggap kurang disiplin, penggabungan dianggap perlu karena besarnya jumlah laskar. Pada 29 Juni 1947, pasukan Marsose dibubarkan, dan seminggu kemudian dibentuk Legiun Penggempur di bawah komando Timur Pane.
Bertindak Sesuka Hati
Ketika pemerintahan Hatta menerapkan kebijakan Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) pada tahun 1948, Legiun Penggempur termasuk badan perjuangan yang dibubarkan. Akibatnya, Timur Pane kehilangan posisi militer dan pangkat jenderal mayornya dicabut.
Namun, gerakan Timur Pane tak berhenti disitu. Ia masih memiliki banyak pengikut setia yang kemudian dikumpulkan dalam sebuah kelompok bernama 'Sang Gerilya'. Pasukan tidak resmi ini ditempatkan dalam Divisi Banteng Negara oleh Mayor Liberti Malau.
Aktivitas Timur Pane yang sering memprovokasi rakyat di Sektor Il menimbulkan kerusuhan. Masalah ini akhirnya diserahkan kepada gubernur militer, Ferdinand Lumbantobing, yang kemudian mengerahkan pasukan ekspedisi untuk menyingkirkan kelompok Timur Pane.
Setelah keluar dari Divisi Banteng Negara, Timur Pane mundur ke Sektor III di wilayah Dairi, dan diterima oleh Mayor Selamat Ginting. Meski seharusnya menangkapnya, Selamat Ginting enggan karena mereka pernah berada di perjuangan yang sama, Pertempuran Medan Area.
Namun, pasukan Timur Pane sering bertindak sesuka hati tanpa izin dari Komandan, Selamat Ginting. Bahkan, Timur Pane pada akhirnya malah memilih bergabung dengan Gerakan Rakyat Murba Indonesia (Germi) yang dipimpin Tama Ginting, yang berkonflik dengan Selamat Ginting.
Tindakan pasukan Timur Pane semakin bertindak diluar kendali, di mana pada suatu operasi Sang Gerilya berhasil melucuti pasukan batalyon III dari Sektor III yang membuat Selamat Ginting akhirnya mengambil keputusan untuk menumpas aksi pasukan Timur Pane.
Sejak saat itu nama Timur Pane dan pasukannya tidak pernah terdengar lagi. Bagaimana nasibnya atau berita kematiannya juga tidak diketahui. Pada akhirnya, Timur Pane dikenal sebagai bandit sekaligus pejuang.
"Pasukan Sang Gerilya akhirnya dihancurkan secara total, sehingga pada saat pengakuan kedaulatan, Timur Pane dan pasukannya tidak terdengar lagi," ujar Maraden Panggabean dalam otobiografinya Berjuang dan Mengabdi.