Fakta-Fakta Janda Dua Anak Divonis 14 Bulan Penjara usai Siram Air Keras ke Pria Suka Mengintip
Vonis dijatuhkan lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum dengan hukuman 20 bulan penjara.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Lubuklinggau, Sumatera Selatan, menjatuhkan vonis 14 bulan penjara kepada NP (40) karena menyiram air keras kepada pria yang suka mengintipnya, AD (30). NP merupakan ibu dua anak yang telah berpisah dengan suaminya sejak 2021.
Vonis dijatuhkan lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum dengan hukuman 20 bulan penjara. Terdakwa NP batal dikenakan pasal penganiayaan berat dan terbukti hanya melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan berat.
Usai menerima vonis, NP memutuskan tidak mengajukan banding. Ia menerima secara ikhlas hukuman terhadapnya dan berharap orang bisa menilai sendiri mana yang salah dan benar.
Pertimbangan lain, NP telah menjalani enam bulan hukuman di Lapas Lubuklinggau. Kuasa hukumnya juga mengupayakan pembebasan bersyarat (PB) dengan alasan meninggalkan dua anaknya yang masih kecil dan terlantar di kampung.
"Kami menerima putusan itu, tidak ada banding. Kami fokus PB saja, mudah-mudahan segera bebas karena ada jaminan dan rekomendasi jaksa," ungkap kuasa hukum NP, Dian Burlian, Jumat (15/11).
Dian menjelaskan, kejahatan NP muncul akibat kekesalannya kepada AD yang kerap mengganggunya dengan dalih cinta kepadanya. AD yang berstatus bujangan itu tiap malam mengintip NP, baik lagi mandi dan tidur.
"AD sudah diadukan NP ke kades dan diakui dan berjanji tidak akan mengulangi lagi, ternyata masih saja mengganggu dan mengintip," kata Dian.
AD juga berulah mematikan lampu rumah dan mencuri pakaian dalam janda itu. Tak hanya sekali, tapi berlangsung berkali-kali.
Setiap dipergoki, AD langsung kabur dan karena takut disiram air dan dikejar NP.
Namun pada malam nahas itu, tepatnya pada awal 9 Mei 2024 malam, AD justru kembali mengintip meski sudah dikejar NP. Kesal, NP menyiram bujangan itu dengan air pakai gayung. Tapi AD tetap tak bergeming.
Teramat kesal, janda itu mencampur air dengan air keras ke gayung lalu disiramkan ke AD yang sedang mengintip. AD pun melarikan diri karena merasa perih di tubuhnya.
AD harus dilarikan ke rumah sakit. Lukanya cukup parah sehingga penanganan medis cukup lama dan dia diizinkan pulang setelah 14 hari masa perawatan.
"NP tidak ada niat membunuh atau melukai lebih parah, hanya bikin jera saja, karena itu ia campur air keras seperempat gayung dengan air. Tapi namanya air keras tetap berbahaya," kata Dian.
Selama AD dirawat, keluarganya meminta pertanggungjawaban NP dengan ancaman akan melanjutkan kasus ini ke polisi. Saat itu, keluarga AD mendesak diberikan uang damai sebesar Rp60 juta.
Uang sebanyak itu tak dapat dikabulkan NP karena hanya seorang buruh sawit. Kades setempat berupaya memberi jalan keluar tetapi tak membuahkan hasil, keluarga AD ngotot dengan permintaannya.
"Waktu itu ada orang asli desa itu yang tinggal di Palembang dan Jakarta bantu NP Rp20 juta, tapi keluarga AD tidak terima, maunya Rp60 juta," kata Dian.
Lantaran upaya damai gagal, keluarga AD melapor ke polisi dan penetapan tersangka terhadap NP. Sejak itu, NP ditahan sehingga membuat kedua anaknya terlantar karena tak punya keluarga di kampung itu.
Kedua anaknya, berusia 10 dan 7 tahun, sempat tinggal di rumah neneknya atau mantan mertua NP, tetapi tidak betah sehingga luntang lantung di kampung, sampai harus tidur di balai desa. Namun perhatian warga desa setempat kepada mereka cukup baik sehingga mereka bergantian memberi makanan dan tempat tinggal.
"NP ini orang rantauan dan tinggal di sana karena diajak suaminya. Begitu cerai, tidak ada keluarga sama sekali di sana, untungnya kades dan perangkat desa baik sama dia dan anak-anaknya," kata Dian.
Selama proses persidangan, majelis hakim dan jaksa terus mengupayakan perdamaian. Hakim bahkan ingin mengedepankan sisi kemanusiaan ketimbang hukuman pidana terhadap NP.
Perdamaian itu hampir terwujud ketika AD memberikan maaf kepada NP atas kejahatannya. Bahkan AD meminta hakim tidak menghukum NP karena ia terlalu cinta kepadanya.
"Di sidang AD sampai bilang walaupun dia (NP) bikin saya begini (luka), tapi saya tetap cinta sama dia, cinta mati. Kami semua, termasuk hakim, ketawa sekaligus terenyuh dengan ucapan AD itu," kata Dian.
Hanya saja, upaya damai itu gagal karena salah satu keluarga AD memberi syarat diberi uang damai Rp20 juta sebagai pengganti biaya rumah sakit. Namun uang itu tak bisa dikabulkan karena NP tak memiliki uang sama sekali.
"Dermawan yang sempat bantu kemarin siap bantu, tapi Rp10 juta, kalau mau ditransfer sekarang juga, tapi keluarga AD ngotot 20 juta, katanya ganti biaya rumah sakit, padahal gratis pengobatannya," kata Dian.
"Hakim pernah bilang keluarga AD, kalau mau hitung-hitungan untung rugi tidak selesai, tapi pikirkan rasa kemanusiaan," sambung Dian.
Dian menyebut kasus ini sejak awal sudah dipolitisir oleh salah seorang keluarga AD yang pernah menjabat kades setempat. Dia menaruh sentimen negatif dengan kades saat ini dan menjadikan kasus NP untuk melampiaskan dendamnya.
"Dia merasa kades sekarang memihak ke NP, lebih perhatian ke ke dia. Padahal semua orang di kampung itu bersikap sama kepada NP, cuma orang itu saja yang tidak senang sama kades sekarang," kata Dian.
"Yang melaporkan kasus ini ya keluarga AD yang itu, bukan AD, kalo AD ternyata tidak mau lapor-lapor karena dia cinta mati sama NP," sambung Dian.
Terlepas itu, Dian menyebut saat ini hanya fokus dengan pengajuan pembebasan bersyarat terhadap NP. NP harus segera bebas demi kelangsungan hidup dua anaknya yang butuh perhatian darinya.
"Harapan kami secepatnya bebas, apalagi sekarang sudah menjadi perhatian semua orang, pasti ada pertimbangan-pertimbangan hukum untuk NP," kata NP.
Terkait laporan balik, Dian menyebut tidak bakal pernah ada. Meski juga menjadi korban dari ulah AD sebelumnya, NP memutuskan tidak akan mengadukannya ke polisi.
"Kalau mau lapor bisa, bukti-bukti ada, saksi ada. Tapi NP mikir dia aman selama AD dipenjara, keluar dari sana bisa diganggu lagi. Makanya dari kejadian ini bisa membuat AD jera dan tak akan mengulanginya kembali," pungkas Dian.