Mengenal Sunan Bonang, Pendakwah yang Sebarkan Islam dengan Kesenian
Sunan Bonang adalah sosok pendakwah yang cerdik dan fleksibel dalam menyiarkan ajaran-ajaran Islam.
Sunan Bonang adalah seorang tokoh terkemuka dalam sejarah Indonesia, khususnya dalam penyebaran Islam di Pulau Jawa.
Mengenal Sunan Bonang, Pendakwah yang Sebarkan Islam dengan Kesenian
Sunan Bonang adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah Islam di Indonesia. Beliau adalah anggota Wali Songo, yaitu sembilan ulama yang menyebarkan agama Islam di pulau Jawa pada abad ke-14 Masehi.Sunan Bonang tidak hanya dikenal sebagai ulama yang berilmu tinggi, tetapi juga sebagai seniman yang berbakat. Beliau menggunakan berbagai kesenian, seperti gamelan, sastra, dan arsitektur, sebagai media dakwah untuk menarik hati masyarakat Jawa.
Siapa Sunan Bonang?
Memiliki nama asli Raden Makdum Ibrahim, Sunan Bonang adalah putra dari Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila.
Sunan Bonang lahir pada tahun 1465 M di Surabaya, dan wafat pada tahun 1525 di Tuban.
Ia dikenal karena kesalehan, kebijaksanaan, dan dedikasinya dalam menyebarkan ajaran Islam. Salah satu kontribusi Sunan Bonang yang paling menonjol terhadap sejarah Indonesia adalah penekanannya pada pentingnya toleransi dan kerukunan beragama.
-
Dimana Sunan Bonang berdakwah menggunakan kesenian? Mengutip Instagram @tuban_bercerita, berbekal pengalaman dakwahnya yang gagal di Kediri, ia lantas melakukan pendekatan asimilatif (peleburan) corak Islam dalam budaya Jawa. Dia memantapkan kepiawaiannya dalam kesusastraan dan kesenian untuk berdakwah di tempat lain.
-
Apa gelar Sunan Bonang? Mengutip Suluk Wijil, Sunan Bonang disebut sebagai Ratu Wahdat, yang sama artinya dengan selibat (tidak beristri).
-
Bagaimana Sunan Bonang berdakwah di Tuban? Mengutip artikel Merdeka.com, selama berdakwah di Tuban, Jawa Timur, Sunan Bonang mengajarkan tembang-tembang yang berisikan ajaran Islam di dalam Masjid Astana.Sepulangnya dari masjid, masyarakat menghafalkan tembang itu di rumah. Sanak saudara mereka pun turut menyanyikan tembang itu karena tertarik akan kemerduan lagunya.Demikianlah cara Sunan Bonang berdakwah sehingga santrinya tersebar di berbagai penjuru Nusantara.
-
Apa yang dilakukan Sunan Bonang di Kediri? Ia pernah ditolak warga Kediri karena berdakwah dengan cara kekerasan. Kedatangan Awalnya, Sunan Bonang datang ke Kediri dengan niat tulus untuk menyebarkan ajaran Islam.
-
Kenapa Sunan Bonang sering berdakwah di Masjid Astana? Masjid ini ukurannya kecil saja, tapi punya peran besar pada perjalanan dakwah Sunan Bonang.
-
Bagaimana Sunan Bonang menunjukkan toleransi? Kayu jati dengan empat cabang yang menggambarkan rumah ibadah agama-agama berbeda ini menunjukkan sikap Sunan Bonang. Ia adalah ulama besar yang mau menerima keberadaan agama lain di sekitarnya.
Wirid Favorit Sunan Bonang
Semasa hidupnya, Sunan Bonang memiliki wirid favorit berupa surah Al-Fatihah 50 kali, Al-Ikhlas 50 kali, dan selawat 300 kali. Selain membaca bacaan seperti Surat Yasin dan Tahlil, para peziarah yang mendatangi makam Sunan Bonang juga dapat mengamalkan wirid tersebut.
Selain wirid favorit, Sunan Bonang juga senang terhadap ukir-ukiran indah pada bangunan. Hal ini tampak pada bale-bale (pendopo paseban, pendopo rante, dan pendopo tajuk) peninggalan Sunan Bonang yang semasa hidupnya digunakan untuk urusan pendidikan dan syiar agama. Bangunan pendopo itu berbentuk limas, umpak-umpak berwarna putih yang terbuat dari tulang ikan.
Pada bangunan paseban, terdapat ukiran indah motif sulur-sulur daun dan hiasan tumpal. Selain itu, ada pula beberapa peninggalan purbakala seperti tempayan, yoni, pipisan dan peti batu yang tersimpan di pendopo rante.
Tandingi Upacara Agama Era Majapahit
Agus Sunyoto, penulis buku Atlas Walisongo mengungkap salah satu peristiwa yang menunjukkan fleksibilitas dakwah Sunan Bonang.
Dalam misi penyiaran agama Islam di Singkal Nganjuk, Sunan Bonang mengadakan upacara kenduri menandingi upacara agama Tantrayana dilakukan oleh petinggi-petinggi Majapahit. Saat itu, sekte Bhairawa Tantrayana sangat disegani.
Agama Tantrayana adalah agama yang memuja dewi bumi, dewi pertiwi, dan durga sang dewi sungai. Mereka beribadah dengan cara duduk melingkar di setra terbesar yang dimiliki Majapahit, yakni Setralaya yang sekarang dikenal dengan sebutan Troloyo.
Ritual melingkar itu disebut dengan upacara pancamakara yang kemudian lebih dikenal dengan istilah Molimo. Upacara ini memiliki lima makna yakni Mamsha artinya daging, Matsya artinya ikan, Madya artinya minuman keras, Maithuna berarti seksual, dan Mudra yang berarti semedi.
Pada pelaksanaannya, lelaki dan perempuan telanjang duduk melingkar, di tengah-tengahnya ada makanan yang terbuat dari daging dan ikan, serta dihidangkan pula minuman keras.
Usai makan dan minum, mereka melakukan persetubuhan yang diklaim sebagai pemenuhan nafsu. Seusai bersetubuh dan dianggap telah lepas dari nafsu, mereka melakukan semedi.
merdeka.com
Menyaksikan ritual tersebut, Sunan Bonang menandingi dengan membuat acara yang sama di daerah Singkal, Nganjuk, Jawa Timur. Di sana, beliau mengadakan upacara serupa di mana seluruh peserta laki-laki berdoa melingkar. Upacara tersebut dikenal dengan istilah kenduri atau selametan.
Upacara kenduri berkembang dari satu kampung ke kampung lain. Hingga kini, kenduri telah menjadi tradisi masyarakat di berbagai daerah di Pulau Jawa.
Cara Dakwah Sunan Bonang
Salah satu cara dakwah yang dilakukan oleh Sunan Bonang adalah melalui seni dan budaya Jawa yang kental dengan nilai-nilai kearifan lokal.
Beliau menggunakan seni tari, musik, dan cerita-cerita rakyat untuk menyampaikan pesan-pesan agama Islam kepada masyarakat.
Hal ini dilakukan untuk memudahkan masyarakat dalam memahami ajaran Islam dengan cara yang lebih menarik dan mudah dicerna.
Metode dakwah ini sangat efektif karena Sunan Bonang dapat langsung berinteraksi dengan masyarakat dan memberikan contoh nyata tentang bagaimana menjalani kehidupan sebagai seorang muslim sejati.
Sunan Bonang juga dikenal sebagai tokoh yang mempromosikan toleransi dan kerukunan antar umat beragama. Beliau mendorong dialog antar agama dan menciptakan suasana yang harmonis di tengah masyarakat yang heterogen.
Beliau mengajarkan bahwa Islam adalah agama rahmatan lil'alamin yang membawa kedamaian dan kasih sayang kepada semua makhluk.
merdeka.com
Melalui cara dakwah yang unik dan efektif, Sunan Bonang berhasil menyebarkan ajaran Islam di Jawa Timur dan menjadi tokoh yang dihormati oleh masyarakat.Metode dakwahnya yang menggabungkan nilai-nilai lokal dengan ajaran Islam mampu menciptakan budaya dakwah yang inklusif dan dapat diterima oleh berbagai kalangan masyarakat.
Karya-karya Sunan Bonang
Sunan Bonang dianggap berhasil menciptakan asimilasi budaya Jawa dan Islam, tanpa meninggalkan ciri khas satu sama lain melainkan memadukan agar selaras dengan kehidupan masyarakat lokal.
Keberhasilan dakwahnya dibantu dengan Sunan Kalijaga yang memberi warna lokal pada upacara keagamaan seperti Idulfitri, perayaan Maulid Nabi, dan peringatan Tahun Baru Islam.
Warisan budaya yang diciptakan Sunan Bonang dan masih eksis hingga kini adalah Upacara Sekaten dan Grebeg Maulid.
Imam pertama Masjid Demak itu juga dikenal memiliki sumbangsih pada bidang-bidang lain. Pada dunia pewayangan, beberapa lakon carangan pewayangan telah digubah dengan kaidah Islam, seperti Petruk Dadi Ratu, Layang Kalimasada, Dewa Ruci, Pandu Pragola, Semar Mbarang Jantur, dan Mustakaweni.
Di dunia kesusastraan, Sunan Bonang dikenal sebagai penyair profilik sekaligus penulis risalah estetika sufi. Sosoknya juga merambah dunia musik dengan memasukkan instrumen rebab Arab dan kempul Campa atau bonang pada gamelan Jawa.
Dimas Agung dalam esainya yang berjudul Wirid Kesukaan Sunan Bonang dan Pengarang Tembang Tombo Ati menyebut musik gamelan gubahan Sunan Bonang menyajikan orkestra polifonik yang mediatif dan kontemplatif. Kidung ciptaannya yang melegenda adalah Tombo Ati.
Pada dunia arsitektur, Sunan Bonang berperan menyediakan satu dari empat soko guru Masjid Agung Demak pada 1478 masehi.
Sosoknya merupakan guru Raden Patah putra Raja Brawijaya V Majapahit, guru para wali salah satunya Sunan Kalijaga. Sunan Bonang meninggal tahun 1525 Masehi dan dimakamkan di Kabupaten Tuban.
merdeka.com