Kisah “Profesor” Melon dari Perdesaan Bojonegoro, Telaten Rawat Buah Premium Cuan Puluhan Juta per Bulan
Sempat susah dapat kerja, pemuda 26 tahun ini memutuskan jadi petani melon. Kini penghasilannya mencapai Rp45 juta per bulan.
Pemuda 26 tahun ini pilih jadi petani karena melihat peluang bisnisnya di masa depan
Kisah “Profesor” Melon dari Perdesaan Bojonegoro, Telaten Rawat Buah Premium Cuan Puluhan Juta per Bulan
Krekkk... krekk...
Aplikasi petunjuk arah google maps memberitahu bahwa saya sudah tiba di lokasi tujuan, Greenhouse Fatkul Ilma Djoyo Tani. Saat itu, saya persis berada di bawah pohon bambu yang rimbun di kawasan persawahan Kecamatan Kapas, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Sesekali terdengar krekkk… krekkk… suara pohon bambu tertiup angin. Saya menikmati suasana khas perdesaan itu sembari menunggu Fatkul Ilma, petani milenial yang menekuni tanaman melon.
-
Siapa petani melon inspiratif ini? Mohammad Asnawi merupakan seorang anggota DPRD Rembang periode 2014-2019. Setelah itu ia mulai merintis hidup sebagai petani melon.
-
Apa yang dibudidayakan oleh petani milenial dari Klaten? Petani milenial yang satu ini memanfaatkan budidaya tumbuhan Alga Spirulina yang bermanfaat sebagai solusi krisis panganan hingga menjadi pupuk organik.
-
Apa hasil panen petani milenial ini? Dari lahan tani seluas 8 hektare, dalam sekali panen ia bisa memproduksi 3 ton pepaya.
-
Siapa yang menulis artikel tentang petani? Mengutip laman Pondok Pesantren Tebuireng, Kiai Hasyim Asy'ari pernah menulis artikel tentang petani.'Pendek kata, bapak tani adalah goedang kekajaan, dan dari padanja itoelah Negeri mengeloearkan belandja bagi sekalian keperloean.
-
Bagaimana petani milenial ini belajar bertani? Dalam bertani pepaya, Aksin belajar secara autodidak. Ia belajar dari para peternak pepaya lain. Tak hanya ilmu yang didapat, ia juga mendapat banyak motivasi dari para mentornya.
-
Apa yang membuat melon dari petani ini spesial? Uniknya lagi, tanaman melon di sana dibudidayakan tanpa pengaruh obat insektisida dan pestisida. Sehingga buahnya lebih sehat bila dikonsumsi.
Dari areal pohon bambu, kami naik motor melewati pematang sawah sepanjang 100 meter. Motor kemudian diparkir di salah satu sisi pematang sawah. Dari situ, kami berjalan kaki sekitar 10 meter untuk sampai di greenhouse Djoyo Tani.
Dihadapkan dengan greenhouse yang berdiri di lahan seluas 1.000 meter persegi, saya penasaran berapa biaya pembangunan fasilitas pertanian modern ini.
“Semuanya sekitar Rp500 juta, uangnya dari KUR (Kredit Usaha Rakyat) dan hasil nabung setiap panen,” ungkap Fatkul, Minggu (19/11/2023) siang.
(Foto: Rizka Nur Laily M)
Manfaat KUR BRI
Fatkul mengajukan KUR di Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan mendapatkan nominal sebesar Rp50 juta. Uang itu ia gunakan untuk membangun greenhouse pertama di lahan sawah milik orang tuanya. Dari hasil panen melon yang ditanam di greenhouse pertama, Fatkul konsisten menabung untuk membangun greenhouse baru di lahan yang sama.
Menurut Fatkul, keberadaan KUR BRI sangat membantu dirinya sebagai petani.
“Pertanian dengan konsep modern seperti ini (greenhouse) modalnya besar, jadi KUR BRI sangat membantu karena saya tidak punya modal sendiri,” terangnya di gubuk bambu depan greenhouse Djoyo Tani.
Manfaat KUR BRI untuk pengembangan kebun melon juga dirasakan Mujito, petani holtikultura yang sudah menekuni tanaman melon sejak tahun 1996. Mujito pertama kali mengajukan KUR BRI pada 2014 silam. Saat itu, ia butuh modal lebih besar karena baru pertama kali menanam melon premium golden.
(Foto: Rizka Nur Laily M)
Mujito mengungkapkan, ia dan empat petani melon binaannya memanfaatkan KUR BRI untuk cadangan jika sewaktu-waktu mereka kekurangan modal di tengah jalan. Mengingat varietas melon yang dikembangkan adalah jenis premium, perawatannya pun membutuhkan biaya ekstra. Ada kalanya uang KUR BRI baru dimanfaatkan pada fase akhir sebelum tanaman melon memasuki masa panen.
Jatuh Bangun
Gagal Berulang Kali
Perkenalan Mujito dengan melon berawal dari ketidaksengajaan. Pada tahun 1995, Mujito bermain ke rumah temannya di Kawasan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Di sana, ia disuguhi buah melon. Itu pertama kalinya Mujito melihat dan makan buah melon.
(Foto: Dok. Fatkul Ilma)
Saat itu, di daerahnya buah melon masih langka dan belum banyak orang tahu. Berbeda dengan panen semangka yang selalu ludes terjual saat masih di ladang, pada tahun 1996 saat panen melon pertama, Mujito bingung ke mana harus menjualnya.
Setelah berbagai usaha yang dilakukan, Mujito akhirnya menemukan satu pedagang di pasar buah Bojonegoro yang bersedia membeli melonnya. Sejak saat itu, ia termotivasi terus menanam melon hingga sekarang.
“Gagal berkali-kali, macem-macem masalahnya. Saya cari terus kenapa, guru saya ya (tanaman) melon itu sendiri. Dulu enggak ada orang yang bisa ditanya, sekarang ada masalah apa bisa tanya google,” ujar Mujito yang hari itu mengenakan kaus lengan panjang dipadu celana training, serta bertopi dan bersepatu selop.
(Foto: Rizka Nur Laily M)
Greenhouse itu awalnya ia gunakan untuk pembibitan bawang merah. Sayangnya, setiap kali panen, harga bawang merah anjlok dan membuat Fatkul merugi.
Dia kemudian mengalihkan fungsi greenhouse menjadi laboratorium untuk mengenali tanaman melon. Setiap hari selama setahun lebih, Fatkul melakukan berbagai percobaan menanam melon dan berkali-kali gagal.
“Aku belajar menanam melon di greenhouse nonton lewat YouTube. Kenapa pilih menanam melon karena harganya stabil tinggi, terus berani bikin greenhouse karena yakin pasti untung,” ujar penerima penghargaan Pemuda Pelopor Nasional tahun 2022 itu.
(Foto: Rizka Nur Laily Muallifa)
Mengutip Hery Toiba, dkk (Jurnal Dinamika Pengabdian Universitas Hasanudin, 2023), tanaman pada greenhouse dapat tumbuh dan berproduksi sepanjang tahun secara berkesinambungan tanpa dipengaruhi musim.
Selain itu, kualitas hasil tanam lebih terjamin, penggunaan pupuk dan pengairan lebih efisien, serta risiko serangan hama dan ancaman penyakit pada tanaman lebih rendah. Petani Milenial
Bukan Pilihan Pertama
Sebenarnya, menjadi petani bukan pilihan pertama dalam cita-cita karier Fatkul. Setelah pengabdiannya di sebuah pondok pesantren berakhir pada 2020 silam, ia pulang ke kampung halamannya di Kabupaten Bojonegoro.
(Foto: Dok. Fatkul Ilma)
“Saya lalu berpikir, kalau susah dapat kerja pilihannya menciptakan pekerjaan sendiri. Akhirnya memutuskan jadi petani karena melihat peluang ke depan. Menurut saya, bisnis paling menguntungkan itu ada dua, di bidang energi dan pangan,” papar pemuda yang hobi mengutak-atik drone tersebut.
Cuan Melimpah
Kegagalan-kegagalan di masa lalu, kini berbuah manis. Ribuan tanaman melon yang ditanam Fatkul di dalam dua greenhouse miliknya punya masa panen bergantian. Masa panen melon dua bulan sekali. Artinya, nyaris setiap bulan Fatkul panen melon. Cuan yang dihasilkan pun tidak sedikit, yakni mencapai puluhan juta rupiah per bulan.
“Modal menanam melon di satu greenhouse (ukuran 30 x 50 meter) sekitar Rp15 juta. Hasilnya pas panen sekitar Rp30 juta sampai Rp45 juta, kalau (hasil panen) bagus ya sampai Rp45 juta,” papar Fatkul.
Sementara itu, dengan modal Rp15 juta, Mujito bisa menghasilkan uang Rp45 juta sampai Rp60 juta setiap kali panen. Ia mengaku keuntungannya lebih banyak sejak tidak menjual melon kepada tengkulak.
(Foto: Dok. Mujito)
Setiap kali panen, kebun melon miliknya disulap jadi agrowisata. Para pembeli datang dari berbagai daerah di Bojonegoro bahkan luar kota untuk memilih langsung melon yang ingin mereka beli.
(Foto: Dok. Mujito)
Mujito punya cara marketing unik. Khusus saat berada di kebun, pembeli gratis mencicipi melon sepuasnya.
“Akhirnya mereka merasakan melonnya enak, terus belinya tambah banyak,” ungkap Mujito sembari tertawa.
(Foto: Freepik azerbaijan_stockers )