Sejarah 20 Desember: Terjadinya Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta
Merdeka.com - Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 ternyata bukanlah sebuah akhir dari perjuangan perebutan negara ini dari tangan penjajah asing. Karena, sejak Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Belanda dengan berbagai cara ternyata masih ingin kembali menguasai Republik Indonesia (RI).
Belanda saat itu tidak bersedia mengakui kedaulatan Negara Republik Indonesia dan berusaha menegakkan kekuasaannya kembali di tanah air. Berbagai jalan lantas ditempuh Belanda untuk memojokkan RI baik dengan cara diplomasi maupun militer. Diplomasi pertama yang dilakukan antara RI dan Belanda adalah melalui Perjanjian Linggarjati.
Ketua delegasi RI pada perjanjian ini adalah Sutan Sjahrir dan delegasi Belanda adalah Prof. Schermerhorn. Setelah melalui perdebatan yang lama, akhirnya Perjanjian Linggarjati ditandatangani di istana Rijswijk (sekarang Istana Negara) pada tanggal 25 Maret 1947.
-
Kenapa Belanda melancarkan Agresi Militer I? Serangan ini dilakukan dengan dalih bahwa Indonesia merupakan Negara Federal yang masih di bawah kekuasaan Belanda.
-
Kapan pasukan Belanda sampai di Yogyakarta? Walhasil, mereka baru bisa bergabung dengan tentara lainnya pada 21 Desember malam di Yogyakarta.
-
Kapan Agresi Militer Belanda I terjadi? Mengutip dari beberapa sumber, berlangsungnya Agresi Militer Belanda I ini tepat di hari ketiga puasa.
-
Apa yang dilakukan Belanda? Pada praktiknya, tanah milik sultan itu kemudian disewakan kepada Belanda. Sementara itu, pemerintah kolonial memberikan konsesi kepada pemodal untuk mengolah hasil perkebunan tersebut. Mirisnya, rakyat yang ingin menggarap tanah harus memberikan konsesi kepada pemilik Afdeling.
-
Dimana Agresi Militer Belanda I terjadi? Di Sumatera, Belanda ingin menguasai pertambangan dan perkebunan. Sementara di Jawa, Belanda bergerak ke Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat, dengan tujuan menguasai pabrik, pelabuhan, dan perkebunan.
Namun, pada tanggal 20 Juli 1947 Belanda mengingkari Perjanjian Linggarjati yang telah disepakati bersama. Pelanggaran ini dibuktikan dengan adanya serangan militer yang dikenal dengan Agresi Militer Belanda Pertama. Dan pada 19-20 Desember 1948, Belanda kembali melakukan Agresi Militer Kedua atau Operatie Kraai.
Agresi ini diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Berikut kronologi sejarah Agresi Militer Belanda atau Operasi Gagak (Operatie Kraai) yang terjadi pada 19 dan 20 Desember 1948.
Awal Mula Perjalanan Agresi Militer Belanda
Pada awal-awal pembentukannya, negara RI banyak mendirikan laskar rakyat yang bertujuan untuk membantu TNI dalam menanggulangi serangan musuh. Yogyakarta termasuk daerah yang banyak mendirikan laskar-laskar rakyat, yang merupakan gabungan dari semua unsur. Panglimanya adalah Sultan Hamengku Buwono IX dan kepala stafnya adalah Selo Soemardjan.
Untuk kesiap-siagaan laskar tersebut, Jenderal Soedirman pada tanggal 15 Desember 1948 mengumumkan berencana mengadakan latihan umum perang-perangan yang diselenggarakan pada tanggal 19 Desember 1949, mengutip Mohamad Roem dkk dalam buku Tahta Untuk Rakyat, Celah-Celah Kehidupan Sultan HB IX.
Pihak Belanda sendiri masih berambisi untuk menghancurkan RI beserta TNI dengan operasi militer. Syarat utama yang diperlukan bagi berhasilnya operasi itu adalah kecepatan bergerak dan sebanyak mungkin menawan pegawai-pegawai RI agar tulang punggung perlawanan RI dapat dipatahkan. Tujuan itu hanya dapat dicapai dengan penerjunan pasukan di Maguwo atau pendaratan melalui laut.
Kedua cara operasi tersebut mengandung resiko tersendiri. Pimpinan tentara Belanda memperkirakan bahwa AURI memiliki beberapa pesawat yang siap pakai di Maguwo. Pesawat tersebut dengan mudah akan mampu menghantam gerakan pasukan Belanda yang ada di Pacitan. Penerjunan pasukan dari udara juga merupakan hal yang beresiko karena hal tersebut belum pernah dilakukan oleh Belanda.
Setelah mempertimbangkan berbagai hal, akhirnya pimpinan Belanda mengambil keputusan bahwa cara bertindak dengan penerjunan dari udara lebih memungkinkan daripada pendaratan dari laut, mengutip Seskoad dalam buku Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta: Latar Belakang dan Pengaruhnya.
Operasi Militer Belanda di Jawa Tengah
Bersamaan dengan penerjunan pasukan di Maguwo yang selanjutnya menduduki Yogyakarta, operasi di Jawa Tengah juga akan dilakukan lewat jalur darat. Pergerakan pasukan Belanda lewat jalur darat adalah untuk menghancurkan sasaran pokok pusat kekuatan TNI di sekitar Jawa Tengah. Rencana pembagian operasi militer lewat jalur darat adalah sebagai berikut:
- Kolone I di bawah pimpinan Kolonel Van Langen bertugas menduduki Maguwo dengan pasukan payung (Paratrops). Setelah lapangan terbang ini dikuasai akan didaratkan pasukan tempur “M” 29 yang bertugas menduduki Yogyakarta. Pasukan lain dari Kolone I ini bergerak ke Surakarta melalui poros Boyolali dan Kartasura.
- Kolone II di bawah pimpinan Kolo nel De Vries bertugas membersihkan dan menguasai jalan raya Salatiga – Solo dan menguasai kota Solo.
- Kolone III di bawah pimpinan Letnan Kolonel Schilperoord bergerak ke Cepu melalui Kudus, Rembang, dan Blora untuk menguasai kota-kota tersebut.
- Kolone IV di bawah pimpinan Kolonel Van Zanten, bertugas pokok bergerak dari Gombong melalui Kebumen ke Purworejo kemudian melalui Salaman ke Magelang. Kolone ini bekerja sama dengan Kolone I yang bergerak dari Yogya melalui 2 poros ke Magelang.
- Kolone V di bawah pimpinan Letnan Kolonel Bastiaanse dengan tugas melalui poros Banjarnegara – Wonosobo untuk menguasai kota ini.
Pendaratan & Penyerangan oleh Pasukan Belanda di Maguwo
Persiapan untuk merebut lapangan terbang Maguwo dilakukan di lapangan terbang Andir pada tanggal 19 Desember 1948 pukul 02.00. Inspeksi pasukan dilakukan oleh Letnan Jenderal S.H. Spoor dan Engels pukul 04.00 dan pada pukul 04.30 pesawat pertama meninggalkan landasan. Pesawat-pesawat terbang Belanda terbang diatas Kota Yogyakarta sekitar pukul 05.15.
Pada mulanya, tidak ada yang mengira bahwa pesawat tersebut adalah pesawat Belanda. Karena, sesuai dengan instruksi pimpinan Jenderal Sudirman, pada tanggal 19 Desember 1949 akan diadakan latihan perang TNI. Ketika hari masih gelap sekitar pukul 05.45 terdengar letusan bom yang pertama dari sebelah timur kota Yogyakarta tepatnya di Wonocatur dan Maguwo.
Di kota Yogyakarta bagian timur terdengar banyak sekali suara tembakan dan banyak pasukan payung diterjunkan di sekitar Maguwo. Belanda memperhitungkan keadaan TNI dalam kondisi lemah karena baru saja bertempur menghadapi pemberontakan PKI di Madiun. Kekuatan maupun dislokasi TNI tidak lagi tersebar di daerah strategis dan belum siap untuk bertempur melawan Belanda.
Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville. Penyerbuan terhadap semua wilayah Republik di Jawa dan Sumatra, termasuk serangan terhadap Ibu kota RI, Yogyakarta, yang kemudian dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II telah dimulai. Belanda konsisten dengan menamakan agresi militer ini sebagai "Aksi Polisional".
Penyerangan terhadap Ibu kota Republik diawali dengan pengeboman lapangan terbang Maguwo. Pukul 05.45 pagi, lapangan terbang Maguwo dihujani bom dan tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim, yaitu beberapa senapan dan satu senapan anti pesawat 12,7.
Senjata berat pun sedang dalam keadaan rusak. Pertahanan pangkalan hanya diperkuat dengan satu kompi TNI bersenjata lengkap. Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST Belanda di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung kurang lebih 25 menit. Pukul 7.10, bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak Republik tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak penyerang, tak satu pun jatuh korban.
Gerakan Belanda dari Maguwo menuju ke kota sejak pagi dan sampai pada pukul 14.45. Pasukan Belanda kemudian menduduki tempat-tempat yang penting dan strategis guna mengisolir kota Yogyakarta dari pasukan-pasukan TNI. Sementara di dalam kota, sejak terdengar berita bahwa Belanda melakukan Agresi Militer II Presiden Soekarno segera memanggil menteri-menterinya untuk segera mengadakan sidang kabinet.
Sidang Kabinet Merespon Serangan Maguwo
Setelah pendaratan dan penyerangan oleh pasukan Belanda di Maguwo, Presiden Soekarno, Bung Hatta, Sri Sultan HB IX, dan Sutan Sjahrir segera membentuk sidang kabinet yang menghasilkan keputusan sebagai berikut:
- Pemerintah RI (Presiden dan para menteri) tidak akan meninggalkan Yogyakarta dan tetap akan mempertahankan kedudukannya di Yogyakarta untuk mempermudah mengadakan perhubungan dengan pihak KTN.
- Bila Presiden dengan anggota kabinetnya di Yogyakarta sampai tertangkap Belanda, Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara yang berada di Sumatra diserahi tugas untuk membentuk dan memimpin Kabinet Darurat atau kalau perlu suatu Pemerintahan RI di Luar Negeri dengan mandat kepada Mr. Maramis (Menteri Keuangan) yang sedang berada di India.
- Kepada seluruh rakyat RI, Presiden memberi amanat sebagai berikut: Bahwa RI yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 harus dipertahankan mati-matian. Bila kemerdekaan telah meresap pada jiwa seluruh rakyat RI, mustahil dapat ditindas dengan kekerasan.
Pengasingan Para Pemimpin RI oleh Belanda
Belanda akhirnya berhasil menduduki Kota Yogyakarta dan Istana presiden, sekaligus menawan para pemimpin pemerintahan RI yang berada di sana sebagai hasil agresi pada 19 dan 20 Desember. Kolonel Van Langen, Komandan Tijgerbrigade Belanda yang berfungsi sebagai penguasa militer untuk daerah Yogyakarta juga lantas mendatangi Keraton.
Kedatangannya disertai oleh pejabat Belanda bernama Westerhof. Mereka memperlihatkan peta Kota Yogyakarta yang telah diberikan garis merah. Belanda rupanya ingin menjadikan Sri Sultan HB IX sebagai tahanan rumah, begitu juga dengan Paku Alam sebagai wakil dari Sri Sultan HB IX.
Beberapa hari setelah Belanda menduduki Yogyakarta, tepatnya pada 22 Desember 1948, para pemimpin RI mulai diberangkatkan ke tempat pengasingan. Presiden Soekarno, Sutan Sjahrir, dan Haji Agus Salim ke Brastagi.
Sementara Wakil Presiden Moh. Hatta, Mr. Roem, Mr. Ali Sastroamidjojo, dan Mr. Assaat ke Bangka. Para pemimpin RI yang tidak tertangkap meloloskan diri ke luar kota ada pula yang menyamar di dalam kota untuk ikut bergerak di bawah tanah.
Sidang PBB Membahas Agresi Belanda ke Indonesia
Pada tanggal 22 Desember 1949, Dewan Keamanan PBB baru dapat menggelar sidang pembahasan masalah RI–Belanda. Delegasi Belanda berada di bawah pimpinan Dr. J.H. van Roijen, Duta Besar Belanda di Ottawa. Roijen dipandang sebagai salah seorang diplomat Belanda yang paling cerdas.
L.N Palar bertindak sebagai utusan RI karena telah mengikuti semua pembicaraan mengenai RI di Dewan Keamanan PBB. Belanda mendapat celaan dari para anggota Dewan Keamanan PBB kecuali Belgia dan Perancis.
Putaran pertama sidang di Dewan Keamanan PBB terjadi pada tanggal 22 hingga 28 Desember 1949. Van Roijen mendapat kesempatan untuk menerangkan bahwa Agresi Militer dilakukan atas nama Pemerintah Belanda.
Van Roijen menguraikan bahwa politik Belanda mengenai RI ditujukan untuk memulihkan tata tertib dan ketentraman. Setelah aksi militer tersebut, secepat mungkin akan diwujudkan pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) yang merdeka sebagai sekutu yang sederajat dalam Uni Indonesia-Belanda.
L.N Palar kemudian berpidato dengan menuduh Pemerintah Belanda, ia mengatakan aksi militer itu merupakan bagian suatu politik yang bertujuan untuk membinasakan RI. Pada mulanya Belanda mengadakan embargo ekonomi untuk melemahkan RI. Kemudian secara diam-diam tanpa diketahui KTN melakukan perundingan dengan negara-negara bagian untuk membentuk Pemerintahan Federal Sementara tanpa mengikutsertakan RI.
Palar melihat sepak terjang Belanda tersebut sebagai ancaman perdamaian di Asia Tenggara dan dunia. Palar menyerukan agar Dewan Keamanan segera menghentikan permusuhan secepat mungkin dan Belanda segera kembali ke tempat-tempat kedudukannya semula di dekat garis demarkasi.
Kemudian Palar meminta para Pemimpin Pemerintahan yang ditawan segera dibebaskan agar dapat melakukan tugas-tugas mereka. Palar menilai bahwa pembatalan gencatan senjata dan agresi militer yang dilakukan oleh Belanda adalah tidak benar. (mdk/edl)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Masyarakat setempat bersikap wajar dalam bereaksi terkait adanya konvoi itu.
Baca SelengkapnyaKedatangan mereka yang tiba-tiba membuat gempar masyarakat pesisir Tuban
Baca SelengkapnyaTepat hari ini, 21 Juli pada tahun 1947 silam, Belanda melancarkan Agresi Militer I di Indonesia.
Baca SelengkapnyaSerangan Umum 1 Maret 1949 adalah sebuah upaya besar dalam perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda.
Baca SelengkapnyaSetelah melewati pertarungan yang sengit, pada akhirnya Kota Purwokerto berhasil dikuasai Belanda.
Baca SelengkapnyaSerangan yang berlangsung selama 4 hari berturut-turut di Solo ini berhasil menyatukan seluruh elemen masyarakat melawan gempuran pasukan penjajah.
Baca SelengkapnyaAda peristiwa kelam di balik sejarah pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta. Simak selengkapnya.
Baca SelengkapnyaHari ini pada tanggal 4 Agustus pada 1949 silam, Kabinet Hatta II dibentuk.
Baca SelengkapnyaBanyak orang Minahasa yang melakukan perantauan. Hal ini terjadi karena para pemuda Minahasa mulai menyadari bahwa dunia itu luas.
Baca SelengkapnyaProses masuknya Jepang ke Indonesia berawal pada masa Perang Dunia II pada tahun 1942.
Baca SelengkapnyaPerlawanan yang dilakukan kaum PKI terhadap pemerintah Hindia Belanda ini pecah di Minangkabau atau tepatnya di daerah Silungkang dekat tambang Sawahlunto.
Baca Selengkapnya