Pakar UGM Sebut Kebijakan Tapera Akan Berhasil, Begini Syaratnya
Pengawasan dan evaluasi program Tapera sangat penting, khususnya tentang manajemen pengelolaan dana nasabah.
Pengawasan dan evaluasi program Tapera sangat penting, khususnya tentang manajemen pengelolaan dana nasabah.
Pakar UGM Sebut Kebijakan Tapera Akan Berhasil, Begini Syaratnya
Penolakan terhadap kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) masih mewarnai ruang-ruang publik sejak Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tapera ditetapkan pada 20 Mei 2024 lalu.
-
Bagaimana Tapera diharapkan bisa menjamin kesejahteraan? Dirjen Pembiayaan Infrastruktur PUPR, Herry Trisaputra Zuna, mengatakan bahwa program Tapera pada intinya bertujuan untuk meralisasikan amanat UUD 1945 yakni setiap orang berhak hidup Sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
-
Apa itu Tapera? Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera adalah program yang diinisiasi oleh pemerintah Indonesia untuk memberikan solusi atas pembiayaan tempat tinggal bagi para pekerja.
-
Bagaimana Tapera berpeluang untuk diundur? 'Jadi kalo misalnya ada usulan, apalagi DPR misalnya ketua MPR untuk diundur, menurut saya, saya sudah kontak dengan Menteri Keuangan juga kita akan ikut,' ujar Basuki, dilansir dari ANTARA.
-
Bagaimana Tapera bekerja? Besaran iuran Tapera adalah sebesar 3% dari gaji pekerja. Dari jumlah ini, 0,5% ditanggung oleh pemberi kerja dan 2,5% ditanggung oleh pekerja.
-
Siapa yang bisa ikut Tapera? Program ini dirancang untuk membantu pekerja mendapatkan akses yang lebih mudah dan terjangkau ke perumahan.
-
Apa yang menjadi alasan penolakan Tapera? Bagi para buruh, adanya Tapera sangat memberatkan mereka. Di sisi lain, hasil penghimpunan dana dinilai tidak akan cukup untuk membeli rumah. Selain itu pengawasan pemerintah terhadap program Tapera juga dinilai lemah.
Kebijakan ini mendapat penolakan keras dari kalangan pekerja karena penghasilan mereka akan kena potongan tambahan 2,5 persen. Pengusaha juga keberatan kalau harus menanggung 0,5 persen dari beban iuran tersebut.
Belum lagi pekerja dan perusahaan juga harus menanggung beban iuran yang sudah ada, seperti pajak penghasilan, jaminan kesehatan, dan jaminan ketenagakerjaan.
Mengutip ANTARA, sejumlah pekerja juga menolak Tapera karena tidak semua orang dapat menerima manfaat pembiayaan perumahan.
Persyaratan pembiayaan Tapera terbatas pada golongan masyarakat berpenghasilan rendah atau memiliki gaji maksimal Rp8 juta per bulan dan belum punya rumah.
Menurut Peneliti Bidang Kajian Microeconomics Dashboard (Micdash) Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM), Qisha Quarina, kebijakan Tapera ini sebenarnya bisa saja dapat berhasil diterapkan.
“Kebijakan Tapera dapat berhasil apabila terdapat transparansi dan mekanisme yang baik. Selain itu, diperlukan pula pengawasan dan evaluasi secara berkala,” kata Qisha dikutip dari Liputan6.com pada Selasa (11/6).
Menurutnya, pengawasan dan evaluasi program Tapera sangat penting, khususnya tentang manajemen pengelolaan dana nasabah.
Langkah tersebut penting untuk menghindari penyalahgunaan anggaran dan untuk mendorong peningkatan pemanfaatan dana bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dalam mengakses perumahan layak huni.
Qisha menambahkan, Tapera bertujuan untuk menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah layak huni bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Sementara itu kepesertaan Tapera terdiri dari pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum, dengan besar iuran simpanan sebesar 3 persen dari penghasilan yang dilaporkan setiap bulannya.
“Hanya saja pengesahan PP Tapera menimbulkan banyak polemik dan penolakan khususnya dari asosiasi pengusaha dan buruh yang terdampak langsung aturan tersebut,” kata Qisha.
Lebih lanjut, Qisha menjelaskan bahwa pada satu sisi Tapera bisa menjadi dan gotong royong untuk membantu pekerja berpenghasilan rendah dalam hal pembiayaan perumahan. Namun di sisi lain program ini dianggap memberatkan beban iuran pengusaha dan pekerja.
Padahal, menurutnya akar permasalahan utama dalam sektor perumahan di Indonesia adalah tingginya harga rumah dan rendahnya penghasilan masyarakat.
Tapi tak hanya itu, persoalan lainnya yang terkait adalah rumah yang tidak layak huni serta backlog perumahan karena ketimpangan yang terjadi antara pasokan dan permintaan yang tidak seimbang.
Peneliti Micdash lainnya, Rainah Salsabila, mengatakan bahwa program Tapera memiliki tujuan baik untuk memberi akses perumahan layak huni bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Hanya saja dalam aturan Tapera tidak dijelaskan mengenai berapa banyak kuota bagi masyarakat yang dapat mengakses manfaat dari Tapera itu sendiri.
“Sementara itu peserta Tapera dengan pendapatan rendah yang tidak dapat kuota harus menunggu sampai waktu yang tidak ditentukan. Oleh sebab itu pemerintah harus menunjukkan transparansi terkait dengan cara pemilihan peserta yang termasuk ke dalam kuota tahunan dan mekanisme pemeringkatannya,”
kata Rainah dikutip dari Liputan6.com.