Ratusan Alumni Universitas Bandung Belum Terima Ijazah
Di Fakultas Kesehatan Teknik kini hanya tersisa sekitar 300 mahasiswa
Sejumlah alumni angkatan 2021 dari Fakultas Kesehatan dan Teknik di Universitas Bandung dilaporkan belum mendapatkan ijazah mereka. Hal ini menyebabkan mereka mengalami kesulitan dalam melamar pekerjaan, dan memperburuk situasi krisis yang melanda kampus swasta di bawah naungan Yayasan Bina Administrasi (YBA).
Salah satu alumni Program Studi Rekam Medis dan Informasi Kesehatan (RMIK) menyampaikan keluhannya, "Kami dari alumni, bertanya tentang ijazah. Kapan ijazah yang legal itu bisa dikeluarkan? Sudah 1 bulan lebih semenjak wisuda, ijazah itu belum kami terima. Secepatnya kami menginginkan ijazah di tangan kami, karena harus ada, kami itu butuh untuk melamar kerja."
Dia hadir dalam audiensi di Kampus 2 Universitas Bandung, Jalan Muararajeun, Kota Bandung pada Senin (6/1).
Alumni tersebut mengaku menjadi salah satu dari 191 lulusan yang diwisuda pada 25 November 2024. Riki Hardiansyah, perwakilan pegawai, juga mengonfirmasi adanya keterlambatan dalam penerbitan ijazah, meskipun ia menyebutkan jumlah yang berbeda, yaitu sekitar 161 lulusan.
Selain ijazah, alumni juga memerlukan Surat Tanda Registrasi (STR), yang merupakan dokumen penting bagi tenaga kesehatan yang telah mendapatkan sertifikat kompetensi.
Diketahui bahwa untuk lulus dari program RMIK, mahasiswa harus mengikuti Uji Kompetensi Nasional (Ukomnas), bukan hanya menyelesaikan tugas akhir.
Puspa (21) juga mengungkapkan situasi serupa yang dialami oleh kakaknya yang baru lulus tahun lalu.
"Kakak saya juga alumni di sini, ijazahnya juga belum dapet," ujarnya.
Kakaknya yang memiliki jurusan sama kini bekerja sebagai pengemudi ojek online dan belum bisa melamar pekerjaan lain karena masih menunggu ijazah.
"Kebanyakan tempat kerja yang coba dilamar, katanya, mensyaratkan penyertaan ijazah," tambahnya.
Puspa juga menjelaskan, "Kakak dan saya beda satu tahun. Sidangnya harus dua kali, karena pas pertama pengujinya tidak hadir karena (penguji) sudah tidak dibayar. Alhamdulillah, sekarang sudah lulus tapi ijazahnya belum dapat."
Ketua Prodi D3 RMIK, Meira Hidayati, mengakui bahwa keterlambatan penerbitan ijazah disebabkan oleh belum diperpanjangnya akreditasi prodi tersebut. Ia menegaskan bahwa bukan karena enggan mengurus, melainkan masalah biaya.
Meira menyatakan bahwa ia telah mengajukan perpanjangan akreditasi kepada pihak YBA sebelum batas pendaftaran pada 31 Desember 2024, tetapi hingga saat ini, anggaran belum juga turun.
"Jadi, daftarnya menggunakan apa? (Biaya akreditasi) satu prodi itu 75 juta, belum masuk operasional dan lain-lain," jelasnya di hadapan alumni, mahasiswa, dan orang tua mahasiswa. "Saya hanya petugas pelaksana," tegasnya.
Narasumber lain di tingkat fakultas yang meminta identitasnya dirahasiakan mengatakan bahwa ada empat prodi yang akreditasinya telah habis. Ia mengkonfirmasi bahwa alur anggaran memang terpusat di yayasan.
"Uang itu masuk ke yayasan. Fakultas itu dari sisi administrasinya saja, catatannya. Alurnya kami mengajukan kebutuhan ke rektorat, dari rektorat terus ke yayasan, baru nanti anggarannya turun," ujarnya saat diwawancarai.
Seorang mahasiswa bertanya, "Kami inginnya akhir Januari ini bisa menerima ijazah. Tapi berarti kesimpulannya, ijazah belum tentu dikeluarkan akhir Januari ini?" Meira menjawab, "Kami tidak bisa janji, karena kembali lagi ke masalah uang."
Tidak Bisa Ukomnas
Masalah akreditasi tidak hanya menghambat proses penerbitan ijazah bagi para alumni, tetapi juga memberikan dampak serius bagi mahasiswa yang sedang berada di tingkat akhir. Mereka berisiko tidak dapat mengikuti Ukomnas, yang merupakan syarat untuk kelulusan.
"Kondisi ini bagi mahasiswa semester 5 antara hidup dan mati, kenapa? karena kalau akreditasi tidak diperpanjang, kalian tidak bisa mengikuti Ukomnas. Sedangkan Ukomnas adalah syarat kelulusan," ungkap Meira sambil berusaha menahan tangisnya.
Merujuk pada Data Pelaporan Tahunan Semester Ganjil 2024 yang tercatat di Pangkalan Data Dikti, yang diakses oleh Liputan6.com pada 6 Januari 2025, pukul 22.51, mayoritas mahasiswa di Fakultas Kesehatan dan Teknik berasal dari Program Studi Perekam dan Informasi Kesehatan, dengan jumlah mencapai 212 orang.
Selanjutnya, terdapat Program Studi Manajemen Informasi Kesehatan yang memiliki 102 mahasiswa. Sementara itu, berdasarkan informasi dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), yang dirujuk oleh Liputan6.com pada Senin, 6 Januari 2025, pukul 22.56, akreditasi untuk dua program studi yang menampung ratusan mahasiswa tersebut belum terkonfirmasi aktif.
Puspa, seorang mahasiswa semester 5 berusia 21 tahun, menghadapi situasi sulit. Kakaknya adalah alumni yang belum memperoleh ijazah, sementara Puspa berisiko tidak dapat mengikuti Ukomnas. Ia menjadi salah satu dari ratusan mahasiswa Universitas Bandung yang merasa cemas. Meskipun ingin tetap bertahan di kampus yang sama, masa depan studi di sana terasa tidak pasti.
Beberapa temannya sudah memilih untuk pindah ke kampus lain. Namun, bagi Puspa, berpindah kampus bukanlah pilihan yang mudah, mengingat biaya di institusi lain yang ternyata lebih tinggi. Banyak pihak yang dirugikan akibat kekacauan yang terjadi di Universitas Bandung, ujarnya.
Janji Yayasan
Ketua Yayasan Bina Administrasi, Uce Karna Suganda, memberikan tanggapan terkait isu akreditasi. Ia menyadari bahwa akreditasi beberapa program studi telah berakhir dan berkomitmen untuk melakukan pembayaran.
"Kita sedang siapkan untuk baru lagi," ungkapnya saat dihubungi pada akhir Desember 2024.
Saat ini, berbagai masalah muncul, seperti gaji pegawai yang belum dibayarkan selama lebih dari enam bulan, yang berdampak negatif pada proses perkuliahan, serta ijazah ratusan lulusan yang tertahan akibat akreditasi yang sudah habis.
Selain itu, satu fakultas terpaksa ditutup setelah rektor berinisial BR ditangkap karena dugaan korupsi dana Program Indonesia Pintar (PIP).
Uce mengakui bahwa Universitas Bandung sedang menghadapi krisis keuangan. Setelah penutupan Fakultas Administrasi Bisnis, yayasan kehilangan sumber pendapatan. Tiga program studi yang ditutup adalah Prodi Administrasi Publik, Prodi Administrasi Bisnis, dan Magister Administrasi Publik.
"Bayangkan 2.000 mahasiswa hilang, pendapatan dari mahasiswa tidak ada. Ditutup 2023," jelasnya saat dihubungi pada Senin, 30 Desember 2024.
Di Fakultas Kesehatan Teknik, katanya, hanya tersisa sekitar 300 mahasiswa, dan pendapatan dari fakultas tersebut tidak cukup untuk membayar gaji pegawai.
"Jadi, memang kita tidak bayar, ya, karena uangnya tidak ada," tambah Uce.
Uce mengklaim bahwa pihak yayasan tetap berkomitmen untuk membayar upah pegawai. Saat ini, yayasan sedang berusaha mencari dana dengan menjual aset, yaitu bangunan Kampus 1 yang terletak di Jalan Cipagalo Girang No 24, Margasari, Kota Bandung.
"Tapi belum ada yang nawar. Kalau itu laku sudah beres semuanya," tuturnya.
Selain menjual aset, Uce juga menyebutkan bahwa solusi lain yang akan diambil adalah membuka program studi baru dan mencari investasi.
"Makanya saya balikan, ada tidak pemasukan, kan tidak ada? Nah, untuk mengatasi itu kita kerjasama, kita rencananya akan bangun prodi baru sehingga bisa menerima mahasiswa baru lagi. Semoga Januari ini, kalau mahasiswa sudah masuk, target dari tim kita sih 1000-an dulu. Di samping itu, kita mencari investasi, semoga bisa kerjasama, bisa stabil lagi, bisa membayar gaji," pungkasnya.