Pertimbangan memilih kuota murni atau Webster
Merdeka.com - Soal perbedaan pandangan tentang formula perolehan kursi partai politik, atau formula konversi suara menjadi kursi, sesungguhnya sudah lama terjadi. Namun, tetap saja banyak politisi yang menggarap RUU Pemilu tidak paham. Mereka hanya melihat hasil simulasi yaitu lebih banyak atau tidak. Logika matematika diabaikan, apalagi aspek keadilan.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, metode kuota murni cenderung menguntungkan partai menengah dan merugikan partai besar dan kecil, sebaliknya metode kuota droop dan divisor d'Hont menguntungkan partai besar dan merugikan partai menengah kecil. Yang terbukti secara matematika paling fair adalah metode divisor Webster.
Mestinya metode webster jadi pilihan karena paling proporsional, tidak ada yang dirugikan juga tidak ada yang diuntungkan. Oleh karena itu metode ini banyak dipakai di negara-negara lain yang menggunakan sistem pemilu proporsional.
-
Bagaimana prinsip proporsional diterapkan dalam pemilu? Dalam prinsip ini, semakin banyak suara yang diperoleh, semakin banyak pula kursi atau perwakilan yang didapatkan.
-
Bagaimana asas pemilu menjamin keadilan? Asas ini menjamin bahwa semua pemilih dan peserta pemilu akan mendapatkan perlakuan secara adil dan bebas dari kecurangan dari pihak mana saja dalam penyelenggaraan pemilu.
-
Apa yang dimaksud dengan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup? Sistem pemilu proporsional tertutup adalah metode pemilihan umum di mana pemilih memberikan suaranya untuk partai politik, bukan untuk kandidat individual.
-
Bagaimana cara pemilu memastikan keadilan untuk semua? Dalam penyelenggaraan pemilu, baik pemilih maupun peserta pemilu harus mendapatkan perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan dari pihak mana pun.
-
Sistem pemilu apa yang dipakai di Indonesia saat ini? Sampai saat ini, sistem pemilu proporsional terbuka tetap diterapkan dalam pemilihan umum di Indonesia.
-
Bagaimana asas pemilu Indonesia diterapkan dalam praktik? Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, ada enam asas pemilu Indonesia yang harus dijunjung tinggi oleh penyelenggara, peserta, dan pemilih pemilu, yaitu: Asas langsung: rakyat sebagai pemilih mempunyai hak secara langsung memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. Asas umum: semua warga negara yang memenuhi persyaratan minimal dalam hal usia berhak ikut dalam pemilihan umum, baik memilih atau dipilih. Asas bebas: setiap warga negara yang telah memiliki hak memilih diberi kebebasan dalam menentukan pilihannya, tanpa tekanan dan paksaan, sesuai dengan hati nurani dan kepentingannya. Asas rahasia: dalam memberikan suara, kerahasiaan pemilih haruslah dijamin alias tidak akan diketahui oleh siapapun dengan cara apapun. Asas jujur: dalam menyelenggarakan pemilu, baik penyelenggara serta semua pihak yang terlibat, harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan yang berlaku. Asas adil: dalam penyelenggaraan pemilu, setiap pihak yang terlibat mendapat perlakuan yang sama serta bebas dari kecurangan pihak manapun. Keenam asas pemilu ini dikenal juga dengan akronim Luber Jurdil. Asas-asas ini bertujuan untuk memastikan proses pemilu berlangsung sesuai dengan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan kedaulatan rakyat.
Masalahnya mengapa PD, PAN, PPP, PKB, Gerindra dan Hanura, tidak mau beranjak dari metode lama (kuota murni) dan bergeser ke metode Webster sebagaimana disetujui PG, PDIP dan PKS?
Pertama, dari simulasi penghitungan perolehan kursi atas hasil Pemilu 2009 dengan menggunakan empat metode yang tersedia, maka tampak PAN, PPP, PKB, Gerindra dan Hanura, paling diuntungkan. Ini memang sejalan dengan bias metode kuota yang cenderung menguntungkan partai menengah.
Lihatlah hasil simulasi yang dilakukan oleh Perludem. Dengan metode kuota murni dalam Pemilu 2009, masing-masing partai mendapatkan PD 150 kursi DPR, PG (106), PDIP (96), PKS (57), PAN (42), PPP (38), PKB (27), Gerindra (26), Hanura (18). Sedangkan jika menggunakan metode Webster hasilnya adalah PD (154), PG (111), PDIP (97), PKS (61), PAN (39), PPP (37), PKB (25), Gerindra (23), Hanura (13).
Dengan hasil tersebut, maka bisa dipahami jika PG, PDIP dan PKS menginginkan metode Webster, sebab kursi ketiga partai ini naik, meskipun tidak banyak. Sementara PAN, PPP, PKB, Gerindra dan Hanura, kursinya turun, sehingga mereka ngotot mempertahankan metode kuota murni.
Yang mengherankan adalah sikap PD, meskipun kursi naik jika menggunakan metode Webster, tetapi dia berkukuh dengan lima partai menengah kecil lainnya untuk bertahan dengan metode kuota murni. Mengapa? Pertama, sebagai partai yang mendapatkan kursi lebih dari 3 di sebagian besar daerah pemilihan, PD tahu kursi ketiga itu didapatkan dari sisa suara.
Yang kedua, agaknya hal ini juga dipengaruhi oleh adanya dealing politik dengan PAN, PPP, PKB, Gerindra dan Hanura. Dengan PAN, PPP dan PKB jelas, mereka sama-sama pendukung pemerintahan SBY-Boediono. Bagaimana dengan Gerindra dan Hanura? "Mereka menjanjikan sesuatu jika kami ikut barusan kuota murni," demikian kata petinggi Gerindra.
Keberanian PG, PDIP dan PKS untuk mengajukan metode Webster memang patut dicatat. Memang ketiganya diuntungkan dengan metode tersebut, karena kursinya bertambah. Namun jika perolehan sura mereka turun sehingga menjadi partai menengah dalam pemilu mendatang, mereka juga tidak diuntungkan. Artinya mereka percaya diri.
Hal sebaliknya terjadi pada partai pengikut kuota murni. Mereka sepertinya tidak percaya diri bahwa perolehan suaranya akan naik sehingga mereka tetap dalam posisi yang paling menguntungkan partai menengah. Apakah ini juga pertanda bahwa PD kepercayaan dirinya jatuh, sehingga hanya jadi partai menengah yang akan diuntungkan bila menggunakan metode kuota?
Apapun pilihan partai, semua itu menunjukkan kalkulasi hasil Pemilu 2009. Padahal Pemilu 2014 nanti perolehan suara berubah. Lalu mengapa tidak berani mengambil metode yang paling fair, tidak merugikan atau pun menguntungkan partai besar atau pun partai kecil. Ya itulah pragmatisme politik: yang penting hari ini, besok urusan nanti. (mdk/lia)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
MK dianggap menyelamatkan wajah demokrasi Indonesia dengan menolak permohonan PDIP agar sistem pemilu diubah menjadi proporsional tertutup
Baca SelengkapnyaMK membuat norma pengaturan baru tentang syarat pencalonan berdasarkan jumlah penduduk dan prosentase suara sah partai.
Baca SelengkapnyaHakim MK bertanya terkait metode konversi dan ke mana sisa suara dialihkan ke KPU.
Baca SelengkapnyaDi antara tahun 1955 hingga Pemilu 1999, Indonesia sempat mengimplementasikan sistem pemilu proporsional tertutup.
Baca SelengkapnyaArman bersyukur DPR bakal mengikuti putusan MK untuk ajang kontestasi 27 Agustus mendatang.
Baca SelengkapnyaDalam sistem ini, pemilih memberikan suaranya kepada partai politik, bukan kandidat individual.
Baca SelengkapnyaGerindra menyebut mekanisme pemilihan ketua DPR masih sesuai UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (UU MD3).
Baca SelengkapnyaMK menegaskan hanya meminta pembentuk undang-undang untuk mengatur ulang besaran angka dan persentase ambang batas parlemen.
Baca SelengkapnyaFirman menjelaskan, bahwa UU MD3 itu awalnya dimasukkan dalam Prolegnas prioritas karena mempertimbangkan UU IKN.
Baca SelengkapnyaPakar hukum menilai putusan MK ini baik bagi demokrasi dan bisa mencegah monopoli pencalonan kepala daerah.
Baca SelengkapnyaMK mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan oleh mahasiswa dan karyawan swasta bernama Wanda Cahya Irani dan Nicholas Wijaya.
Baca Selengkapnya