Desakan Evaluasi Penggunaan Senjata Api Buntut Kasus Bos Rental Mobil Ditembak Anggota TNI
Kasus penembakan dilakukan anggota TNI AL ini menambah daftar panjang pelanggaran hukum dilakukan aparat karena merenggut nyawa warga sipil.
Amnesty International Indonesia mendesak pemerintah mengevaluasi penggunaan senjata api anggota TNI-Polri. Desakan ini disampaikan Amnesty International merespons insiden penembakan warga sipil melibatkan dua anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL).
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan, kasus penembakan dilakukan anggota TNI AL ini menambah daftar panjang pelanggaran hukum dilakukan aparat karena merenggut nyawa warga sipil. Usman menyebut tindakan ini sebagai pembunuhan di luar hukum oleh aparat.
"Perbuatan mereka jelas melanggar hak asasi manusia. Sayangnya perilaku aparat memakai senjata api secara tidak sah terus berulang, seakan tak ada upaya perbaikan dari pimpinan lembaga-lembaga terkait seperti TNI dan Polri. Pembunuhan di luar hukum melanggar hak hidup," kata Usman dalam keterangan tertulis Selasa (7/1).
Amnesty International menginginkan agar lingkaran impunitas tersebut dapat segera dihentikan untuk menghindari jatuhnya korban akibat penyalahgunaan wewenang oleh aparat.
Catatan Amnesty International Penembakan Dilakukan Aparat
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Amnesty International, sepanjang 2024 ada 55 kasus pembunuhan yang terjadi di luar hukum dengan jumlah korban 55 orang. Pelakunya mayoritas berasal dari aparat kepolisian maupun militer dengan rincian, 10 pelaku berasal dari unsur TNI, 29 dari kepolisian, dan 3 berasal dari pasukan gabungan TNI-Polri.
Kemudian, lanjut Usman selang dua hari di awal tahun 2025, pembunuhan di luar hukum kembali terjadi, tepatnya pada 2 Januari. Kali ini melibatkan anggota TNI AL.
"Pelaku harus diadili melalui peradilan umum bukan peradilan militer yang prosesnya cenderung tertutup dan tidak transparan," ucap Usman.
Reformasi Peradilan Militer
Oleh karenanya, Amnesty International juga mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera melakukan reformasi sistem peradilan militer dengan merevisi Undang-Undang (UU) Peradilan Militer Nomor 31 Tahun 1997.
"Revisi ini harus memastikan bahwa pelanggaran hukum pidana umum yang dilakukan oleh personel militer dapat diproses melalui peradilan umum, sesuai amanat Undang-Undang TNI No 34 Tahun 2004. Hanya dengan langkah ini kita dapat memastikan keadilan yang sesungguhnya bagi para korban dan mengakhiri impunitas yang telah berlarut-larut," jelas Usman.
Lebih lanjut, Amnesty International juga mengkritik Institusi Polri maupun TNI terkait penggunaan istilah 'oknum' jika ada anggotanya yang terlibat dalam kasus-kasus pidana atau pelanggaran HAM. Istilah ini dinilai digunakan untuk menghindari tanggung jawab institusi ketika ada anggotanya yang tidak menjalankan SOP dengan baik.
"Institusi memiliki tanggung jawab terhadap segala tindakan yang dilakukan oleh anggotanya di lapangan terlebih jika mereka menggunakan senjata api untuk melakukan tindak pidana pembunuhan atau pelanggaran HAM lainnya," kata dia.
Status Senjata Api Anggota TNI Penembak Bos Rental Mobil
Pangkoarmada RI Laksdya TNI Denih Hendrata memastikan senjata digunakan Sertu AA menembak bos rental mobil, Ilyas Abdurrahman di rest area KM 45 Tol Tangerang-Merak bukan rakitan. Senjata itu inventaris Sertu AA untuk bertugas yang merupakan ajudan atau ACD.
"Senjata itu inventaris yang melekat karena dari A adalah ADC adalah ajudan. Sehingga ketika dia dapat tugas itu sudah SOP senjata melekat. Kemudian tentu bukan senjata rakitan," kata Pangkoarmada RI Laksdya TNI Denih Hendrata saat konferensi pers di Koarmada, Jakarta, Senin (6/1).
Evaluasi Penggunaan Senjata Api
Denih mengatakan, penembakan dilakukan Sertu AA akan dijadikan pihak TNI AL melakukan evaluasi penggunaan senjata api. Akan tetapi Denih menuturkan, senjata digunakan Sertu AA itu melekat dipergunakan untuk pengamanan diri dan atasan.
"Karena kalau terjadi sesuatu terhadap atasannya, maka orang pertama yang melekat itu yang mengamankan," ujar Denih.
Denih menambahkan, Sertu AA diduga melepaskan tembakan untuk melindungi diri dari dugaan pengeroyokan saat kejadian. Menurut dia, dugaan pengeroyokan itulah yang membuat anggota terdesak sehingga mencari benda untuk membela diri.
Karena ada senjata api yang melekat pada Sertu AA yang bertugas sebagai ajudan, Denih menduga, penembakan tersebut tidak bisa dihindarkan.
"Tapi sebetulnya karena pengeroyokan kan tidak berpikir risiko kalau orang yang dikeroyok itu mati. Jadi kembali lagi mungkin karena tentara juga sudah dilatih bagaimana faktor kecepatan, insting, segala macam. Kita sering dengar ada kill or to be killed, nah itu," kata Denih.