Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Pertimbangan memilih kuota murni atau Webster

Pertimbangan memilih kuota murni atau Webster Ilustrasi. merdeka.com/dok

Merdeka.com - Soal perbedaan pandangan tentang formula perolehan kursi partai politik, atau formula konversi suara menjadi kursi, sesungguhnya sudah lama terjadi. Namun, tetap saja banyak politisi yang menggarap RUU Pemilu tidak paham. Mereka hanya melihat hasil simulasi yaitu lebih banyak atau tidak. Logika matematika diabaikan, apalagi aspek keadilan.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, metode kuota murni cenderung menguntungkan partai menengah dan merugikan partai besar dan kecil, sebaliknya metode kuota droop dan divisor d'Hont menguntungkan partai besar dan merugikan partai menengah kecil. Yang terbukti secara matematika paling fair adalah metode divisor Webster.

Mestinya metode webster jadi pilihan karena paling proporsional, tidak ada yang dirugikan juga tidak ada yang diuntungkan. Oleh karena itu metode ini banyak dipakai di negara-negara lain yang menggunakan sistem pemilu proporsional.

Orang lain juga bertanya?

Masalahnya mengapa PD, PAN, PPP, PKB, Gerindra dan Hanura, tidak mau beranjak dari metode lama (kuota murni) dan bergeser ke metode Webster sebagaimana disetujui PG, PDIP dan PKS?

Pertama, dari simulasi penghitungan perolehan kursi atas hasil Pemilu 2009 dengan menggunakan empat metode yang tersedia, maka tampak PAN, PPP, PKB, Gerindra dan Hanura, paling diuntungkan. Ini memang sejalan dengan bias metode kuota yang cenderung menguntungkan partai menengah.

Lihatlah hasil simulasi yang dilakukan oleh Perludem. Dengan metode kuota murni dalam Pemilu 2009, masing-masing partai mendapatkan PD 150 kursi DPR, PG (106), PDIP (96), PKS (57), PAN (42), PPP (38), PKB (27), Gerindra (26), Hanura (18). Sedangkan jika menggunakan metode Webster hasilnya adalah PD (154), PG (111), PDIP (97), PKS (61), PAN (39), PPP (37), PKB (25), Gerindra (23), Hanura (13).

Dengan hasil tersebut, maka bisa dipahami jika PG, PDIP dan PKS menginginkan metode Webster, sebab kursi ketiga partai ini naik, meskipun tidak banyak. Sementara PAN, PPP, PKB, Gerindra dan Hanura, kursinya turun, sehingga mereka ngotot mempertahankan metode kuota murni.

Yang mengherankan adalah sikap PD, meskipun kursi naik jika menggunakan metode Webster, tetapi dia berkukuh dengan lima partai menengah kecil lainnya untuk bertahan dengan metode kuota murni. Mengapa? Pertama, sebagai partai yang mendapatkan kursi lebih dari 3 di sebagian besar daerah pemilihan, PD tahu kursi ketiga itu didapatkan dari sisa suara.

Yang kedua, agaknya hal ini juga dipengaruhi oleh adanya dealing politik dengan PAN, PPP, PKB, Gerindra dan Hanura. Dengan PAN, PPP dan PKB jelas, mereka sama-sama pendukung pemerintahan SBY-Boediono. Bagaimana dengan Gerindra dan Hanura? "Mereka menjanjikan sesuatu jika kami ikut barusan kuota murni," demikian kata petinggi Gerindra.

Keberanian PG, PDIP dan PKS untuk mengajukan metode Webster memang patut dicatat. Memang ketiganya diuntungkan dengan metode tersebut, karena kursinya bertambah. Namun jika perolehan sura mereka turun sehingga menjadi partai menengah dalam pemilu mendatang, mereka juga tidak diuntungkan. Artinya mereka percaya diri.

Hal sebaliknya terjadi pada partai pengikut kuota murni. Mereka sepertinya tidak percaya diri bahwa perolehan suaranya akan naik sehingga mereka tetap dalam posisi yang paling menguntungkan partai menengah. Apakah ini juga pertanda bahwa PD kepercayaan dirinya jatuh, sehingga hanya jadi partai menengah yang akan diuntungkan bila menggunakan metode kuota?

Apapun pilihan partai, semua itu menunjukkan kalkulasi hasil Pemilu 2009. Padahal Pemilu 2014 nanti perolehan suara berubah. Lalu mengapa tidak berani mengambil metode yang paling fair, tidak merugikan atau pun menguntungkan partai besar atau pun partai kecil. Ya itulah pragmatisme politik: yang penting hari ini, besok urusan nanti. (mdk/lia)

Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Palu MK Selamatkan Demokrasi Indonesia
Palu MK Selamatkan Demokrasi Indonesia

MK dianggap menyelamatkan wajah demokrasi Indonesia dengan menolak permohonan PDIP agar sistem pemilu diubah menjadi proporsional tertutup

Baca Selengkapnya
Partai Gelora Sebut Putusan MK Soal Syarat Usung Calon Kepala Daerah Tak Sesuai Permohonan Uji Materi
Partai Gelora Sebut Putusan MK Soal Syarat Usung Calon Kepala Daerah Tak Sesuai Permohonan Uji Materi

MK membuat norma pengaturan baru tentang syarat pencalonan berdasarkan jumlah penduduk dan prosentase suara sah partai.

Baca Selengkapnya
Sidang Sengketa Pileg 2024, Hakim MK Cecar KPU Soal Sisa Suara Rekapitulasi
Sidang Sengketa Pileg 2024, Hakim MK Cecar KPU Soal Sisa Suara Rekapitulasi

Hakim MK bertanya terkait metode konversi dan ke mana sisa suara dialihkan ke KPU.

Baca Selengkapnya
Pengertian Pemilu Proporsional Tertutup adalah Berikut Ini, Simak Ulasannya
Pengertian Pemilu Proporsional Tertutup adalah Berikut Ini, Simak Ulasannya

Di antara tahun 1955 hingga Pemilu 1999, Indonesia sempat mengimplementasikan sistem pemilu proporsional tertutup.

Baca Selengkapnya
Untung Tak Disahkan, RUU Pilkada Bakal Ciptakan Dinasti Politik dan Kantung Kemiskinan di Daerah
Untung Tak Disahkan, RUU Pilkada Bakal Ciptakan Dinasti Politik dan Kantung Kemiskinan di Daerah

Arman bersyukur DPR bakal mengikuti putusan MK untuk ajang kontestasi 27 Agustus mendatang.

Baca Selengkapnya
Pengertian Sistem Pemilu Proporsional Tertutup,  Lengkap dengan Kekurangan dan Kelebihannya
Pengertian Sistem Pemilu Proporsional Tertutup, Lengkap dengan Kekurangan dan Kelebihannya

Dalam sistem ini, pemilih memberikan suaranya kepada partai politik, bukan kandidat individual.

Baca Selengkapnya
Gerindra Belum Wacanakan Revisi UU MD3 Tentukan Kursi Ketua DPR
Gerindra Belum Wacanakan Revisi UU MD3 Tentukan Kursi Ketua DPR

Gerindra menyebut mekanisme pemilihan ketua DPR masih sesuai UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (UU MD3).

Baca Selengkapnya
MK Bantah Hapus Ambang Batas Parlemen 4 Persen, Tegaskan Hanya Minta Atur Ulang
MK Bantah Hapus Ambang Batas Parlemen 4 Persen, Tegaskan Hanya Minta Atur Ulang

MK menegaskan hanya meminta pembentuk undang-undang untuk mengatur ulang besaran angka dan persentase ambang batas parlemen.

Baca Selengkapnya
Tak Bakal Revisi UU MD3, Golkar Tegas Ikuti Aturan Suara Terbanyak Jadi Ketua DPR
Tak Bakal Revisi UU MD3, Golkar Tegas Ikuti Aturan Suara Terbanyak Jadi Ketua DPR

Firman menjelaskan, bahwa UU MD3 itu awalnya dimasukkan dalam Prolegnas prioritas karena mempertimbangkan UU IKN.

Baca Selengkapnya
Pakar Hukum Apresiasi Putusan MK: Cegah Monopoli Calon Kepala Daerah
Pakar Hukum Apresiasi Putusan MK: Cegah Monopoli Calon Kepala Daerah

Pakar hukum menilai putusan MK ini baik bagi demokrasi dan bisa mencegah monopoli pencalonan kepala daerah.

Baca Selengkapnya
MK Kabulkan Gugatan Ubah Desain Surat Suara Pilkada Calon Tunggal Jadi Model Plebisit, Berlaku Mulai 2029
MK Kabulkan Gugatan Ubah Desain Surat Suara Pilkada Calon Tunggal Jadi Model Plebisit, Berlaku Mulai 2029

MK mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan oleh mahasiswa dan karyawan swasta bernama Wanda Cahya Irani dan Nicholas Wijaya.

Baca Selengkapnya