MAKI: Reformasi di Kejaksaan Agung Masih Jauh dari Optimal
Merdeka.com - Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) mencatat bahwa penilaian warga terhadap kejaksaan cenderung negatif. Hanya 59 persen warga yang percaya terhadap institusi aparat penegak hukum tersebut.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menyatakan, survei tersebut telah mewakili masyarakat.
"Reformasi di tubuh Kejaksaan Agung masih jauh dari optimal," tutur Boyamin dalam keterangannya, Rabu (25/8).
-
Bagaimana persepsi publik terhadap pemberantasan korupsi di era Jokowi? Survei Indikator menunjukkan bahwa responden menilai kondisi pemberantasan korupsi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) buruk, dengan jumlah persentase sebesar 32,7 persen.
-
Bagaimana Indikator Politik melakukan survei ini? Metode pengambilan data dilakukan melalui wawancara tatap muka kepada 1.200 sampel responden yang dipilih menggunakan multistage random sampling.
-
Bagaimana survei ini dilakukan? Survei dilakukan di seluruh Indonesia melibatkan 1.262 responden secara nasional, dan 4.000 responden di Jawa.
-
Mengapa persepsi publik terhadap pemberantasan korupsi di era Jokowi menurun? Adapun jika melihat trennya, persepsi positif menurun, sebaliknya persepsi negatif meningkat.
-
Di mana survei APJII dilakukan? Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) merilis survei penetrasi internet Indonesia 2024.
-
Bagaimana metode survei Litbang Kompas? Survei dilakukan Litbang Kompas pada 29 November hingga 4 Desember 2023 terhadap 1.364 responden yang dipilih secara acak. Metode penelitian yaitu dengan metode pencuplikan sistematis bertingkat di 38 provinsi di Indonesia. Sementara tingkat kepercayaan 95 persen dan margin of error penelitian +-2,65 persen.
Menurut Boyamin, citra baik yang berusaha dibangun Kejaksaan Agung (Kejagung) selama ini runtuh lantaran penanganan beberapa kasus. Salah satunya adalah perkara suap pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) Djoko Tjandra yang melibatkan Pinangki Sirna Malasari.
"Kejagung jatuh gara-gara Pinangki. Panas setahun dihapus gerimis satu menit, gerimis air mata Pinangki," jelas dia.
Dalam pengadilan tingkat pertama, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memberikan vonis 10 tahun penjara kepada Pinangki, lebih berat dari tuntutan jaksa yang hanya 4 tahun.
Mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan Kejaksaan Agung itu lantas mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Hasilnya, majelis hakim mengabulkan permohonan tersebut dengan memangkas hukuman menjadi 4 tahun penjara.
Boyamin lantas menyebut Pinangki seperti menerima keistimewaan dari Kejagung. Sebab, bahkan setelah putusan banding pun kejaksaan tidak mengajukan kasasi ke MA.
"Saya pun mendesak presiden untuk mencopot Jaksa Agung karena menjadikan kasus Pinangki ini berlarut-larut dan menjadikan menjatuhkan kepercayaan masyarakat," kata Bonyamin.
Lebih lanjut, hasil survei tersebut seharusnya dijadikan bahan evaluasi bagi Kejagung untuk berbenah. Bukan malah ramai mengunggah meme bertuliskan 'Corruptors Fight Back' alias koruptor melawan balik di berbagai media sosial milik kejaksaan seluruh Indonesia.
"Seharusnya Kejagung menjawab survei itu dengan kinerja. Enggak usah membuat meme-meme begitu, malah lucu jadinya. Tugas Kejagung kan bukan buat bikin meme," Boyamin menandaskan.
Sebelumnya, mayoritas publik menilai bahwa vonis terhadap terpidana kasus suap dan pencucian uang yang melibatkan jaksa Pinangki Sirna Malasari tidak adil. Hal itu diungkap dalam temuan survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dilakukan pada 31 Juli sampai 2 Agustus 2021.
Direktur Riset SMRC, Deni Irvani menerangkan, baik vonis Pinangki pada pengadilan tingkat pertama, yakni penjara 10 tahun dan denda Rp 600 juta maupun dalam proses banding publik menganggapnya tidak adil.
"Ada sekitar 41 persen warga yang tahu kasus suap dan pencucian uang yang melibatkan jaksa Pinangki Sirna Malasari. Dari yang tahu, mayoritas, 71 persen menilai bahwa vonis pengadilan tingkat pertama terhadap Pinangki adalah keputusan yang tidak adil," kata Deni dalam keterangannya, Kamis (19/8/2021).
Dari yang menilai tidak adil itu, lanjut Deni hampir semua responden (98,6 persen) beralasan bahwa Jaksa Pinangki seharusnya divonis hukuman yang lebih berat.
Pun vonis kortingan yang didapatkan oleh Pinangki saat proses banding. Saat itu majelis hakim mengurangi hukuman Jaksa Pinangki menjadi 4 tahun penjara.
Menurut Deni terhadap keputusan banding tersebut, hampir semua (92 persen) dari warga yang tahu kasus Pinangki menilai bahwa putusan banding tersebut tidak adil.
"Dan hampir semua (98,3 persen) dari yang menilai tidak adil itu berpendapat bahwa vonis untuk Jaksa Pinangki seharusnya lebih berat, bukan malah dikurangi," ujarnya.
Selain soal aspek kepercayaan, survei SMRC juga mengungkapkan penilaian warga pada aspek persepsi bahwa jaksa bersih dari praktik suap yang cenderung negatif dengan 59 persen warga tidak setuju. Kemudian pengawasan internal berjalan baik membukukan 45 persen ketidaksetujuan warga, dan independensi jaksa yang ternyata tidak disetujui oleh 49 persen warga.
Survei SMRC juga mengungkap ketidakpercayaan warga terhadap proses penyitaan aset dalam kasus Asabri dan Jiwasraya. Ada sekitar 29 persen warga yang tahu tentang kasus Asabri dan mayoritas diantara mereka atau 56 persen tidak yakin proses penyitaan aset dalam kasus tersebut sudah berjalan dengan baik.
Begitu pula dengan kasus Jiwasraya, dari 29 persen warga yang tahu kasus Jiwasraya, mayoritas atau 60 persennya tidak yakin proses penyitaan aset dalam kasus Jiwasraya sudah berjalan dengan baik.
Sementara itu, sikap warga cukup terbelah terhadap pengelolaan aset sitaan dalam survei SMRC ini. Ada sekitar 39 persen warga yang sangat/cukup percaya bahwa pengelolaan aset atau harta sitaan oleh Kejaksaan Agung sudah dilakukan secara transparan dan ada 40 persen yang kurang/tidak percaya. Sisanya, sekitar 20 persen, tidak dapat memberikan penilaian.
Survei ini melibatkan seribu responden yang dipilih secara acak. SMRC mematok margin of error sekitar +/-3,2 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen dengan asumsi simple random sampling.
Reporter: Nanda Perdana Putra/Liputan6.com
(mdk/bal)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Kejaksaan Agung menjadi lembaga penegak hukum yang paling dipercaya publik dengan persentase 69%. Disusul Polri 67%, pengadilan 66%, MK 64%, dan KPK 61%.
Baca SelengkapnyaSurvei Indikator menyebut tingkat kepercayaan publik kepada Mahkamah Konstitusi (MK) mulai kembali pulih yakni sebesar 63,4 perse
Baca SelengkapnyaKepuasan publik pada sektor hukum paling rendah, dibandingkan dengan bidang politik keamanan, kesejahteraan sosial dan ekonomi.
Baca Selengkapnya"Trust terhadap KPK saat ini angkanya cukup mengkhawatirkan," kata Arya.
Baca SelengkapnyaKejagung menjadi lembaga penegak hukum paling dipercaya menurut Survei Indikator Politik Indonesia.
Baca SelengkapnyaTingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga penegakan hukum meningkat dari periode September 2023.
Baca SelengkapnyaSepanjang tahun 2023, Kejaksaan berhasil menjaga tren positif terkait kepercayaan publik.
Baca SelengkapnyaHasil itu terpotret dalam survei dilakukan Lembaga Survei Indonesia.
Baca SelengkapnyaWakil Ketua Komisi III Ahmad Sahroni menilai pencapaian ini sebagai bentuk konsistensi Kejagung yang patut dicontoh lembaga penegak hukum lainnya.
Baca SelengkapnyaKinerja pemerintah di sejumlah sektor juga tidak luput dari penilaian publik.
Baca SelengkapnyaDalam survei dilakukan Populi Center, tingkat kepercayaan publik terhadap MK mencapai 54,8 persen.
Baca SelengkapnyaMenurut Burhanuddin, masyarakat saat ini semakin menutup mata terhadap substansi perkara.
Baca Selengkapnya