Pro Kontra Usulan Polri di Bawah Kemendagri
Usulan itu dilontarkan PDI Perjuangan karena melihat banyak masalah di internal Korps Bhayangkara. Terutama dugaan cawe-cawe di Pemilu hingga Pilkada 2024.
Wacana pengembalian Polri di bawah TNI atau Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kembali mengemuka. Usulan itu dilontarkan Ketua DPP PDI Perjuangan Deddy Yevri Sitorus. Alasannya karena PDI Perjuangan melihat banyak masalah di internal Korps Bhayangkara. Terutama dugaan cawe-cawe Polri pada Pemilu hingga Pilkada 2024.
"Perlu diketahui bahwa kami (PDIP) sedang mendalami kemungkinan untuk mendorong kembali agar Kepolisian Negara Republik Indonesia kembali di bawah kendali Panglima TNI. Atau agar Kepolisian Republik Indonesia dikembalikan ke bawah Kementerian Dalam Negeri," ujar Deddy dalam konferensi pers terkait pelaksanaan dan temuan Pilkada Serentak 2024 di Kantor DPP PDIP, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (28/11) lalu.
Usulan PDI Perjuangan tersebut menuai pro dan kontra. Lembaga SETARA Institute menyatakan bahwa Polri di bawah langsung Presiden merupakan perintah konstitusi dan ketika ada aspirasi mengubah posisi Polri di bawah TNI atau Kemendagri adalah gagasan yang keliru.
"Usulan agar Polri berada di bawah Kementerian Dalam Negeri juga bertentangan dengan semangat Pasal 30 ayat (2) dan (4) UUD Negara RI Tahun 1945," kata Ketua Dewan Nasional SETARA Institute Hendardi dalam keterangan di Jakarta, Minggu (1/12).
Menurut dia, ketentuan ini mengatur bahwa usaha keamanan rakyat dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan utama, sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Hendardi menjelaskan bahwa hakikat Polri sebagai alat negara kemudian ditafsirkan dalam UU Polri yakni menjadi berkedudukan di bawah Presiden.
"Dengan demikian, tanggung jawab pelaksanaan keamanan dan ketertiban nasional dilakukan kepada Presiden," tutur Hendardi.
Hendardi mengingatkan pemisahan TNI dan Polri sebagaimana TAP MPR Nomor VI/MPR/2000 adalah amanat reformasi yang harus dijaga.
Saat itu, Presiden ke-5 RI sekaligus Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri memisahkan TNI dan Polri agar Polri sebagai lembaga sipil yang dipersenjatai, bisa mandiri dalam melayani masyarakat.
Muncul Penumpang Gelap
Menurut Hendardi, gagasan pengembalian posisi Polri sebagaimana pada masa lalu dapat mengundang banyak penumpang gelap yang berpotensi merusak tata kelembagaan negara di bidang keamanan, ketertiban, dan penegakan hukum.
Dalam riset Desain Transformasi Polri, SETARA Institute (2024), telah menangkap aspirasi terkait dengan perubahan posisi kelembagaan Polri dan merekomendasikan transformasi kinerja Polri, bukan mengubah posisi kelembagaan Polri.
"Menjaga independensi Polri adalah perintah konstitusi," kata Hendardi.
SETARA Institute mendorong transformasi Polri dengan salah satunya memperkuat tugas dan peran Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sebagai instrumen pengawasan permanen atas tugas-tugas Polri dalam menjalankan fungsi perlindungan dan pengayoman, menjaga keamanan dan ketertiban, serta menjalankan fungsi penegakan hukum.
Secara paralel, perbaikan hukum pemilu dan pilkada, menurut dia, harus terus-menerus dilakukan, baik oleh otoritas legislasi maupun melalui Mahkamah Konstitusi yang menetapkan ketidaknetralan ASN dan TNI/Polri sebagai tindak pidana, sehingga kualitas demokrasi terus meningkat.
Hal senada dikatakan Wakil Sekretaris Jenderal PBNU, Rahmat Hidayat Pulungan. Rahmat tidak setuju dengan usulan Polri berada di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan TNI. Karena ada sejumlah hal yang tidak sesuai dengan tugas Polri.
Rahmat menjelaskan, penempatan Polri di bawah TNI tidak bisa karena perbedaan bidang. TNI di bidang pertahanan, dengan doktrin sistem pertahanan semesta. Sedangkan Polri di bidang Kamtibmas, dengan doktrin perlindungan, pelayanan dan pengayoman masyarakat.
Kondisi serupa juga terjadi bila Polri berada di bawah Kemendagri. Rahmat menilai, Polri sebagai penyelenggara pemerintahan di bidang keamanan, akan ada kesulitan dalam penyesuaian dengan ASN lainnya.
Polri di Bawah Kemendagri Kemunduran
Sementara itu, anggota Komisi III DPR RI Aboe Bakar Al-Habsyi menolak wacana mengembalikan Polri di bawah kendali Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Dia menyebut bahwa gagasan tersebut merupakan kemunduran besar dalam reformasi Polri.
Aboe mengatakan bahwa Polri dipisah dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada tahun 2000 dan dari Kemendagri pada tahun 1946 dengan tujuan untuk menjadikan institusi penegak hukum tersebut menjadi lembaga yang mandiri dan profesional.
Menurut dia, apabila memang terdapat oknum Polri yang tidak menjaga netralitas dengan terlibat dalam pilkada, seharusnya yang dilakukan adalah evaluasi dan pembenahan.
Solusi yang seharusnya diambil, menurut dia, bukanlah dengan menempatkan Polri di bawah kementerian, melainkan adalah memperkuat akuntabilitas, pengawasan, dan kapasitas internal Polri.
"Jika ada oknum yang berpolitik, memosisikan Polri di bawah Kemendagri bukanlah solusi. Wacana ini berisiko menempatkan Polri dalam potensi intervensi politik yang lebih besar," ucap Aboe.
Sedangkan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) Dr Edi Hasibuan mengatakan gagasan menempatkan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) atau TNI merupakan langkah mundur.
"Saran kami, kedudukan Polri tetap lebih bagus berada di bawah presiden," kata Edi dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (1/12).
Berdasarkan kajian akademik, kata dia, Polri tetap lebih ideal jika berada di bawah presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.
Dosen pascasarjana Universitas Bhayangkara Jakarta ini mengatakan, di bawah kementerian manapun tidak akan menjamin Polri semakin baik bahkan dikhawatirkan semakin mundur.
Selain itu, kata dia, institusi Kepolisian yang berada di bawah kementerian lain juga semakin rawan intervensi pada penegakan hukum.
Polri di bawah presiden saja, intervensi bertubi-tubi datang dari segala penjuru, termasuk partai politik. "Apalagi di bawah kementerian," kata dia.
Menurut dia, semestinya yang dibahas bukan Polri di bawah kementerian, tapi memberikan gagasan agar profesionalisme dan pengawasan Polri bisa ditingkatkan.
"Polri jangan diseret-seret ke ranah politik. Polri di bawah presiden memang itulah ciri khas Kepolisian Indonesia," ujar Edi.
Edi Hasibuan melihat dengan di bawah presiden seperti saat ini, Polri diakui sebagai salah Kepolisian terbaik di dunia, berdasarkan laporan bertajuk "Global Law and Order 2022" yang diterbitkan lembaga jajak pendapat dunia, Gallup, pada 27 Oktober 2022.
Gallup mewawancarai hampir 127.000 orang di lebih dari 120 negara pada 2021. "Menurut Gallup, Polri berada pada urutan kelima terbaik di dunia, setelah Singapura, Tajikistan, Norwegia dan Swiss," kata Edi.