Merdeka Belajar ala Pesantren Jamhariyah, Beri Inklusivitas untuk Anak Tuli
Merdeka.com - Seorang anak tampak menggerakkan jarinya untuk menjumlahkan angka-angka di papan tulis. Di sebelahnya, seorang pria mendampingi dan membimbingnya untuk menentukan jawaban yang tepat.
Pria itu juga menggerakkan tangan dan jari-jarinya ke arah anak tersebut. Bukan menghitung, melainkan memberi arahan dalam bahasa isyarat. Interaksi kemudian bersahut dengan bahasa isyarat sampai sang anak bisa memecahkan soal matematikanya.
Kegiatan ini merupakan rutinitas yang bisa ditemukan sehari-hari di Pondok Pesantren Tunarungu Tuli Jamhariyah, Sleman, Yogyakarta. Sebuah rumah Joglo disulap menjadi ruang-ruang kelas sederhana. Tiga sampai empat papan tulis diatur sedemikian rupa untuk menyekat ruangan. Meja-meja kecil berderet yang kemudian digunakan para santri mengikuti kelas sambil duduk lesehan.
-
Apa yang dipelajari santri di Pondok Pesantren Al Fatah Temboro? Secara umum, Pondok Pesantren Al Fatah tidak terlalu berbeda dengan pondok pesantren NU dalam tradisi keagamaan. Pondok Pesantren Temboro mengikuti Syafi'iyah dalam fikih, Asy'ariyah dalam akidah, serta Naqsyabandiyah dalam tarekat.Pembeda utama Al Fatah dengan pondok pesantren lain yakni pada ikatan kuatnya dengan Jemaah Tabligh. Kitab-kitab karangan Maulana Muhammad Zakaria al-Kandhlawi dan Maulana Muhammad Yusuf al-Kandahlawi menjadi bahan ajar selain kitab-kitab kuning yang umum dipelajari di pondok.
-
Bagaimana metode pembelajaran di Pesantren Sam'an? Metode Sam’an yang diambil dari bahasa Arab yang artinya 'mendengar'. Nama ini juga selaras dengan nama ponpes yang merepresentasikan para santri.
-
Kenapa santri di Ponpes Raudlotul Quran hanya belajar mengaji dan kitab klasik? Sebagai pondok pesantren tradisional, santri yang menetap di asrama tidak diperbolehkan mengikuti kegiatan rutin selain mengaji Al Qur’an dan kitab-kitab klasik.
-
Siapa yang pernah belajar di pondok pesantren? Anak sulungnya, Laura Meizani Nasseru Asry, memilih untuk melanjutkan pendidikan di pondok pesantren setelah menyelesaikan Sekolah Dasar.
-
Apa yang dipelajari di madrasah? Madrasah itu berada tak jauh dari rumahnya di Dusun Plosogundi, Desa Suruh, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang. Ia ingin memastikan, proses belajar santrinya berjalan lancar.
-
Apa arti Kurikulum Merdeka? Kurikulum Merdeka adalah aturan atau rencana pembelajaran intrakurikuler yang beragam. Dalam kurikulum ini, pendidik diberikan keleluasaan untuk memberikan konten pembelajaran yang beragam agar lebih optimal dalam penyampaiannya.
Di ruangan ini, para santri difabel tuli belajar mata pelajaran umum sesuai tingkatan akademisnya. Hari itu Kamis (13/4/2023), ada empat kelompok yang sedang belajar dengan mata pelajaran berbeda. Randy Pranarelza (32) merupakan pria yang membantu anak berhitung tadi. Ia merupakan pendiri sekaligus pemimpin pondok pesantren tersebut.
Tak hanya ilmu agama, Pondok Pesantren Tunarungu Tuli Jamhariyah juga mengajarkan pelajaran umum. Randy menjelaskan, kini ada tiga jenjang pendidikan formal yang ada di pesantrennya. Semua kegiatan belajar mengajar formal menggunakan Kurikulum Merdeka dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (Kemendikbud).
“Di tempat kami juga diajarkan pelajaran formal seperti sekolah-sekolah lainnya. Ada (pelajaran) matematika, Bahasa Indonesia, IPA dan IPS" jelas Randy yang ditemui pada Kamis (13/4).
Berangkat dari Minimnya Akses Pendidikan Difabel Tuli
Pendiri sekaligus pemimpin Pondok Pesantren Jamhariyah, Randy Pranarelza ©2023 Anugerah Ayu Sendari/Merdeka.com
Pondok Pesantren Tunarungu-Tuli Jamhariyah berdiri pada 2019. Tujuan didirikannya Pondok Pesantren Tunarungu Tuli ini berangkat dari sulitnya penyandang tuli untuk mendapat akses pendidikan khususnya agama. Menurut Randy, kebanyakan difabel tuli bersekolah di SLB, yang materi pembelajarannya tidak fokus di bahasa isyarat.
“Waktu itu di tahun 2013-2014, saya tergugah karena melihat image orang tuli yang masih belum baik karena bullying dan sering dianggap sebagai subjek yang tidak terbantu. Lalu ada juga yang menganggap kalau orang-orang tuli ini mengganggu gitu, ini karena komunikasinya yang tidak nyambung." ujarnya.
Randy menyebutkan, kecukupan ilmu agama dan duniawi sangat penting bagi penyandang tuli untuk bisa menjalankan kehidupan yang sama dengan yang lain. Dengan bekal ilmu yang ia miliki, Randy mantap membuka pondok pesantren.
Awalnya, Ponpes Jamhariyah berlokasi di Bantul. Namun, pada 2020 Jamhariyah berpindah ke Dusun Grogolan, Umbulmartani, Ngemplak, Sleman.
Kini, Jamhariyah memiliki 25 santri yang berasal dari berbagai daerah seperti Purworejo, Klaten, Jawa Barat, Lampung, Madura sampai Kalimantan. Randy tak mematok biaya untuk orang tua yang memasukkan anaknya di pesantrennya. Semua agar santri-santrinya bisa mendapatkan pendidikan yang setara dengan anak-anak lain.
Randy dibantu oleh istrinya, Umi Balqis yang juga menjadi pendamping santri perempuan. Ada 7 pengajar akademis di Jamhariyah dengan beragam latar belakang.
Kegiatan belajar mengajar berlangsung mulai pukul 08.00 WIB sampai pukul 11.00 WIB. Usai belajar pelajaran umum, santri biasanya akan lanjut memperdalam ilmu agama, salah satunya mengaji.
Santri Mampu Berdaya dan Terkoneksi dengan Pengajar
Salah satu santri tuli di Jamhariyah saat mengerjakan soal matematika di papan tulis ©2023 Anugerah Ayu Sendari/ Merdeka.com
Pagi itu, Winda (26) punya tugas mengajar pelajaran Bahasa Indonesia untuk anak-anak tuli di Jamhariyah. Ia dengan telaten memandu anak-anak menulis. Winda biasanya menekankan agar anak-anak bisa menulis kisah kesehariannya.
Winda bercerita, perlu upaya ekstra ketika mengajari para santri pelajaran Bahasa Indonesia. Sebabnya, mereka seringkali terlewat satu atau dua huruf saat menuangkan bahasa isyarat ke sebuah kalimat.
“Untuk kendalanya itu, misal di bahasa isyaratnya mereka sehari-hari paham. Tapi saat diterapkan di pelajaran mereka cukup kesulitan memahaminya. Jadi memang harus dibantu nulisnya, kaya nulis nama.” jelas Winda.
Perjalanan Winda sampai bisa mengajar di Jamhariyah juga menarik. Sebelumnya, ia merupakan juru masak di pesantren tersebut. Namun karena rasa ingin belajar yang tinggi, ia akhirnya memutuskan untuk mempelajari bahasa isyarat dan mengaplikasikannya untuk berinteraksi dengan anak-anak di sana.
"Akhirnya setelah belajar bahasa tersebut saya diberi kepercayaan untuk membantu mengajar di sini” cerita Winda.
Semua kegiatan belajar mengajar di Jamhariyah menggunakan bahasa isyarat. Pelajaran-pelajaran umum lain seperti IPA dan IPS juga disesuaikan metodenya menggunakan bahasa isyarat.
Dalam berinteraksi, pengajar dan santri menggunakan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO). Bahasa isyarat ini merupakan bahasa yang muncul secara alami dalam budaya Indonesia. BISINDO menjadi bahasa isyarat standar di Indonesia.
“Untuk metodenya tetap menggunakan bahasa isyarat, atau dieja perlahan-lahan sekali, dan dipersingkat bahannya tidak seperti anak-anak di sekolah SD lainnya“ pungkas Winda yang sudah setahun mengajar.
Arabic Sign Language untuk Mengaji
Seorang santri tengah mengaji menggunakan metode Arabic Sign Language ©2023 Anugerah Ayu Sendari/ Merdeka.com
Selain BISINDO, Jamhariyah juga menggunakan metode Arabic Sign Language (ASL) untuk membaca Al Qur'an. ASL merupakan bahasa isyarat untuk menyebut 28 huruf hijaiyah, dan menjadi standar bahasa tutur saat mengaji di madrasah-madrasah negara Timur Tengah.
“Untuk pelajaran Alquran, kami menggunakan Arabic Sign Language. Ini sudah digunakan secara internasional oleh sekolah-sekolah untuk orang tuli di negara-negara Arab" jelas Randy yang sempat melakukan perjalanan ke negara-negara Islam Asia selatan seperti India, Bangladesh dan Pakistan.
Metode Arabic Sign Language diklaimnya mampu membantu santri memahami huruf demi huruf di kitab suci Alquran. Ia kemudian menetapkan ini sebagai standar pembacaan Alquran di pondok tersebut.
“Jadi emang di Indonesia saat awal-awal saya terjun ke komunitas tuli itu enggak ada bahasa isyarat agama di 2011. Jangankan untuk mengaji, bahasa-bahasa agama yang pokok seperti rukun iman, rukun islam, malaikat, kitab, neraka, surga saja tidak ada. Padahal ini penting. Akhirnya bismillah, standarnya yang sudah diterapkan di negara-negara Arab secara luas, kami aplikasikan sebagai standar sendiri di Jamhariyah ini.” terangnya.
Menggunakan ASL, Pesantren Jamhariyah berusaha menghasilkan hafiz-hafiz Alquran. Para anak difabel tuli pun akhirnya mendapat ilmu agama setara dengan anak-anak lainnya.
Gunakan Kurikulum Merdeka
Hasil penilaian santri tuli ©2023 Anugerah Ayu Sendari/ Merdeka.com
Selain mencetak hafiz Alquran dan ahli agama, Pesantren Tunarungu-Tuli Jamhariyah juga membekali santrinya dengan pengetahuan-pengetahuan umum. Dari 25 santri, ada 17 anak yang belajar di tingkat SD, 5 anak di tingkat SMP, 2 anak di tingkat SMA, dan 1 anak berkuliah. Semua jenjang ini disesuaikan dengan tingkat kognitif anak.
Semua kurikulum bahan ajar, Randy dapatkan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) RI. Sebelumnya Randy menyesuaikan terlebih dahulu kemampuan dan kebutuhan para santri. Menurutnya, langkah ini tepat lantaran kapasitas santri-santri tuli yang tidak bisa maksimal seperti anak-anak lainnya.
"Untuk materi kami tetap dari Kemdikbud, lalu kami sederhanakan dan disesuaikan untuk anak-anak di sini" kata Randy. "Karena kalau kami adopsi secara penuh, materinya berat dengan kemampuan mereka yang terbatas" tambahnya.
Kurikulum Merdeka terbuka untuk digunakan seluruh satuan pendidikan PAUD, SD, SMP, SMA, SMK, Pendidikan Khusus, dan Kesetaraan. Kurikulum Merdeka merupakan kurikulum yang memungkinkan siswa untuk lebih berpartisipasi dalam proses pembelajaran dan mengembangkan potensi mereka secara maksimal.
Randy menjelaskan bahwa seluruh materi di Jamhariyah sudah diintisarikan. Materi kemudian disebar ke pengajar dalam bentuk print out buku.
“Ini diterapkan untuk santri dari mulai SD, kelas satu sampai kelas 6, ada semester 1 dan semester 2. Di sini juga ada ujian akhir dan tengah semester, bahkan mereka juga ada liburannya.” Katanya.
Penyerapan materi tersebut menyesuaikan prinsip lembaga pendidikan yang inklusif. Di sini, para santri yang memiliki kekurangan seharusnya dipermudah dengan kurikulum sekolah, dan bukan malah sebaliknya. Kurikulum inilah yang terdapat pada Kurikulum Merdeka Belajar yang inklusif.
Mengutip laman Kemendikbud, dalam Kurikulum Merdeka yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) RI, terdapat Panduan Pelaksanaan Pendidikan Inklusif. Kurikulum ini memfasilitasi anak-anak berkebutuhan khusus dalam mendapat pendidikan yang inklusif.
Santri Bisa Mengembangkan Diri di Jamhariyah
Ahlan, santri tuli di Jamhariyah yang kini menjadi pengajar ©2023 Anugerah Ayu Sendari/ Merdeka.com
Meski masih terbilang muda, Pesantren Tunarungu-Tuli Jamhariyah telah berhasil mencetak santri yang mampu berdaya dan mengembangkan diri.
Ahlan (22) salah satu contohnya. Perempuan asal Gresik ini merupakan santri tuli yang kini melanjutkan kuliah di salah satu universitas swasta di Yogyakarta. Ahlan yang mengambil jurusan Pendidikan Guru SD (PGSD) ini juga dipercaya menjadi pengajar di Jamhariyah.
“Saya masuk pertama di sini itu tahun 2020 dan sekarang jadi pengajar sejak tahun 2021. Dulu pertama masuk ke pondok itu saya belajar ilmu agama, Al Quran, hadist dan lain-lain.” Katanya di sela-sela mengajar, didampingi Umi Balqis, selaku pengasuh santri perempuan sebagai penerjemah.
Saat awal belajar di Jamhariyah, dirinya mengaku kesulitan beradaptasi. Bahkan ia juga sempat tidak memiliki teman. Namun, perlahan ia mampu membaur dengan para santri hingga didapuk menjadi pengajar.
Ditambahkan Umi Balqis, Ahlan bisa menjadi pengajar di pondok lantaran direkomendasikan oleh pengurus. Ini karena ia memiliki kemampuan adaptasi serta akademik yang baik. Selain itu Ahlan juga bisa membimbing dan membantu para santri lain dalam aktivitas sehari-hari.
“Awalnya bisa ngajar di sini itu karena direkomendasikan oleh pondok, karena dia juga sudah kuliah dan memiliki kompetensi yang dibutuhkan di pondok sebagai pengajar. Dia juga dipercaya mengajar karena sudah hafal juz 30” terang Umi Balqis.
Umi Balqis melihat, para santri sudah banyak yang menunjukkan perkembangan yang signifikan setelah belajar di Jamhariyah. Balqis menceritakan ada santri yang bahkan sebelumnya tidak bisa apa-apa. Namun setelah didampingi pengajar ia bisa makan sendiri, mandi, bersih-bersih bahkan membantu temannya makan.
Perlu kesabaran dan dan ketelatenan saat mengajar santri tuli. Hal ini juga dirasakan Ahlan. Ahlan yang juga merupakan difabel tuli terkadang kesulitan membimbing santri untuk memahami materi.
“Agar anak-anak paham memang harus sabar. Jadi misal matematika harus pakai peraga, misal menulis angka 10, ditulis pakai jari ada 10 dan dihitung bersama.” jelas Ahlan.
Kehadiran Negara dalam Hak Pendidikan Difabel
Upaya negara untuk memenuhi hak pendidikan penyandang difabel sebenarnya sudah terlihat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dalam undang-undang ini, kelompok difabel memiliki hak yang sama untuk bisa berkontribusi di lingkungan masyarakat maupun negara.
Hal ini dijelaskan oleh Irmaningsih Pudyaningntyas, perwakilan dari Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA). Irma menjelaskan, UU tersebut membuktikan bahwa saat ini negara sudah hadir untuk membantu memenuhi hak-hak disabilitas, salah satunya melalui pendidikan.
“Kalau dari regulasi bisa dikatakan negara sudah hadir ya. Ini bisa dilihat dari adanya UU Nomor 8 tahun 2016, yang mulai dipenuhi dari berbagai lini mulai dari kesehatan, pendidikan, ekonomi” kata Irma.
Namun, regulasi tersebut perlu didukung oleh masyarakat sehingga mereka tetap mendapat tempat untuk bekerja, akses kesehatan sampai memenuhi kebutuhan pendidikan.
Pemenuhan hak pendidikan untuk difabel inilah yang terlihat dalam Kurikulum Merdeka Belajar. Kurikulum ini juga mengusung inklusivitas yang memberi kesempatan pendidikan bermutu seluas-luasnya untuk anak yang memiliki keterbatasan.
Melansir laman resmi Kemdikbud, anak dengan difabel tuli dapat mengikuti kurikulum standar. Tetapi harus dilakukan adaptasi, terutama untuk mengatasi batasan bahasa. Dalam Kurikulum Merdeka, pengajar memiliki keleluasaan untuk memilih berbagai perangkat ajar sehingga pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan belajar dan minat peserta didik.
Hal ini yang dilakukan oleh Pesantren Jamhariyah untuk mengakomodasi santri-santrinya. Melalui pendekatan inklusif, anak tuli dapat merdeka belajar dan berdaya di masyarakat.
“Intinya kami memudahkan, karena prinsip inklusi itu kita yang memudahkan untuk anak-anak tuli, bukan mereka yang menyesuaikan" ujar Randy.
Penulis: Anugerah Ayu Sendari & Nurul Diva Kautsar
(mdk/nrd)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Pondok pesantren itu punya metode sendiri agar santri bisa menyerap ilmu yang terkandung di kitab kuning.
Baca SelengkapnyaDi ponpes ini, para santrinya digembleng untuk bisa menjadi seorang hafiz
Baca SelengkapnyaOtoritas Jasa Keuangan (OJK) terus mendorong peningkatan literasi dan inklusi keuangan syariah.
Baca SelengkapnyaDalam kegiatan yang dilaksanakan selama Ramadan, para santri difabel tunarungu itu belajar mengaji dengan menggunakan bahasa isyarat.
Baca SelengkapnyaGanjar pun menilai sudah ada chemistry antara dirinya dengan para ulama dan pimpinan Ponpes se-Bekasi Raya.
Baca SelengkapnyaPendiri Ponpes ini ingin lembaga pendidikan islam miliknya bisa seperti Universitas Al Azhar Mesir hingga Universitas Harvard.
Baca SelengkapnyaDengan menggunakan metode isyarat, anak-anak penyandang tuli jadi lebih mudah memahami Al-Qur'an.
Baca SelengkapnyaKurikulum Merdeka berfokus pada pembelajaran sesuai kebutuhan minat dan bakat anak.
Baca SelengkapnyaKurikulum baru yang diterapkan untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Baca SelengkapnyaPesantren harus memberikan pengajaran kepada para santri tentang bidang ilmu pengetahuan umum lainnya
Baca SelengkapnyaMenag Yaqut soal Hardiknas 2024: Merdeka Belajar Memanusiakan Manusia, Dukung untuk Dilanjutkan
Baca SelengkapnyaKurikulum merdeka diterapkan untuk menangangi krisis pendidikan Indonesia.
Baca Selengkapnya