Guru Besar UI Sebut Media Sosial Timbulkan Masalah Jati Diri, Begini Penjelasannya
Merdeka.com - Hadirnya media sosial dalam kehidupan sehari-hari menimbulkan sejumlah dampak bagi para penggunanya. Pernyataan tersebut disampaikan langsung oleh Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Prof. Dr. Elizabeth Kristi Poerwandari, M.Hum., Psikolog, dalam pidato pengukuhan guru besarnya yang berjudul “Manusia Dalam Era Industri Ke-empat: Isu Kesehatan Mental, Eksistensi, & Psikologi Sebagai Ilmu” Senin (18/20) lalu.
Melansir laman Antara, salah satu permasalahan nyata yang dialami yakni munculnya permasalahan jati diri dan eksistensi dari para pengguna media sosial.
Saling Membandingkan Diri
-
Apa dampak dari membandingkan diri dengan orang lain? Hambatan internal ini menyebabkan konflik batin dengan diri sendiri, impuls yang saling bertentangan yang menciptakan ketegangan emosional dan seringkali membawa kita menuju kehancuran diri.
-
Kenapa perbandingan sosial berdampak buruk pada rasa percaya diri? Perbandingan terus-menerus dengan orang lain, terutama di era media sosial yang serba terbuka, dapat menyebabkan seseorang merasa tidak cukup baik atau kurang sukses dibanding orang lain. Hal ini dapat mengarah pada perasaan rendah diri dan kurangnya kepercayaan diri.
-
Mengapa profil media sosial yang menarik penting? Dengan jutaan pengguna aktif setiap hari, memiliki profil media sosial yang menarik dan profesional dapat memberikan dampak signifikan terhadap cara audiens memandang Anda.
-
Bagaimana media sosial memperkuat rasa insecure? Di era media sosial, perbandingan sosial menjadi lebih mudah dan lebih umum. Melihat kehidupan orang lain yang tampak sempurna di media sosial dapat membuat seseorang merasa tidak cukup baik atau kurang berprestasi. Perbandingan terus-menerus ini dapat menggerogoti kepercayaan diri dan menumbuhkan perasaan insecure yang berlebihan.
-
Bagaimana media sosial bisa berdampak negatif? Remaja yang menghabiskan waktu berlebihan di media sosial sering kali mengalami tingkat kecemasan dan depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak terlalu aktif di platform tersebut.
-
Bagaimana pengaruh media sosial terhadap Gen Z? Tumbuh dengan media sosial, Generasi Z mengkurasi diri mereka di dunia maya dengan lebih hati-hati dibandingkan generasi sebelumnya, dan mereka cenderung beralih ke tren anonimitas, mengatur feed sosial media secara lebih personal, dan memiliki kehadiran secara online (online presence) yang lebih kecil, meskipun generasi ini sangat rakus mengonsumsi media online.
Ilustrasi media sosial ©2020 Merdeka.compxhere.com/Mohamed Hassan
Elizabeth mengatakan, jika di dalam bermedia sosial ada dampak tindakan membandingkan diri sendiri dengan pengguna lain. Hal ini tentu akan berdampak terhadap keresahan pribadi yang berkaitan dengan masalah jati diri dan eksistensi. Dari situ, manusia akan menetapkan ukuran nilai diri menjadi lebih superfisial, permukaan, dan shallow.
Penampilan, status sosial, dan kemakmuran dianggap menjadi lebih penting daripada spiritualitas, kedamaian diri, ataupun pengetahuan.
"Ini karena pengguna media sosial cenderung membandingkan diri dengan teman sebaya yang tampil lebih cantik, kaya, lebih banyak teman, lebih keren, pandai, atau lebih internasional di media sosial," kata Elizabeth.
Kesepian Menjadi Penyebab Utama
Ia juga menyebutkan dampak dari bermedia sosial di kalangan anak muda adalah kesepian. Ini terjadi karena di iklim tersebut, komunikasi tidak perlu selalu dengan tatap muka. Sedangkan beberapa unsur komunikasi tidak dapat digantikan selain kegiatan bertemu langsung, seperti ikatan emosional, kehangatan, dan kemampuan membaca situasi-kondisi.
Kemampuan-kemampuan ini tidak dilatih dalam interaksi maya, sehingga kemampuan bersosialisasi manusia menjadi berkurang dan menimbulkan dampak kesepian.
"Rasa sepi juga menjadi salah satu dampak sosial tertinggi yang terjadi di kalangan anak muda," katanya.
Menganggap Sesuatu di Media Sosial Selalu Lebih Baik
Elizabeth meneruskan, adanya sifat anonimitas (tidak bernama) dalam interaksi dunia maya juga mengakibatkan para pengguna media sosial dapat melepaskan sisi-sisi agresifnya tanpa harus bertanggung jawab .
Fenomena itu yang kemudian memicu sisi negatif lainnya, salah satunya cyber bullying. Belum lagi kecemasan kolektif yang kini kerap terjadi karena arus informasi yang semakin cepat dan tidak tersaring.
"Teknologi menyebabkan saat ini terjadi suatu kondisi di mana kita tidak bisa lagi membedakan antara mana yang real (nyata) dan mana yang merupakan pencitraan semata. Ini menjadi sebuah isu tersendiri di era digital ini. Virtualitas menjadi realitas. Inilah yang kita sebut kondisi hiperrealitas," katanya menjelaskan.
Menyebabkan Pemikiran Menjadi Sempit
Kondisi ini menyebabkan orang akan terjebak pada pandangan fiksi yang dibangun dirinya sendiri melalui pencitraan diri yang ditampilkan dalam gambar, berita-berita yang tampil di beranda media sosial, maupun komentar yang muncul dari unggahan.
Itu yang kemudian membuat manusia cenderung berpikir sempit, serta terjebak dalam pemikiran, dan “realita” dirinya sendiri.
Kehidupan yang terisolasi dan egosentris ini juga terbukti menjadi satu dari sekian penyebab munculnya fenomena bunuh diri, dan keinginan menyakiti diri sendiri, yang meningkat dalam 10 tahun terakhir.
Solusi yang Ditawarkan
Dari semua fenomena tersebut, Elizabeth menyimpulkan jika psikologis dan mental manusia sebenarnya belum siap menerima dampak jangka panjang dari ciptaan yang telah dibuatnya sendiri.
Sehingga menurutnya, masyarakat masa depan harus diperkenalkan pendidikan baru bernama “pedagogi posthumanisme”, yaitu kurikulum pembelajaran yang diarahkan untuk membantu manusia menangkap unsur filosofis dan isu kompleks dari interaksi di ruang daring.
Ia menambahkan, di kurikulum ini, penekanan akan diintenskan pada diskusi mengenai topik-topik khas manusia seperti autonomi, kehendak bebas, relasi antar individu, antar kelompok, dan kaitannya dengan kondisi global.
"Pendidikan tinggi perlu menghasilkan lulusan yang berpikir dengan bijak untuk dapat membangun dunia bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan juga untuk orang lain dan generasi mendatang. Ada sifat altruisme yang harus diajarkan kepada individu, agar mereka tidak terjebak pada dunia dan realitasnya sendiri. Ini berlaku di semua bidang ilmu, termasuk ilmu psikologi," ujarnya. (mdk/nrd)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Cara mudah untuk melawan insecurity. Para anak muda wajib banget untuk tahu.
Baca SelengkapnyaDi balik keseruannya, ternyata ada bumerang yang mempengaruhi kesehatan mental.
Baca SelengkapnyaGen Z mempunyai cara sendiri dalam bermedia sosial.
Baca SelengkapnyaPick me artinya adalah seseorang yang bersedia melakukan apa saja untuk mendapatkan persetujuan dari orang lain, terutama dari lawan jenis.
Baca SelengkapnyaSalah satu temuan paling signifikan dari survei ini adalah bahwa hal yang paling memengaruhi kebahagiaan Generasi Z adalah tujuan hidup mereka di tempat kerja.
Baca SelengkapnyaAda beberapa tanda seseorang iri terhadapmu. Simak informasinya!
Baca SelengkapnyaIstilah Body Shaming kini semakin dikenal, mari bersama pelajari lebih lanjut penjelasannya berikut ini.
Baca SelengkapnyaPenelitan terbaru mengungkap bahwa remaja merasa kehidupan mereka menjadi semakin sulit.
Baca SelengkapnyaSebuah studi menunjukkan bahwa pria yang kerap memamerkan otot di media sosial berpotensi mengalami obsesi terhadap penampilan tubuh mereka.
Baca SelengkapnyaData menunjukkan bahwa banyak dari mereka mengalami gangguan jiwa, dan ini dapat berdampak serius pada masa depan mereka jika tidak ditangani dengan baik.
Baca SelengkapnyaFloating duck syndrome merupakan kondisi ketika menganggap kesuksesan orang lain bisa dicapai dengan mudah.
Baca SelengkapnyaTren Labubu mencerminkan fenomena FOMO yang semakin menguat di kalangan generasi muda. Simak penyebab FOMO dan bagaimana menghadapinya.
Baca Selengkapnya