Cognitive Dissonance: Mengungkap Penyebab, Ciri, dan Solusi untuk Kesehatan Mental yang Lebih Seimbang
Apa itu cognitive dissonance? Simak penyebab, ciri-ciri, dan cara mengelolanya.
Cognitive dissonance adalah istilah dalam psikologi yang menggambarkan ketidaknyamanan yang dialami seseorang ketika keyakinan mereka tidak sejalan dengan tindakan yang diambil. Istilah ini juga merujuk pada ketegangan yang muncul ketika seseorang memegang dua keyakinan yang bertentangan. "Cognitive" berkaitan dengan pikiran, sedangkan "dissonance" mencerminkan kurangnya keselarasan.
Manusia cenderung mencari konsistensi dalam sikap dan persepsi mereka, sehingga konflik ini dapat menyebabkan perasaan tidak nyaman. Ketidaksesuaian antara keyakinan dan tindakan seseorang memotivasi mereka untuk mengambil langkah yang dapat meredakan perasaan tersebut. Berbagai cara bisa dilakukan untuk mengatasi ketegangan ini, seperti menolak, menjelaskan, atau menghindari informasi baru.
-
Cara mengatasi gangguan mental ? Kamu tidak dapat mengontrol semuanya. Terkadang kamu hanya perlu rileks dan yakin bahwa segala sesuatunya akan berhasil. Lepaskan sedikit dan biarkan hidup terjadi.
-
Apa saja tanda gangguan kesehatan mental? Berikut ini adalah beberapa tanda atau gejala yang bisa menjadi indikasi bahwa kita perlu memeriksakan kesehatan mental kita: Perubahan suasana hati yang ekstrem atau tidak stabil. Misalnya, merasa sangat sedih, marah, cemas, takut, atau bahagia tanpa alasan yang jelas. Perubahan perilaku yang signifikan atau tidak biasa. Misalnya, menjadi penyendiri, agresif, impulsif, atau tidak peduli dengan orang lain. Perubahan pola tidur atau nafsu makan yang drastis. Misalnya, sulit tidur atau tidur terlalu banyak; tidak nafsu makan atau makan terlalu banyak. Perubahan kinerja atau produktivitas di sekolah atau tempat kerja. Misalnya, sulit berkonsentrasi, sering lupa, kurang motivasi, atau sering absen. Perubahan minat atau kesenangan terhadap aktivitas yang biasa dilakukan. Misalnya, tidak lagi menikmati hobi, olahraga, atau bersosialisasi dengan teman. Perasaan tidak berharga, bersalah, putus asa, atau ingin bunuh diri. Mengalami halusinasi (melihat atau mendengar sesuatu yang tidak ada) atau delusi (percaya pada sesuatu yang tidak nyata). Mengonsumsi alkohol atau obat-obatan secara berlebihan untuk mengatasi masalah. Mengalami gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan secara medis. Misalnya, sakit kepala, nyeri dada, mual, atau sesak napas.
-
Bagaimana kesehatan mental dapat dijaga? Kesehatan mental adalah kondisi sejahtera di mana setiap individu dapat mewujudkan potensi mereka sendiri, mengelola stres yang dimiliki, beradaptasi dengan baik, bekerja secara produktif, dan berkontribusi untuk lingkungannya.
-
Kenapa pikiran negatif bisa merugikan kesehatan mental? Negatif thinking alias negative thinking adalah kecenderungan seseorang untuk menilai suatu hal dari sudut pandang keburukan (negatif). Pikiran negatif adalah jenis pikiran yang mengarah pada perasaan seperti kecemasan, kesedihan, kemarahan, dan putus asa.
-
Apa masalah kesehatan mental di Indonesia? Masalah kesehatan mental merupakan salah satu momok yang bisa sangat menakutkan.
-
Bagaimana cara menghadapi tantangan kesehatan mental? You are allowed to take up space and ask for what you need.
Dilansir dari WebMD, Teori cognitive dissonance pertama kali dijelaskan oleh psikolog Leon Festinger dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1957 berjudul “A Theory of Cognitive Dissonance.” Festinger mengamati anggota sebuah kultus yang percaya bahwa dunia akan hancur akibat banjir. Ketika ramalan itu tidak terbukti, anggota kultus mengalami konflik dalam pikiran mereka dan mengubah keyakinan untuk menjelaskan kesalahan prediksi tersebut.
Dilansir dari Medical News Today, Dalam bukunya Festinger menjelaskan bahwa ide-ide dapat saling mendukung (konsonan) atau saling bertentangan (disonan). Contohnya, seseorang yang ingin melindungi orang lain dan percaya bahwa pandemi COVID-19 itu nyata mungkin akan memakai masker di tempat umum, yang merupakan contoh konsonansi. Sebaliknya, jika orang yang sama percaya bahwa pandemi tersebut nyata tetapi menolak untuk memakai masker, maka nilai dan perilakunya bertentangan, menciptakan disonansi.
Penyebab Cognitive Dissonance
Berbagai situasi dapat memicu seseorang merasakan konflik antara dua keyakinan atau antara keyakinan dan tindakan mereka. Dilansir dari WebMD,berikut adalah beberapa penyebab umum dari cognitive dissonance:
- Informasi Baru: Mendapatkan informasi yang bertentangan dengan keyakinan sebelumnya, seperti mengetahui bahwa pemilik toko tidak baik kepada karyawan.
- Tekanan Sosial: Perilaku yang tidak sesuai dengan nilai diri akibat pengaruh dari lingkungan sosial.
- Kepatuhan Paksa: Terpaksa melakukan sesuatu di depan umum yang bertentangan dengan keyakinan pribadi.
- Keputusan Sulit: Menghadapi keputusan yang menimbulkan keraguan setelah memilih, seringkali disertai analisis pro dan kontra.
- Usaha yang Tidak Sejalan dengan Hasil: Merasa kecewa karena telah berusaha keras tetapi mendapatkan hasil yang tidak memuaskan.
Ciri-ciri Cognitive Dissonance terhadap Seseorang
Setiap orang mengalami cognitive dissonance dengan berbagai intensitas, namun tidak selalu mudah untuk mengenalinya. Dilansir dari Very Well Mind, berikut adalah beberapa tanda yang mungkin menunjukkan adanya disonansi kognitif:
- Ketidaknyamanan Sebelum Mengambil Keputusan: Merasa ragu atau cemas sebelum melakukan sesuatu.
- Mencari Pembenaran: Berusaha membenarkan keputusan atau tindakan yang telah diambil.
- Rasa Malu atau Canggung: Merasa malu atau ingin menyembunyikan tindakan yang dilakukan.
- Rasa Bersalah: Mengalami penyesalan atas sesuatu yang telah dilakukan.
- Tindakan karena Tekanan Sosial: Melakukan sesuatu akibat tekanan dari lingkungan meskipun tidak diinginkan.
Contoh Cognitive Dissonance
Dilansir dari Medical News Today, berikut adalah beberapa contoh umum dari cognitive dissonance:
- Merokok: Banyak orang merokok meskipun menyadari bahaya bagi kesehatan. Mereka mungkin tidak menyukai efek samping dari merokok, tetapi merasa bahwa merokok membantu mengurangi stres. Untuk mengatasi disonansi ini, mereka bisa menggunakan terapi pengganti nikotin untuk mengurangi dampak negatif sambil tetap merasakan manfaat nikotin.
- Mengonsumsi Daging: Beberapa orang yang menganggap diri mereka pencinta hewan mungkin merasa tidak nyaman saat mempertimbangkan asal-usul daging yang mereka konsumsi. Mereka menikmati rasa daging, tetapi merasa bersalah karena tidak membeli produk daging yang lebih etis.
- Melakukan Tugas Rumah Tangga: Seorang pria mungkin percaya pada kesetaraan gender tetapi secara tidak sadar mengharapkan pasangannya untuk melakukan sebagian besar pekerjaan rumah tangga. Setelah menyadari ketidakadilan ini, ia mungkin merasa bersalah, tetapi berusaha membenarkan perilakunya dengan berpikir bahwa pekerjaan rumah tangga tidak sulit.
- Mendukung Fast Fashion: Seseorang yang sadar akan dampak negatif fast fashion terhadap lingkungan dan pekerja mungkin tetap membeli pakaian murah dari perusahaan yang tidak etis. Meskipun merasa bersalah, mereka mungkin tidak mampu membeli pakaian yang lebih mahal dan etis.
Cara Mengelola Cognitive Dissonance
Dilansir dari WebMD, Untuk mengurangi cognitive dissonance, seseorang dapat melakukan beberapa langkah:
- Mengubah Keyakinan: Jika seseorang merasa tidak nyaman dengan kandidat politik yang didukung, mereka bisa mencari informasi lebih lanjut mengenai kebijakan yang bersangkutan untuk mendukung keputusan tersebut.
- Mengurangi Pentingnya Keyakinan: Dalam pencarian pasangan, seseorang mungkin perlu memprioritaskan beberapa sifat penting dan mengabaikan yang lain agar bisa menerima kenyataan yang ada.
- Menambahkan Keyakinan atau Informasi Baru: Jika memiliki kendaraan besar yang boros bahan bakar, seseorang dapat mengadopsi praktik ramah lingkungan lainnya untuk menyeimbangkan dampak negatifnya.
- Mengubah Perilaku: Terkadang, dorongan dari cognitive dissonance bisa mendorong seseorang untuk mengambil tindakan positif, seperti mengakhiri hubungan yang tidak sehat atau membela diri.
Untuk mengelola cognitive dissonance, seseorang bisa mengambil langkah-langkah seperti di atas yang dapat mendorong tindakan positif. Selain itu, mengedukasi diri tentang nilai-nilai yang lebih konsisten dengan perilaku yang diinginkan juga dapat membantu mengurangi perasaan tidak nyaman.