Pekerja Tolak Bayar Iuran, BP Tapera: Itu Amanat Undang-Undang
Heru menegaskan bahwa pemotongan gaji karyawan untuk program Tapera masih belum dilakukan.
Aturan Kepesertaan ini berlaku bagi para ASN/PNS hingga pekerja swasta maupun mandiri.
Pekerja Tolak Bayar Iuran, BP Tapera: Itu Amanat Undang-Undang
Pekerja Tolak Bayar Iuran, BP Tapera: Itu Amanat Undang-Undang
Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), Heru Pudyo Nugroho buka suara terkait penolakan aturan pekerja wajib mengikuti program Tapera. Aturan Kepesertaan ini berlaku bagi para ASN/PNS hingga pekerja swasta maupun mandiri.
Heru menyebut, kewajiban bagi untuk mengikuti program Tapera merupakan amanah dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Dengan ini, BP Tapera sebagai operator hanya bertindak menjalankan amanat undang-undang yang berlaku.
"Nah itu (kepesertaan wajib) yang tadi itu bukan karena kami, karena aturan undang-undangnya wajib," kata Heru dalam konferensi pers di Kantor BP Tapera, Jakarta, Senin (10/6).
Saat ini, Heru menegaskan bahwa pemotongan gaji karyawan untuk program Tapera masih belum dilakukan. Pihaknya masih melakukan tata kelola terkait aturan teknis pelaksanaan program Tapera.
"Ini kami sendiri sedang finalisasi dan kita sangat hati-hati betul sesuai amanat dari ombudsman untuk menerjemahkan kata wajib terkait kepesertaan," bebernya
merdeka.com
Meski demikian, Heru mengaku tetap menerima berbagai masukan yang dilontarkan berbagai kelompok elemen maupun pengusaha. Pihaknya mengaku memahami berbagai macam alasan penolakan yang masih terjadi.
"Berbagai aspirasi tentu kita dengarkan dan sangat memahami konteks perkembangan sekarang, yang menjadi concern dan keberatan masyarakat, ini juga jadi pertimbangan BP Tapera dalam menerapkan tata kelola Tapera," pungkasnya.
Sebelumnya, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mendesak pemerintah untuk mencabut Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2024 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (PP Tapera) atau iuran Tapera.
Presiden KSPI, Said Iqbal, mengemukakan beberapa alasan mengapa Tapera harus dicabut, dengan fokus utama pada potensi korupsi dalam pengelolaan dana tersebut. Menurut Said, dana Tapera sangat rawan disalahgunakan karena adanya kerancuan dalam sistem anggaran.
Dana Tapera dikumpulkan dari iuran pekerja dan pengusaha, namun dikelola oleh pemerintah tanpa adanya kontribusi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hal ini menimbulkan risiko besar bagi penyalahgunaan dana.
"Model Tapera bukanlah sistem jaminan sosial maupun bantuan sosial yang jelas. Dana dari iuran masyarakat ini dikelola oleh pemerintah, yang seharusnya tidak memiliki andil dalam dana yang bukan berasal dari APBN atau APBD. Ini membuka peluang besar untuk korupsi," jelas Said dalam keterangannya, Minggu (2/6).
Selain itu, Said menyoroti bahwa dana yang dikumpulkan dari iuran pekerja sebesar 3 persen dari upah mereka tidak akan cukup untuk membeli rumah dalam jangka waktu sepuluh hingga dua puluh tahun.
Bahkan, uang muka saja tidak akan terpenuhi. Hal ini menimbulkan ketidakpastian bagi pekerja dalam memiliki rumah.
Potongan iuran Tapera juga membebani biaya hidup pekerja. Di tengah penurunan daya beli dan rendahnya upah minimum akibat UU Cipta Kerja, tambahan potongan sebesar 2,5 persen untuk Tapera semakin memberatkan pekerja yang sudah terbebani berbagai potongan lain seperti Pajak Penghasilan dan iuran jaminan sosial lainnya.