Korban Penganiayaan Anak Bos Toko Roti Akui Laporan Ditolak 2 Kali oleh Polsek dan Sempat Ditipu Pengacara
Korban penganiayaan George Sugama Halim, anak bos roti dua kali ditolak polisi, ditipu pengacara, dan jual motor demi cari keadilan.
Kasus penganiayaan yang dilakukan oleh anak pemilik toko roti di Jakarta Timur masih menjadi perhatian publik, terutama setelah korban membagikan kisah perjuangannya dalam mencari keadilan. Dwi Ayu Darmawati (DA), seorang karyawati di toko roti Lindayes, mengalami kekerasan ketika menolak perintah pelaku, yang kemudian melemparinya dengan berbagai benda, termasuk kursi dan patung. Akibat dari insiden ini, DA menderita luka serius di bagian kepala.
Walaupun telah melaporkan kejadian ini ke dua polsek yang berbeda, DA harus menghadapi penolakan dengan alasan teknis. Perjuangannya semakin berat ketika ia terpaksa menjual motor satu-satunya untuk membayar pengacara, yang ternyata menipunya dan menghilang tanpa jejak.
Keadaan ini membuat DA semakin terpuruk dalam usahanya untuk mendapatkan keadilan. Perjuangan DA menarik perhatian luas setelah ia hadir dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR RI, di mana ia menceritakan seluruh kejadian yang dialaminya. Informasi ini dirangkum oleh Merdeka.com dari berbagai sumber pada Rabu (18/12).
Kronologi Penganiayaan: Penolakan yang Berujung Amarah
Pada bulan Oktober 2024, DA mengalami penganiayaan yang dilakukan oleh George Sugama Halim (GSH). Pelaku memaksa korban untuk melaksanakan tugas di luar tanggung jawabnya. Ketika DA menolak perintah tersebut, GSH menjadi marah dan melemparkan kursi, patung, serta berbagai benda lainnya ke arah DA, yang mengakibatkan luka di bagian kepala.
Setelah kejadian itu, korban berusaha melaporkan insiden tersebut ke Polsek Rawamangun, namun laporan yang diajukan ditolak dengan alasan bahwa lokasi kejadian berada di luar yurisdiksi polsek tersebut.
DA kemudian diarahkan untuk melapor ke Polsek Cakung, tetapi laporan tersebut juga ditolak dengan alasan yang sama. Akhirnya, DA terpaksa pergi ke Polres Jakarta Timur untuk melaporkan kejadian yang dialaminya.
"Waktu itu dilempar, kena kepala, terus di situ saya sudah berdarah dan megangin kepala. Terus mungkin dia udah melihat darah, lalu kabur. Saya akhirnya bisa keluar toko," ungkap korban dalam sebuah wawancara yang dilansir dari Youtube Merdeka.com.
2 Kali Ditolak Polisi Bikin Laporan
DA mengungkapkan bahwa ia mengalami penolakan saat berusaha membuat laporan di Polsek Rawamangun dan Polsek Cakung. Ia menjelaskan bahwa penolakan tersebut terjadi karena lokasi kejadian.
"Habis kejadian itu langsung lapor ke Polsek Rawamangun, tapi di situ enggak bisa nanganin. Akhirnya dirujuk ke Cakung dan di Cakung juga enggak bisa nanganin juga," ungkap DA pada Rabu (18/12).
Pengakuan DA ini disampaikan saat ia menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada Selasa (17/12). Setelah mendapatkan penolakan di kedua polsek tersebut, Dwi mengatakan bahwa pihak kepolisian kemudian mengarahkan dirinya untuk membuat laporan di Polres Metro Jakarta Timur.
Korban Sempat Didatangi Pengacara, Ternyata Utusan Keluarga
Setelah mengalami penolakan dua kali, DA akhirnya melaporkan kejadian tersebut ke Polres Jakarta Timur dengan dukungan dari keluarga dan teman-temannya. Ia kemudian menjalani pemeriksaan visum untuk memperkuat bukti dalam laporannya.
Tidak lama setelah itu, DA menerima pengacara yang dikirim oleh pihak pelaku, yaitu Linda, pemilik toko roti tempatnya bekerja. Awalnya, DA tidak menyadari bahwa pengacara tersebut berasal dari pihak pelaku, karena pengacara itu mengaku sebagai perwakilan dari LBH dan utusan Polda.
"Terus ada cerita juga yang tentang pengacaranya, saya sempet dikirimin pengacara dari pihak pelaku, tapi saya awalnya enggak tahu kalau itu dari pihak pelaku, dia ngakunya dari LBH utusan dari Polda. Kurang tahu (LBH-nya apa)," jelas DA dikutip dari merdeka.com pada Rabu (18/12).
Pada saat pertemuan di Polres untuk BAP, pengacara tersebut akhirnya mengungkapkan bahwa ia adalah utusan dari pemilik usaha roti. Akibatnya, pihak korban memutuskan untuk mengganti pengacara, namun justru mengalami penipuan.
Jual Motor Demi Pengacara yang Ternyata Penipu
Dalam upayanya untuk mempercepat proses hukum dengan bantuan pengacara baru, DA terpaksa menjual motor satu-satunya agar bisa membayar jasa pengacara tersebut. Ironisnya, pengacara yang disewa ternyata menipu dan menghilang tanpa jejak, meninggalkan DA dalam keadaan yang semakin sulit.
Kejadian ini semakin memperburuk kondisi DA, yang sudah tertekan baik secara finansial maupun emosional, terutama karena kasusnya belum menemukan solusi hukum yang menguntungkan.
"Pengacara ini, kalau saya tanya tentang bagaimana kelanjutan kasusnya, dia selalu bilang, sedang diproses, sedang diproses. Di situ, dia setiap ada info selalu ke rumah dan minta duit. Mama saya sampai jual motor satu-satunya untuk ini," kata DA.
Viralnya Kasus Penganiayaan Anak Bos Roti yang Mengaku Kebal Hukum
Setelah insiden ini menjadi sorotan di media sosial, minat publik terhadap kasus tersebut semakin meningkat. Banyak pengguna internet yang memberikan dukungan kepada korban dan mengkritik lambatnya respons dari pihak kepolisian. Tekanan dari masyarakat akhirnya mendorong aparat hukum untuk mempercepat proses penyelidikan.
Dalam Rapat Dengar Pendapat dengan DPR, DA mengungkapkan bagaimana pelaku sempat mengklaim bahwa dirinya kebal hukum, yang semakin memperkuat pandangan publik mengenai ketidakadilan yang dialami oleh korban.
Pernyataan ini menunjukkan bagaimana kekuasaan sering kali dimanfaatkan untuk menakut-nakuti korban, terutama dalam kasus yang melibatkan individu dengan latar belakang ekonomi yang kuat. Kasus ini menggambarkan betapa pentingnya peran media dan tekanan publik dalam mendorong terwujudnya keadilan, terutama ketika korban dihadapkan pada berbagai hambatan birokrasi yang signifikan.
Pelajaran dari Kasus Ini
Kasus DA mencerminkan adanya kelemahan dalam sistem hukum dan perlindungan bagi korban di Indonesia. Hambatan yang dihadapi oleh korban, mulai dari penolakan laporan hingga manipulasi oleh pengacara, mengingatkan kita akan pentingnya reformasi dalam penanganan kasus kekerasan.
Selain itu, kasus ini juga menegaskan perlunya edukasi dan pemberdayaan bagi korban agar mereka lebih memahami hak-hak mereka dan terhindar dari eksploitasi selama proses hukum. Oleh karena itu, perlindungan hukum yang lebih tegas dan responsif menjadi kebutuhan mendesak untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa mendatang.
Perhatian terhadap korban kekerasan harus menjadi prioritas, tidak hanya dalam konteks sistem hukum, tetapi juga dalam upaya kolektif masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang aman dan adil bagi semua individu.
1. Mengapa laporan korban penganiayaan sering kali ditolak polisi?
Umumnya, laporan yang ditolak disebabkan oleh faktor teknis, seperti lokasi kejadian yang berada di luar yurisdiksi atau tidak adanya bukti awal yang cukup. Meskipun demikian, prosedur ini sering kali menyulitkan korban dalam upaya mereka untuk memperoleh keadilan.
2. Bagaimana cara melindungi diri dari penipuan pengacara?
Pastikan pengacara yang Anda pilih memiliki reputasi yang baik dan latar belakang yang jelas. Memilih pengacara yang terdaftar di organisasi resmi sangat penting untuk menghindari kemungkinan penipuan.
3. Apa yang bisa dilakukan jika laporan ditolak oleh polisi?
Para korban memiliki hak untuk mengajukan laporan kembali ke kantor polisi yang berada dalam yurisdiksi tempat kejadian perkara (TKP). Selain itu, mereka juga dapat meminta bantuan dari lembaga hukum seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk mendampingi proses hukum yang dihadapi.
4. Apa langkah pemerintah untuk melindungi korban kekerasan?
Pemerintah telah menyediakan berbagai layanan, seperti P2TP2A dan LBH, untuk memberikan dukungan kepada korban kekerasan. Meskipun demikian, perlu adanya peningkatan dalam pelaksanaan layanan tersebut agar dapat lebih efektif dalam membantu korban.