Kisah Jenderal Soedirman memimpin perang gerilya di atas tandu
Merdeka.com - Minggu pagi, 19 Desember 1948, suasana Yogyakarta di sepanjang jalan protokol masih lengang. Hanya beberapa warga dan penduduk sekitar yang berlalu lalang untuk berdagang menuju Pasar Beringharjo.
Bagi anggota kompi I dan II dari Markas Besar Polisi Tentara (MBPT) yang bertugas mengawal Jenderal Soedirman, hari minggu menjadi hari pelepas penat. Lantaran hari tersebut merupakan pelaksanaan gencatan senjata antara Pasukan RI dan Belanda.
"Saat itu, anggota kompi beristirahat di rumah dan beberapa Jalan Bintaran Timur Nomor 8 yang menjadi tempat tinggal Jenderal Soedirman di Yogyakarta. Sementara itu, Pak Dirman sedang berbaring lemah di tempat tidur ditemani Bu Dirman, serta orang-orang terdekatnya," ujar mantan Ajudan II Panglima Besar Jenderal Soedirman, Mayor (Purn) Pendeta Abu Arifin, saat ditemui Sabtu (5/10).
-
Siapa yang menjadi penasihat pribadi Panglima Soedirman? Pada zaman revolusi fisik, Harsono menjadi penasihat pribadi PangIima Besar Soedirman dan ikut bergerilya bersamanya.
-
Siapa yang menjadi ajudan pribadi Soedirman? Pada tahun 1946, Tjokropranolo ditunjuk menjadi ajudan pribadinya Soedirman di Yogyakarta sekaligus pangkatnya meningkat menjadi Kapten.
-
Bagaimana Soekarno menggambarkan semangat juang bangsa Indonesia? Kemerdekaan hanyalah didapat dan dimiliki oleh bangsa yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad, 'Merdeka, merdeka atau mati'!
-
Kapan dokter Soebandi gugur saat berjuang melawan Belanda? Akhir Hayat Mengutip situs Begandring, dokter tentara sekaligus wakil komandan Divisi Damarwulan ini gugur ditembak tentara Belanda dalam sebuah penyergapan di Desa Karang Kedawung, Jember pada 8 Februari 1949.
-
Siapa pahlawan nasional dari Sumatera Barat yang melawan Belanda? Sosok Ilyas Ya'kub mungkin masih belum begitu familiar di kalangan masyarakat Indonesia. Ia merupakan seorang pahlawan nasional Indonesia dari Sumatera Barat yang punya jasa besar dalam melawan Belanda.
-
Mengapa Soedirman diburu Belanda? Keberadaan Soedirman memang menjadi momok bagi mereka, sehingga dirinya sangat diburu oleh Belanda.
Kondisi Jenderal Soedirman yang lemah, membuatnya harus mendapat perawatan intensif oleh dokter pribadinya Mayor Suwondo. Namun, kedamaian pagi itu di Yogyakarta dikagetkan dengan melintasnya satu pesawat bomber dan pemburu 'cocor merah' milik pasukan Belanda yang menembaki beberapa bangunan secara membabi buta.
"Saat itu ada kabar kalau pasukan TNI sedang melakukan latihan perang-perangan di lapangan udara Maguwo sekitar pukul 06.00, tetapi ternyata malah Belanda menerjunkan pasukannya di Maguwo. Setelah itu pesawat perang Belanda melintas dan menembak membabi buta hingga menyebabkan pabrik peniti, yang dikira markas tentara, di Lempuyangan hancur," tutur Abu.
Kondisi tersebut kemudian dilaporkan komandan Kompi I Kapten Cokropranolo yang melaporkan adanya serangan di Belanda. Usai mendapat laporan tersebut, membuat Soedirman berusaha bangkit. "Padahal saat itu Pak Dirman baru saja selesai operasi yang dilakukan Profesor Asikin di Rumah Sakit Panti Winoto yang berada di dalam keraton," ujarnya.
Keadaan genting itu, membuat Jenderal Soedirman mengambil langkah untuk menentukan keputusan strategis. Abu menuturkan, akhirnya saat itu Jenderal Soedirman mengutus ajudan I Suparjo Rustam untuk melaporkannya ke Istana presiden yang berada kurang lebih 1 kilometer dari rumah Jenderal Soedirman.
"Tetapi jarak yang ditempuh Parjo (Suparjo Rustam) saat itu seolah-olah sangat jauh. Karena dalam perjalanan menuju Istana, Parjo sempat mendapat tembakan berasal dari udara yang dimuntahkan pesawat Belanda," ungkap Abu.
Namun, saat sampai, Suparjo Rustam justru tidak bisa masuk ke dalam Istana. Alasan saat itu, jelas Abu, karena ada beberapa pemberlakuan saat kondisi genting di kalangan tentara.
"Saat keadaan genting, kami diwajibkan menjalankan aturan untuk saling mencurigai satu dengan yang lain untuk menghindari kondisi yang tidak diinginkan," jelasnya.
Tidak mendapat kabar dari Supardjo Rustam, akhirnya Jenderal Soedirman memutuskan untuk menemui Presiden Soekarno di Istana. Padahal, jelas Abu, saat itu Soedirman dilarang untuk bepergian. Saat itu disiapkan dua mobil, yakni satu sedan hitam dan satu mobil bak terbuka yang diisi pasukan.
"Setelah itu, Pak Dirman menaiki mobil sedan hitam bersama supirnya, Dirman, yang namanya memang sama dengan beliau. Kemudian komandan pasukan pengawal Kompi I Kapten Cokropranolo berada di sisi kiri supir dan Pak Dirman bersama Mayor Suwondo di belakang," kata Abu yang saat itu berpangkat letnan dua.
Akhirnya, iring-iringan pengawalan pun memasuki Istana kepresidenan. Namun sayang, Jenderal Soedirman tidak diperkenankan menemui Presiden Soekarno yang saat itu sedang menggelar rapat dengan pejabat menteri di dalam ruang rapat Istana.
"Saat itu, Pak Dirman sempat meminta dipapah keluar bangunan Istana dan berada di taman, menyaksikan pesawat bomber menembak membabi buta. Pak Dirman sempat marah melihat kondisi itu, hingga akhirnya, ia memanggil Noli (panggilan Cokropranolo) kembali menuju Bintaran Timur," jelas Abu.
Saat itu Soedirman meminta Noli untuk kembali ke rumah dinas dan membakar semua dokumen. Selain itu, Noli diminta untuk mengantar istri dan anak-anak Soedirman ke dalam benteng keraton. "Perintah itu kemudian dilakukan Noli dan setelah selesai melakukan tugasnya, Noli kembali dan melapor kepada Pak Dirman. Setelah itu, Pak Dirman memutuskan kembali ke rumah dinas di Jalan Bintaran Timur," ujarnya.
Sesampainya di rumah, Jenderal Soedirman membuat keputusan penting, yakni menyingkir keluar dari kota Yogyakarta bersama pasukan pengawalnya untuk perang gerilya. Keputusan spontan ini membuat kaget beberapa pasukannya. Namun, keputusan tersebut menurut Abu Arifin diterima anggota pasukan yang menjadi pengawal setia Jenderal Soedirman.
"Karena saat itu terdengar kabar, Pasukan Belanda dibagi dua. Kedua pasukan tersebut bertugas menangkap Soekarno dan memerintahkan menangkap Soedirman, baik hidup atau mati," jelas Abu yang mengenakan kacamata.
Sekitar pukul 11.30 WIB pasukan berjalan keluar wilayah Yogyakarta menuju wilayah selatan. Menurutnya, banyak tentara yang tidak membawa bekal perlengkapan. Selain itu, juga banyak dokumen yang dimiliki mereka terbakar untuk menghilangkan jejak. Saat berangkat, jelas Abu, Soedirman menaiki mobil sedan hitam dan mobil compreng.
"Pasukan saat itu menyusuri wilayah selatan Yogyakarta mulai dari Bantul hingga Parangtritis. Saat itu, saya ingat kali pertama istirahat dilakukan di tempat lurah Grogol namanya Pak Hadi. Di rumah Pak Hadi, sambil istirahat, petinggi-petinggi pasukan yang dekat dengan Pak Dirman berkumpul dan membuat rute perjalanan menuju Gunung Wilis di Kediri. Sedangkan Pak Dirman diperiksa denyut nadinya oleh dokter pribadinya, Dokter Suwondo," ujarnya.
Menurut Abu pilihan menuju Gunung Wilis menjadi realistis karena ada perlengkapan komando, yakni pemancar radio. Dari sana, menurut Abu Arifin, semua komando dari Jenderal Soedirman disampaikan melalui pemancar. "Namun itu tidak bertahan lama karena fasilitas pemancar ketahuan Belanda dan akhirnya markas tersebut dibombardir," katanya.
Abu melanjutkan, setelah dari Grogol, pasukan kemudian berjalan menuju Parangtritis. Namun, saat itu dua kendaraan yang digunakan tidak bisa melanjutkan perjalanan karena ada sungai besar yang membelah. "Saat itu, tidak ada jembatan di sungai itu. Saya lupa namanya sungainya apa, tetapi yang jelas semua kendaraan tidak bisa melintasinya. Sejak itu, perjalanan terus dilanjutkan dengan konsekuensi Pak Dirman ditandu," ujarnya.
Perjalanan tersebut, kemudian sampai di Desa Playen yang masih berada di wilayah Yogyakarta. Abu menjelaskan, sesampainya di desa tersebut, Soedirman dipinjami sado milik perkebunan. "Di sana ada sado yang dipinjamkan dari pihak perkebunan dan bisa digunakan untuk Pak Dirman," ujarnya.
Bagi Abu Arifin, sosok Soedirman adalah sosok jenderal pejuang yang sebenarnya. Meski dalam keadaan sakit, Soedirman tetap berjuang demi negaranya hingga titik darah penghabisan. "Mungkin banyak yang bertanya, kenapa Soedirman memilih bergerilya dari pada ditangkap Belanda? Padahal kalau ditangkap Belanda, pasti diperlakukan baik," ujarnya.
Abu menjelaskan, pilihan Soedirman tersebut lebih dikarenakan memegang sumpah jabatan yang diucapkan jenderal besar tersebut saat diangkat menjadi panglima besar kali pertama yang ditulis dalam sumpahnya dan diucapkan dalam lisan. "Dalam salah satu sumpahnya, Jenderal Soedirman menuliskan sanggup bersedia mempertahankan negara Republik Indonesia sampai titik darah yang penghabisan. Sumpah itu kemudian dipegangnya selama menjadi pemimpin pasukan," tutur Abu. (mdk/hhw)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Indonesia pernah memiliki seorang Panglima TNI termuda yang menjabat saat masih berusia 19 tahun, ia adalah Jenderal besar TNI (Anumerta) Raden Soedirman.
Baca SelengkapnyaWalaupun masing-masing punya cara yang berbeda, mereka punya peran besar bagi perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah
Baca SelengkapnyaBenda itu melingkar di pinggang Soeharto. Tak pernah lepas selama peperangan.
Baca SelengkapnyaKeterampilannya menjahit tak bisa dipisahkan dari masa kecilnya
Baca SelengkapnyaTepat hari ini, 20 Oktober pada 1945 silam, terjadi pertempuran besar setelah kemerdekaan Indonesia yang disebut Pertempuran Ambarawa.
Baca SelengkapnyaIa tewas sesaat setelah melakukan serangan kepada tentara penjajah
Baca SelengkapnyaAksi prajurit Kopassus bertempur sampai titik darah penghabisan ini menimbulkan simpati dari kawan dan lawan.
Baca SelengkapnyaNamanya diabadikan jadi nama rumah sakit hingga kampus di Jember.
Baca SelengkapnyaBerikut sosok Komandan Kopassus yang bernyali besar saat Operasi Seroja di Timtim.
Baca SelengkapnyaIstri Sayidiman Suryohadiprojo, Ibu Sri Suharyati Djatioetomo, dengan kisah hidup menginspirasi dan cinta sejati melawan segala tantangan. Simak Detailnya
Baca SelengkapnyaDirinya harus kehilangan tangan kanannya karena luka membuat bagian tubuhnya tersebut membusuk dan harus diamputasi.
Baca SelengkapnyaPanglima Perang dari Riau ini terlibat langsung dalam peperangan melawan Belanda di Sumatera Barat di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol.
Baca Selengkapnya