Jangan Sembarangan Diagnosis Penyakit Menggunakan ChatGPT atau AI, Ketahui Bahaya yang Mungkin Ditimbulkan
Kemenkes RI mengimbau masyarakat untuk bersikap kritis dan bijak dalam menggunakan teknologi AI terutama untuk diagnosis penyakit.
Masyarakat saat ini memiliki akses untuk mengajukan berbagai pertanyaan melalui Artificial Intelligence (AI), termasuk Chat GPT dan chatbot AI. Mereka dapat menanyakan berbagai hal, termasuk gejala penyakit dan isu kesehatan lainnya kepada AI. Menyikapi hal ini, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) mengimbau agar masyarakat menggunakan AI dengan bijak. Saat mengajukan pertanyaan mengenai penyakit tertentu, perlu diingat bahwa jawaban yang diberikan oleh AI berpotensi menyesatkan.
Setiaji, Chief of Technology Transformation Office (TTO) Kemenkes RI, menjelaskan bahwa teknologi AI beroperasi dengan menggunakan algoritma yang menggeneralisasi data untuk menghasilkan jawaban yang paling mungkin. Dalam dunia medis, gejala yang sama dapat muncul dari berbagai jenis penyakit. "Teknologi AI mungkin menunjukkan beberapa kemungkinan tanpa dapat menentukan mana yang paling relevan untuk pasien, karena tidak dilakukan analisis klinis yang lebih mendalam. Misalnya, batuk dan demam bisa merupakan indikasi flu biasa, COVID-19, atau kondisi serius lainnya seperti pneumonia," ungkap Setiaji.
-
Kenapa kita tidak boleh meminta saran kesehatan dari chatbot AI? Jadi, jangan pernah meminta saran Kesehatan dari chatbot AI atau membagikan detail Kesehatan seperti Nomor Asuransi dan lain-lainnya.
-
Apa bahaya ChatGPT untuk berita? Menurutnya, kecerdasan buatan dapat berakibat pada pemberitaan yang berujung disinformasi, apabila data yang diberikan salah dan tidak disiapkan dengan baik.
-
Bagaimana Google AI mendeteksi penyakit? Teknologi ini dilatih dengan data 300 juta rekaman suara seperti batuk, bersin, dan napas berat untuk mendeteksi penyakit seperti tuberkulosis.
-
Kenapa self diagnose bisa berujung bahaya? Singkatnya, banyak orang saat ini melakukan self diagnose terhadap kondisi mental mereka sendiri. Hasilnya, ketika seseorang sedang sedih, dia menganggap bahwa sedang mengalami depresi.
-
Apa risiko self diagnose? Meskipun mencari pemahaman tentang kesehatan mental dan memperoleh pengetahuan tentang gangguan tertentu dapat menjadi langkah yang baik untuk meningkatkan kesadaran diri, self-diagnose pada kondisi mental memiliki beberapa risiko dan keterbatasan.
-
Kenapa informasi yang salah berbahaya? 'Sering kali orang terdekat justru memberikan informasi yang tidak terbukti kebenarannya sehingga menghalangi para pejuang kanker payudara mendapatkan pengobatan lanjutan,' jelasnya.
AI memberikan jawaban tanpa melakukan pemeriksaan fisik atau tes laboratorium, sehingga diagnosis yang dihasilkan oleh AI mungkin tidak akurat. "Tanpa pemeriksaan fisik, tes laboratorium, dan analisis kontekstual lebih lanjut oleh dokter, diagnosis yang dihasilkan AI tersebut bisa saja menyesatkan," tegas Setiaji dalam pernyataannya yang dipublikasikan di laman Kemenkes RI pada Kamis, 2 Januari 2024.
Segera Konsultasi ke Dokter saat Sakit
Setiaji menyatakan bahwa jawaban yang diberikan oleh AI sering kali tampak meyakinkan. Namun, AI tidak dapat mempertimbangkan berbagai faktor kompleks yang memengaruhi kesehatan seseorang. "Masyarakat juga harus waspada dan kritis terhadap kesalahan atau ketidakcocokan informasi yang disajikan oleh AI. Tidak semua jawaban yang dihasilkan oleh chatbot berbasis AI akurat atau relevan untuk setiap situasi klinis," ungkap Setiaji.
Oleh karena itu, ia menekankan bahwa penggunaan AI dalam konteks kesehatan sebaiknya hanya dijadikan sebagai sumber informasi awal. Jika mengalami masalah kesehatan, penting untuk berkonsultasi dengan tenaga medis profesional guna mendapatkan diagnosis dan pengobatan yang tepat.
"Ini menekankan pentingnya untuk tidak terlalu bergantung pada jawaban yang diberikan oleh AI tanpa melakukan verifikasi lebih lanjut," tambahnya. Di sisi lain, tenaga medis profesional saat memberikan diagnosis penyakit dan pengobatan akan mempertimbangkan risiko serta manfaat secara cermat, berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan yang menyeluruh. Dengan demikian, peran tenaga medis tetap sangat penting dalam menjaga kesehatan dan mendeteksi masalah secara akurat, mengingat kompleksitas yang ada dalam setiap kasus kesehatan individu.
Widyawati, Juru Bicara Kemenkes, menyatakan bahwa pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk mendapatkan informasi kesehatan sebaiknya dipandang sebagai alat tambahan. "Chat GPT dan chatbot AI sejauh ini bisa dianggap sebagai pelengkap, tetapi belum dapat menggantikan peran tenaga kesehatan secara mutlak. AI hanya melihat apa yang kita inginkan saat itu, sesuai dengan pertanyaan yang diajukan," tambahnya. Oleh karena itu, masyarakat disarankan untuk tetap berkonsultasi dengan tenaga medis jika merasakan gejala penyakit.
Widyawati menegaskan bahwa teknologi AI tidak dapat memahami secara langsung kondisi yang dialami oleh individu yang bertanya. "Teknologi tersebut tidak mengetahui secara langsung situasi yang dialami penanya. Jadi, hanya memberikan jawaban secara umum. Sebaiknya, tetap berkonsultasi dengan dokter atau datang ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat." Dengan demikian, meskipun teknologi ini dapat membantu, peran tenaga kesehatan tetap sangat penting untuk diagnosis dan penanganan yang tepat.