Canang Ceureukeh dan Alee Tunjang, Alat Musik Tradisional Khas Aceh yang Hampir Punah
Canang Ceureukeh dan Alee Tunjang merupakan alat musik tradisional khas Aceh yang hampir punah. Proses pembuatannya unik, karena harus meminta izin kepada alam.
Siang itu, sayup-sayup instrumen dari kayu mengalun merdu dari sebuah rumah di Desa Paya Teungoh, Kecamatan Simpang Keramat, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh. Bebunyian itu berasal dari salah satu alat musik tradisional bernama Canang Ceureukeh.
Bagi warga setempat, instrumen ini bukan sekedar penghasil nada ataupun media hiburan. Namun, keberadaannya dianggap penting di masa silam sebagai bagian dari tradisi pertanian nenek moyang setempat.
-
Angklung Caruk apa? Angklung Caruk dimainkan dua grup angklung yang saling berhadapan. Pelaksanaannya, masing-masing grup angklung bergantian membawakan lagu berbahasa using dan tarian.
-
Mengapa tradisi Peutron Aneuk penting bagi masyarakat Aceh? Wujud pelaksanaan Peutron Aneuk ini tak hanya sekedar tradisi turun-temurun saja. Tetapi, tradisi ini memiliki makna dan arti yang begitu mendalam khususnya bagi tumbuh kembang anak di masa depan.
-
Angklung Caruk dimainkan bagaimana? Angklung Caruk dimainkan dua grup angklung yang saling berhadapan. Pelaksanaannya, masing-masing grup angklung bergantian membawakan lagu berbahasa using dan tarian.
-
Apa ciri khas pantun bahasa Aceh? Pantun Aceh juga dikenal dengan bahasanya yang khas, menggunakan bahasa Aceh dengan ciri khasnya yang unik.
-
Kenapa Rencong Aceh jadi simbol Aceh? Senjata Pusaka Melansir dari situs resmi Pemprov Aceh, Rencong Aceh merupakan senjata pusaka bagi rakyat Aceh dan sudah menjadi simbol keberanian, keperkasaan, pertahanan diri dan kepahlawanan Aceh dari masa ke masa.
-
Kenapa Angklung Caruk berkembang? Saat itu, Angklung caruk berkembang pesat di kalangan masyarakat suku Using Banyuwangi.
Adalah Muhammad Isa Daud yang sampai sekarang melestarikan alat musik Canang Ceureukeh di tempat tinggalnya. Utoh Amad, sapaannya, bercerita bahwa kesenian ini sudah ada sejak dirinya masih anak-anak. Di masa itu, dia melihat orang tua dan kakeknya kerap memainkan alat musik pukul ini. Tidak diketahui pasti kapan alat musik ini pertama kali ditemukan. Namun diperkirakan eksistensinya sudah ada sejak beberapa dekade silam.
Utoh Ahmad menaruh perhatian khusus terhadap kelestarian Canang Ceureukeh. Di tempat kerjanya, yang berada di samping rumahnya, dia membuat instrumen tradisional ini agar keberadaannya tidak hilang di masa depan. Selain itu, dia juga membuat Alee Tunjang, alat musik tradisional Aceh yang juga terancam punah.
Dimainkan Selepas Masa Panen atau di Waktu Senggang
Muzayin Nazaruddin, dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, yang melakukan penelitian tentang alat musik ini, menjelaskan bahwa alat musik ini adalah bagian dari tradisi pertanian masyarakat setempat, khususnya dimainkan di waktu senggang selepas masa panen. Alat musik ini juga dimainkan untuk mengusir rasa sepi ketika warga pergi ke hutan, ke kebun, ataupun ke sawah.
“Canang Ceureukeh dimainkan ketika warga berada di kebun atau hutan, untuk mengusir suasana sepi. Canang Ceureukeh dan Alee Tunjang juga dimainkan ketika masa paska panen padi, sebagai hiburan pengisi waktu luang,” kata Muzayin kepada Merdeka.com baru-baru ini.
Meminta Izin kepada Alam
Terdapat kisah menarik di balik pembuatan Canang Ceureukeh. Utoh Amad tidak sembarangan memanfaatkan kayu sebagai bahan utama pembuatannya. Terdapat serangkaian ritual yang harus dilakukan, sebagai upaya menghormati sekaligus meminta izin, lantaran memanfaatkan sebagian kecil kekayaan alam pemberian Tuhan sebagai instrumen alat musik.
Pembuatan alat musik ini diawali dengan mencari kayu yang tepat. Kemudian, Utoh Amad memotong dan membelahnya. Selanjutnya, potongan kayu berbentuk persegi tersebut diolah dengan cara dihaluskan serta dibentuk sesuai ukuran biji canang.
Ketika empat potong canang sudah jadi, Utoh Amad kemudian menyetem canang hingga diperoleh suara dan nada yang tepat. Proses ini memerlukan pengerjaan lebih lanjut, sekaligus mengandalkan ketajaman perasaan dan intuisi musik.
“Secara umum, proses pembuatan Canang Ceureukeh dimulai dengan mencari pohon yang tepat. Ketika hendak menebang pohon, seorang penebang disarankan melakukan peusijuek, ritual khas masyarakat Aceh yang biasa dilakukan di berbagai upacara adat. Ritual ini adalah bentuk permohonan keselamatan dan keberkahan, ataupun sebagai ungkapan rasa syukur,” ujar Muzayin.
Cara Memainkan Canang Ceureukeuh dan Alee Tunjang
Canang Careukeuh berbentuk seperti saron, terdiri atas empat canang yang dibuat dengan bahan baku kayu. Empat potong canang tersebut diletakkan di atas dudukan kayu dan dimainkan dengan cara dipukul memakai dua stik pendek berbahan sama. Bunyinya serupa rindik asal Bali. Kombinasi pukulan akan menghasilkan irama tertentu. Variasi suara berasal dari cekungan dengan kedalaman berbeda di empat potong canang itu.
Sementara Alee Tunjang terdiri atas empat lesung kayu, berupa potongan kayu yang dibuat seperti tabung, memiliki lubang di bagian atasnya, dengan kedalaman dan lebar lubang yang berbeda antara lesung satu dengan lesung lainnya. Lesung ini dibunyikan dengan cara memukul-mukulkan batang dari pelepah pohon nira ke dalam lubang di atas lesung tersebut. Perbedaan kedalaman dan lebar lubang akan menciptakan suara yang berbeda ketika dipukul.
“Lesung ini dimainkan dengan memukul-mukulkan pelepah nira ke dalam lubang yang ada di sisi atas lesung terebut. Dua buah lesung masing-masing akan dimainkan oleh satu orang. Sementara dua lesung lainnya dimainkan oleh dua orang, yang secara bergantian memukul lubang lesung. Jadi, Alee Tunjang terdiri dari empat lesung dengan enam pemain,” tambah Muzayin.
Pesan di Balik Canang Ceureukeh dan Alee Tunjang
Sebagai salah satu kearifan lokal, Canang Ceureukeh tak hanya berfungsi sebagai alat musik tradisional. Kehadirannya turut berperan sebagai salah satu media penjaga lahan pertanian. Hal ini terkait suara yang ditimbulkan saat dipukul, di mana burung-burung ataupun hama tidak berani mendekati area persawahan maupun ladang.
Sedangkan Alee Tunjang merupakan alat musik tradisional yang juga berfungsi sebagai penanda status sosial. Dalam sejarahnya, instrumen ini hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu, seperti kepala desa maupun tokoh warga. Warga akan datang ke rumah para tokoh tersebut dan memainkan Alee Tunjang sebagai aktivitas hiburan pengisi waktu luang di masa paska panen.
“Ketika masa paska panen, Alee Tunjang akan ditaruh di depan rumah, dan tuan rumah akan mempersilahkan siapa pun warga yang datang untuk memainkannya. Jadi, dalam segi tertentu, kepemilikan Alee Tunjang juga menunjukkan status sosial,” papar Muzayin.
Upaya Pelestarian bersama The British Museum
Muzayin Nazaruddin dan tim, yang terdiri dari Risky Wahyudi, Anugrah Pambudi Wicaksono, Marjito Iskandar Tri Gunawan, Zaki Habibi, Ade Ikhsan Kamil, dan Marzuki, melakukan riset tentang Canang Ceureukeh dan Alee Tunjang sebagai bagian dari projek Endangered Material Knowledge Programme (EMKP), yang didanai oleh British Museum dan Arcadia Foundation.
“Riset ini adalah bagian dari projek Endangered Material Knowledge Programme (EMKP), dengan judul: Documenting the Endangered 'Pet Uno', 'Canang Ceureukeh', and 'Alee Tunjang' as Indigenous Forest and Farm Culture in Post-Conflict and Post-Tsunami Aceh, Indonesia,” terang Muzayin.
Menurut Muzayin, Canang Ceureukeuh dan Alee Tunjang terancam punah karena minimnya pembuat dan pemainnya. Selain itu, alat musik ini juga sangat jarang dipentaskan, hanya sedikit orang yang bisa memainkannya dibanding alat musik tradisional Aceh lainnya seperti Rapai atau Serune Kalee.
Utoh Amad adalah salah satu maestro yang masih setia membuat kedua alat musik nenek moyang ini. Dia juga bisa memainkannya, sekaligus berusaha mengenalkannya kepada generasi muda.
Selain Utoh Amad, terdapat juga Waki Leman yang biasa melatih anak-anak muda memainkan Alee Tunjang. Sayangnya, dua orang maestro tersebut sudah sangat tua sehingga dikhawatirkan sulit mendapatkan penerus yang bisa melestarikan Canang Ceureukeh dan Alee Tunjang. Salah seorang generasi yang lebih muda yang bisa membuat kedua alat musik tersebut adalah Abdul Muis, biasa dipanggil Bang Te, salah satu anak Utoh Amad, yang belajar cara membuat dua alat musik tersebut dari ayahnya.
“Di Aceh Utara, tampaknya tidak lebih dari sepuluh orang yang menguasai pengetahuan tentang kedua alat musik tersebut. Yang mengkhawatirkan, kedua alat musik tersebut sangat jarang dimainkan lagi,” tambah Muzayin.