DKPP Terima 568 Aduan terkait Pelanggaran Kode Etik Penyelenggaran Pemilu, Paling Banyak di Sumut
Jumlah ini meningkat tajam dibandingkan tahun lalu hanya 300-an kasus.
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menerima 568 aduan dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEEP) selama periode Januari- Oktober 2024. Sumatera Utara berada di peringkat pertama dan Sulsel ada 21 aduan.
Sekretaris DKPP David Yama mengatakan DKPP mempunyai tugas untuk menerima aduan dugaan pelanggaran kode etik dilakukan KPU dan Bawaslu. David menyebut berdasarkan pengaduan yang masuk di hingga Oktober 2024, menunjukkan adanya peningkatan signifikan dibandingkan 2023.
"Terhitung sejak 1 Januari sampai Oktober 2024 ada aduan yang masuk sebanyak 568 aduan. Sedangkan tahun 2023 sebanyak 325 aduan," ujarnya saat Rakor Penyelenggara Pemilu Wilayah I di Hotel Claro Makassar, Jumat (25/10).
David memaparkan delapan besar penyelenggara pemilu mendapatkan aduan. Peringkat pertama yakni Provinsi Sumatera Utara dengan 61 aduan.
"Selanjutnya Jawa Barat dengan 41 aduan, Sumatera Selatan 36 aduan, Jawa Timur 33 aduan, Papua Pegunungan 32 pengaduan, Papua Tengah 28 aduan. Untuk laporan KPU RI dan Bawaslu RI totalnya 22 aduan dan Sulawesi Selatan masuk sebanyak 21 aduan," bebernya.
David mengungkapkan dari total 568 aduan, ada 257 perkara yang sudah teregistrasi dan masih masih bergulir. Sementara 164 aduan telah diputus.
"Data tersebut menunjukkan kesadaran masyarakat yang semakin tinggi akan pentingnya pengawasan proses Pilkada. Pimpinan DKPP nanti akan menyampaikan data-data tersebut dan juga termasuk masalahnya seperti apa sehingga menjadi rujukan bagi kita semua dalam pencegahan," tuturnya.
David mengatakan Rakor Penyelenggara Pemilu Wilayah I digelar dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kepada penyelenggara pemilu agar Pilkada Serentak 2024 berjalan berkualitas dan berintegritas.
"Selain itu kegiatan ini dimaksudkan agar DKPP secara institusi dapat menyediakan ruang bagi penyelenggara pemilu untuk bertukar pikiran guna mewujudkan Pilkada serentak sekali lagi yang beretika dan berintegritas," ucapnya.
Sementara Ketua DKPP, Heddy Lukito mengakui semakin banyak aduan dugaan pelaggaran KEPP selama 10 bulan terakhir. Heddy memperkirakan aduan akan terus bertambah mengingat saat ini tahapan Pilkada Serentak 2024 masih berlangsung.
"Itu pengaduan yang sangat besar untuk lembaga pengaduan etik. Artinya sehari lebih dari satu. Pilkada ini kemungkinan terjadi pelanggaran etik sangat besar dibanding saat pileg dan pilpres lalu," tuturnya.
Heddy mengungkapkan saat Pilkada Serentak, komisioner KPU dan Bawaslu memiliki kedekatan dengan peserta. Heddy menuturkan kedekatan dalam hal geografis maupun dalam hal emosional.
"Calon bupati, gubernur pasti saling mengenal dengan Ketua KPU dan Bawaslu-nya. Dan mereka pasti punya tim sukses saudaranya, kadang-kadang bersaudaraan dengan penyelenggara pemilu. Ini lah yang kadang-kadang mempengaruhi integritas penyelenggaraan pemilu," kata dia.
"Bukan karena integritas penyelenggara pemilu itu rendah, tapi karena pengaruh-pengaruh lingkungan, pengaruh-pengaruh eskalasi politik membuat integritas penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu goyah. Sehingga banyak pengaduan ke DKPP," imbuhnya.
Heddy menegaskan DKPP bukan semata-mata untuk mengadili dan memberi sanksi. Tetapi tugas utama adalah memberikan edukasi ketaatan etik.
"Sehingga tidak terjadi pelanggaran Etik. Tugas (DKPP) utama bukan memecat, bukan memberi sanksi, tapi menjaga marwah lembaga penyelenggaram" tegasnya.
Meski demikian, kata Heddy, DKPP akan memutuskan memberikan sanksi terhadap penyelenggara Pemilu yang melanggar kode etik.
"Sehingga hasil pemilu bisa diyakini Kalau pada akhirnya ada yang terpaksa dihukum, diberhentikan dan segala macam, itu semata-mata untuk menjaga Marwah lembaga itu," tegasnya.
Saat Rakor, Heddy menyinggung pelaksanaan Pileg dan Pilpres 2024 lalu. Ia menyebut penyelenggaraan Pileg dan Pilpres berjalan dengan baik, tapi tidak ideal dari sisi demokrasi.
"Kita semua sadar Pemilu memang berhasil. Tapi apakah Pemilu yang kita selenggarakan kemarin itu memenuhi parameter persyaratan demokrasi yang ideal, menurut saya tidak. Mari kita mengakui dosa bersama-sama agar Pemilu ke depan menjadi lebih baik," kata dia.
Akibat penyelenggara Pemilu 2024 yang tidak ideal, menyebabkan Indeks Demokrasi Indonesia berada di ranking 52. Heddy menyinggung adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) saat tahapan Pemilu sedang berjalan.
"Faktor utamanya ada di regulasi kepemiluan. Jika semuanya sadar KPU dan Bawaslu, banyak regulasi kepemiluan yang muncul saat tahapan Pemilu kita. Itulah yang membuat kualitas pemilu kita menurun. Aturan yang muncul saat-saat tahapan membuat penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu gagap, gugup menerjemahkan regulasi yang muncul mendadak ini," kata dia.
"Dan itu sangat mempengaruhi terhadap integritas kita. yang kedua salah satu ukuran bahwa Pemilu kita berhasil jika," pungkasnya.