Potret Sepeda Zaman Kolonial Belanda Harganya Capai Rp25 Juta, Hanya Pejabat dan Bangsawan yang Punya
Saat itu, harga sepeda sangat mahal dan tidak bisa dijangkau masyarakat luas.
Saat itu, harga sepeda sangat mahal dan tidak bisa dijangkau masyarakat luas.
Potret Sepeda Zaman Kolonial Belanda Harganya Capai Rp25 Juta, Hanya Pejabat dan Bangsawan yang Punya
Sepeda bukan barang baru bagi masyarakat Indonesia. Alat transportasi ini sudah ada sejak zaman kolonialisme Belanda. Pada zaman dulu, sepeda merupakan barang mewah dan tidak sembarang orang bisa memilikinya.
-
Siapa yang punya motor-motor mahal ini? Motor-motor ini menggunakan teknologi mutakhir, material berkualitas tinggi, dan dirancang dengan desain eksklusif. Banyak di antaranya diproduksi dalam edisi terbatas, sehingga menambah nilai prestise.
-
Bagaimana Jenderal Agus Subiyanto mendapatkan sepeda? 'Jadi saya masih ingat waktu saya pangkat Kapten, saya pinjam sepeda sama kawan saya itu Asrena Kasad Wisnu Wardana. Sepeda yang tidak ada rem-nya lagi, saya pinjam. Pangkat Kapten,' ungkapnya.
-
Kenapa Vespa Klasik mahal? Vespa memiliki harga yang lebih tinggi karena kehandalannya’ keunikan desain, dan nilai historisnya.
-
Apa saja objek pajak di masa lampau? Jenis Pajak Lain Setidaknya ada sekitar 15 objek yang dikenakan pajak di Jawa saat itu. Mulai dari pegadaian, pembuatan garam, ikan, minuman keras, judi, hingga pertunjukan wayang.
-
Bagaimana Serka Sudiyono mendapat sepeda? Di depan Presiden Jokowi, Serka Sudiyono menjelaskan tentang wujud pendampingannya kepada petani. Setelah itu ia menerima tantangan presiden untuk menghafal Pancasila. Pada awalnya ia merasa grogi. Namun nyatanya Serka Sudiyono bisa mengumandangkan Pancasila dengan lancar. Presiden Jokowi bahkan tak kuasa menahan tawa saat melihat Serka Sudiyono berbalik arah dan melangkahkan kaki dengan mantap. Saat itu pula Serka Sudiyono mendapat hadiah sepeda dari Presiden Jokowi.
-
Siapa yang beruntung dapat hadiah sepeda? Warga berpakaian biru yang beruntung.
Sejarah
Mengutip Instagram @koloniaal_verslag, sepeda di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh seorang Eropa yang bekerja sebagai manajer perusahaan tembakau di Asahan, Sumatra Utara pada akhir
tahun 1894.
Ada juga yang berpendapat
sepeda sudah eksis sejak
sebelum tahun 1894. Hal ini dibuktikan dengan adanya berita di koran Java Bode (1890). Seorang pria melakukan perjalanan naik sepeda dari Batavia ke Buitenzorg (Bogor) pada Hari Paskah, 7 April 1890.
Saat itu, hanya kalangan tertentu yang bisa memiliki sepeda, seperti pejabat kolonial, bangsawan, misionaris, dan pebisnis kaya. Hal ini lantaran harga sepeda saat itu sangat mahal.
Pada masa kolonial Belanda, harga sepeda seperti Gazalle hampir setara dengan 1 ons emas atau setara dengan Rp25 juta.
Kepemilikan sepeda semakin meluas pada masa damai usai
Perang Dunia I. Kantor-kantor perwakilan dagang dari berbagai negara-negara Eropa bermunculan di Hindia Belanda.
Mereka memasarkan sepeda di kota-kota besar, seperti Batavia, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Banjarmasin, dan Makassar.
Poster yang terbuat dari lempengan logam berlapis enamel mempromosikan merek-merek sepeda ternama. Seperti seperti Fahrrad, Opel, Batavus, Gazelle, dan Raleigh.
Populer
Mengutip Instagram @koloniaal_verslag, sepeda dalam
bahasa Belanda disebut "fiet" atau
"wielrijder" (kendaraan beroda). Achmad Sunjayadi menyebut sepeda sudah populer di Indonesia sejak abad ke-19 dengan sebutan velocipede.
Pada perkembangannya, velocipede mulai dilupakan karena kehadiran sepeda dengan ban karet berisi angin yang disebut rijwiel pada tahun 1890.
Secara perlahan, bersepeda menjadi hobi baru warga dunia, termasuk Hindia Belanda (Indonesia saat dijajah Belanda).
SepedaBarang Berharga
Orang-orang yang menjadi konsumen
sepeda buatan luar negeri mayoritas para pejabat kolonial. Sepeda
jadi alat transportasi guna mendukung kelancaran urusan kedinasan
di negeri kolonial. Sepeda menjadi inventaris berharga pada masa itu.
Selain para pejabat pemerintah, kalangan
yang memanfaatkan sepeda terbatas pada para pendeta, priayi, hingga pengusaha berduit. Masyarakat kelas bawah hanya mampu
membeli sepeda bekas atau menunggu harga sepeda tersebut turun.