Menilik Stasiun Kereta Api Binjai, Bukti Peninggalan Zaman Kolonial Belanda di Sumatra Utara
Stasiun Binjai, salah satu peninggalan zaman Belanda yang masih kokoh dan berfungsi dengan baik.
Salah satu peninggalan sejarah di bidang perkeretaapian ini masih begitu kental dengan nuansa kolonial Belanda.
Menilik Stasiun Kereta Api Binjai, Bukti Peninggalan Zaman Kolonial Belanda di Sumatra Utara
Masa kolonial di Indonesia telah meninggalkan beragam bangunan kuno yang bahkan sampai sekarang masih berfungsi dan digunakan sebagai fasilitas masyarakat. Salah satu peninggalannya berupa stasiun kereta api.
Di Kota Binjai terdapat sebuah bangunan stasiun kereta api yang konon sudah berdiri sejak zaman Belanda. Stasiun tersebut bernama Stasiun Binjai atau yang dulunya bernama Stasiun Timbang Langkat.
-
Kenapa Belanda membangun jalur kereta di Sumatra Barat? Sumatra Barat menjadi salah satu lokasi yang dipilih Belanda untuk dibangun jalur kereta di sana. Pasalnya, di daerah tersebut ditemuan sebuah pertambangan batu bara tepatnya di Sawahlunto tahun 1868.
-
Apa peninggalan Belanda di Tapanuli Selatan? Salah satu jejak peninggalan kolonial Belanda ada di Tapanuli Selatan berupa kolam renang.
-
Di mana perkebunan sawit Belanda pertama di Sumatra? Pada Masa kolonial Hindia Belanda, perkebunan kelapa sawit menjadi sebuah industri berskala besar dengan dibukanya perusahaan bernama Sungai Liput Cultuur Maatschappij oleh Adrien Hallet dan K. Schadt di Pantai Timur Sumatra, tepatnya di Deli pada 1911.
-
Dimana bekas Stasiun Boyolali berada? Perkiraan lokasi Stasiun Boyolali terletak setelah Kantor Kelurahan Siswodipuran hingga depan Panti Marhaen.
-
Kenapa jalur kereta api Solo-Boyolali penting bagi Belanda? Tujuan NIS mengakuisisi jalur kereta api Solo-Boyolali adalah karena daerah tersebut dianggap penting oleh Belanda. Selain daerah yang subur, Boyolali juga memiliki beberapa sumber air bersih dan beberapa pabrik gula.
-
Stasiun kereta api mana di Sumatra Utara yang terhubung dengan rute kereta api Medan? Pasalnya, Sumatra memiliki rute kereta api yang melewati Medan, Siantar, Tebing Tinggi, Kisaran, Padang Halaban, Tanjung Balai, Batang Kuis, Lubuk Pakam, serta Rantau Prapat.
Secara fisik, bangunan stasiun tersebut begitu kental dengan gaya arsitektur perpaduan Eropa dan juga budaya lokal yang artinya menyesuaikan dengan kondisi pada saat itu.
Penasaran dengan stasiun peninggalan Belanda tersebut? Simak ulasannya yang dihimpun dari beberapa sumber berikut ini.
Pertahankan Keasliannya
Mengutip cagarbudaya.sumutprov.go.id, Stasiun Binjai merupakan stasiun kereta api kelas II di ketinggian 29,52 meter di atas permukaan laut. Stasiun ini termasuk dalam Divisi Regional (Divre) I Sumatra Utara dan Aceh.
Konon stasiun ini dibangun sekitar tahun 1887. Stasiun ini memiliki ciri khas bangunan yang didominasi dengan gaya Belanda. Meski bangunan ini tergolong tua, secara fisik Stasiun Binjai masih kokoh dengan mempertahankan keasliannya, berbeda dengan stasiun lainnya yang ada di Sumatra Utara.
Sampai detik ini, stasiun yang berada di Jalan Ikan Pasu, Kecamatan Binjai Timur ini masih berfungsi dilewati kereta api setiap hari namun tak sebanyak stasiun-stasiun lainnya.
Didesain Tahan Iklim Tropis
Mengutip artikel Universitas Sumatera Utara karya Ludy Hartono (2017), bangunan Stasiun Binjai tergolong dalam arsitektur indis yang gaya bangunannya perpaduan antara Belanda. Lalu bangunannya menyesuaikan dengan keadaan wilayah.
Pembangunan stasiun ini disengaja agar tahan terhadap iklim tropis di Indonesia. Hal ini sangat berhubungan dengan pergantian musim kemarau ke musim penghujan yang berpotensi mengalami kerusakan pada fisik bangunan.
Untuk mengatasi hal tersebut, bangunan Stasiun Binjai didesain ramping yang memungkinkan penggunaan bukaan yang banyak pada sekitar bangunan sehingga memudahkan pergantian udara yang sangat diperlukan di iklim tropis.
Ada Ornamen Bergaya Belanda
Salah satu bukti bangunan ini dibangun zaman kolonial adalah di bagian ornamen yang diambil dari perkembangan arsitektur di Eropa. Hal ini terbukti banyaknya penggunaan ornamen di setiap dinding bangunan.
(Foto: wikipedia)
Bagian ornamen yang cukup menonjol adalah hood molding yang mudah dijumpai pada bagian pintu dan jendela stasiun. Kemudian ada dado berwarna abu-abu yang berada di bagian dinding stasiun.
Terakhir, terdapat Plinth atau semacam bagian lekukan siku-siku yang menambah kesan berbeda di bagian dinding. Ornamen ini bisa ditemukan di beberapa sudut dinding bangunan stasiun.
Gunakan Arsitektur Melayu
Tak hanya gaya Belanda, bukti bangunan ini bergaya arsitektur Indis terlihat dari penggunaan arsitektur Melayu yang terlihat pada lubang angin tepat di atas pintu atau jendela.
Bukan untuk bergaya saja, rupanya fungsi dari lubang angin tersebut memang dirancang untuk mengalirkan udara dan memasukkan cahaya ke dalam ruangan yang masih berkaitan dengan iklim tropis.
Bagian lainnya ada pada tiang stasiun yang masih menggunakan kayu sebagai bahan utamanya. Tiang-tiang tersebut berfungsi untuk menopang atap stasiun. Terlihat pula bagian atas tiang menggunakan sistem gapit yang berciri khas arsitektur Melayu.