Pertimbangan Hakim Vonis Juliari karena Menderita Dihina Masyarakat Dinilai Janggal
Merdeka.com - Pusat Studi Konstitusi (Pusako) menyoroti pertimbangan meringankan hakim dalam menjatuhkan vonis penjara terhadap mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara. Dalam poin yang meringankan, hakim menyebut Juliari sudah cukup mendapatkan sanksi sosial dalam bentuk penghinaan dari masyarakat Indonesia, meskipun pengadilan belum memutuskannya bersalah.
Pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara korupsi Juliari itu dinilai janggal. Terlebih praktik rasuah Bantuan Sosial (Bansos) Covid-19 dilakukan mantan politisi PDIP perjuangan itu tak sebanding dengan para korban.
"Saya pikir sangat janggal kalau hal tersebut dipertimbangkan jadi hal yang meringankan," kata Direktur Pusako Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari saat dihubungi merdeka.com, Selasa (24/8).
-
Apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam kasus korupsi? Lebih lanjut, menurut Sahroni, hal tersebut penting karena nantinya akan menjadi pertimbangan pengadilan yang berdampak pada masa hukuman para pelaku korupsi.
-
Apa kerugian negara akibat korupsi Bansos Jokowi? 'Kerugian sementara Rp125 milyar,' pungkasnya.
-
Bagaimana modus korupsi Bansos Jokowi? 'Modusnya sama sebenernya dengan OTT (Juliari Batubara) itu. (Dikurangi) kualitasnya,' ucap Tessa.
-
Siapa yang ditetapkan tersangka dalam korupsi Bansos Jokowi? Pada kasus ini, satu orang telah ditetapkan menjadi tersangka yakni Direktur Utama Mitra Energi Persada sekaligus Tim Penasihat PT Primalayan Teknologi Persada tahun 2020, Ivo Wongkaren, alias IW.
-
Bagaimana modus korupsi Banpres? Modusnya sama sebenarnya dengan OTT (Juliari Batubara) itu. (Dikurangi) kualitasnya,' ucap Tessa.
-
Siapa yang dituduh melakukan korupsi? 'Permintaan kebutuhan operasional Syahrul Yasin Limpo dan keluarganya yang juga didukung dengan petunjuk berupa barang bukti elektronik, chat WA antara terdakwa Syahrul Yasin Limpo dan Imam Mujahidin Fahmid, serta adanya barang bukti antara lain dokumen catatan staf Kementan RI dan bukti kwitansi serta transfer uang pembayaran kebutuhan menteri dan keluarganya.
Feri membandingkan dengan kasus-kasus pencurian lainnya yang turut pelaku juga mendapatkan cacian dari masyarakat. Namun tidak pernah masuk dalam pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman.
"Pencuri sendal saja di masjid dicaci maki juga orang sekampung tapi tidak pernah mendapat keringanan hukuman. Kenapa koruptor dapat ke istimewaan itu," ujar dia.
Dia juga menyoroti dasar hukum digunakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut dia, Pasal 2 dan 3 Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi lebih tepat digunakan jaksa dalam menjerat Juliari ketimbang pasal Pasal 12 huruf b.
Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diketahui mengatur korupsi di atas Rp100 miliar dapat dipidana seumur hidup. Sementara jaksa sebelumnya menuntut Juliari 11 tahun penjara dikurangi masa tahanan dan ganti rugi Rp14,5 miliar Pasal 12 huruf b Jo Pasal 18 atau Pasal 11 Jo Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP Jo Pasal 64 ayat 1 ke 1 KUHP.
"Di mana ada unsur keadaan tertentu yaitu kalau korupsi pada saat keadaan tertentu yang menurut penjelasan UU adalah ketika negara dalam keadaan bahaya, atau dalam keadaan bencana. Jika terjadi tindak pidana korupsi maka hukumannya adalah hukuman mati dan paling ringan seumur hidup," kata Feri.
Sehingga dia menilai jaksa tak tepat menjerat Juliari Pasal 12 huruf b Jo Pasal 18 atau Pasal 11 Jo Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP Jo Pasal 64 ayat 1 ke 1 KUHP. Menurut dia, keputusan hakim menjatuhkan vonis lebih berat dari tuntutan jaksa merupakan diskon dari pengadilan bagi Juliari yang melakukan korupsi pada saat pandemi Covid-19.
"Jadi bagi saya apalah diskon yang cukup besar bagi pelaku korupsi di tengah bencana dari pengadilan," kata dia.
Kritik terkait vonis Juliari juga dilayangkan peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola. Dia menilai hukuman 12 tahun tak sebanding dengan perbuatan dilakukan Juliari.
"Kami menilai vonis yang dijatuhkan sangat rendah dan tak memikirkan rasa keadilan publik," kata dia.
Terlebih, lanjut Alvin, Juliari yang kala itu menjabat sebagai Menteri Sosial sudah seharusnya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup sesuai pasal dalam dakwaan pertama.
"Terdakwa seharusnya pantas dihukum pidana penjara seumur hidup, menimbang jabatannya sebagai pejabat publik dan tindakan yang dilakukan saat masa bencana," tegasnya.
Cacian Kepada Juliari Jadi Pertimbangan Hakim
Sebelumnya, Majelis hakim telah menjatuhkan vonis 12 tahun penjara kepada Juliari Batubara, terdakwa kasus korupsi bansos Covid-19. Putusan tersebut berdasarkan pertimbangan kondisi yang meringankan dan memberatkan atas pelanggaran pidana mantan Menteri Sosial (Mensos) tersebut.
Dalam poin yang meringankan, hakim menyebut Juliari sudah cukup mendapatkan sanksi sosial dalam bentuk penghinaan dari masyarakat Indonesia, meskipun pengadilan belum memutuskan bahwa dirinya bersalah.
"Keadaan meringankan, terdakwa sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat. Terdakwa telah divonis bersalah oleh masyarakat, padahal secara hukum terdakwa belum tentu bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap," tutur hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Senin (23/8).
Selain itu, hakim melanjutkan, Juliari selama persidangan yang berjalan empat bulan ini selalu hadir dan tertib. Dia dinilai kooperatif tanpa bertingkah dengan membuat berbagai alasan yang menghambat jalannya persidangan.
"Padahal, selain sidang untuk dirinya sendiri selaku terdakwa, terdakwa juga harus hadir sebagai saksi dalam perkara Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso," jelas hakim.
Adapun hal yang memberatkan adalah tindak pidana korupsi Juliari dilakukan dalam kondisi bencana darurat non alam yakni pandemi Covid-19. Sementara mantan kader PDIP itu malah terus menyangkal segala perbuatannya.
"Perbuatan terdakwa dapat dikualifikasi tidak kesatria. Ibaratnya lempar batu sembunyi tangan. Berani berbuat tidak berani bertanggung jawab. Bahkan menyangkali perbuatannya," katanya.
Putusan tersebut, dijatuhkan karena Juliari dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi. Perbuatannya itu melanggar Pasal 12 huruf b Jo Pasal 18 atau Pasal 11 Jo Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP Jo Pasal 64 ayat 1 ke 1 KUHP.
(mdk/gil)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Kaesang Pangarep yang menyebut bansos dikorupsi di masa pandemi lebih bermasalah ketimbang bansos dipolitisasi di masa Pemilu.
Baca SelengkapnyaKPK mengungkap korupsi dalam pengadaan bantuan Presiden untuk warga terdampak pandemi.
Baca SelengkapnyaModus yang dilakukan tersangka korupsi bansos Presiden hampir serupa seperti pada saat kasus korupsi eks Menteri Sosial Juliari Batubara.
Baca SelengkapnyaMeski donasi seharusnya digunakan untuk membantu yang membutuhkan, sejumlah kasus justru memperlihatkan dana tersebut diselewengkan.
Baca SelengkapnyaDiketahui, untuk anggarannya berasal dari APBN tahun 2020 mencapai Rp753 miliar
Baca SelengkapnyaDalam perkara ini, KPK telah menetapkan Direktur Utama Mitra Energi Persada sekaligus Tim Penasihat PT Primalayan Teknologi Persada tahun 2020 Ivo Wongkaren.
Baca SelengkapnyaKeluarga Dini tetap kecewa lantaran vonis dijatuhkan melalui upaya kasasi terhadap Ronald Tannur oleh Mahkamah Agung (MA) hanya 5 tahun penjara.
Baca SelengkapnyaKasus korupsi bantuan Presiden bermula dari OTT kasus suap bantuan Covid-19 yang menjerat mantan Menteri Sosial Juliari Batubara
Baca SelengkapnyaJaksa Urip divonis 20 tahun penjara pada 2008 dan bebas pada tahun 2017
Baca SelengkapnyaSebelumnya, Angin Prayitno Aji divonis pidana 7 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider empat bulan kurungan.
Baca SelengkapnyaAlwi divonis 10 tahun pernjara karena terbukti korupsi APD sebesar Rp24 miliar.
Baca SelengkapnyaSebelumnya, kerugian negara akibat korupsi banpres senilai Rp125 miliar.
Baca Selengkapnya