Ilmuwan Menelisik Perilaku Asal Usul Ciuman, Siapa yang Memulai?
Ciuman telah menjadi simbol kasih sayang dalam berbagai budaya. Namun, apakah ini kebiasaan universal manusia atau hanya budaya tertentu?
Sebuah penelitian mencoba mengupas secara tuntas bagaimana awal mula orang-orang melakukan ciuman. Mengutip IFLScience, Kamis (31/10), sebagaimana diketahui, ciuman menjadi cara yang serbaguna untuk menunjukkan kasih sayang, keintiman, dan barangkali bagi sebagian negara mencerminkan rasa hormat.
Tetapi, pada penelitian terdahulu belum jelas bagaimana ciuman menjadi penting bagi spesies manusia. Beberapa berpendapat bahwa asal-usulnya berasal dari perilaku perawatan antara ibu dan bayi atau dalam bentuk pemberian makanan dengan mengunyah terlebih dahulu.
-
Siapa yang memulai tradisi ini? Tradisi itu berasal dari seorang tokoh syiar Islam di Klaten bernama Ki Ageng Gribig.
-
Siapa yang menemukan jejak kanibalisme? Fosil tulang kering ini ditemukan pada koleksi Museum Nasional Kenya di Nairobi oleh Briana Pobiner, seorang paleoantropolog dari National Museum of Natural History, Washington DC, Amerika Serikat.
-
Kapan kanibalisme terjadi pada nenek moyang manusia? Bekas luka sembilan sayatan pada fosil tulang kering manusia ungkap kemungkinan nenek moyang kita 1,45 juta tahun lalu saling bantai untuk praktik kanibalisme.
-
Kapan tradisi ini pertama kali muncul? Menurut sejarah, tradisi itu muncul pertama kali saat Ki Ageng Gribig baru pulang dari Makkah usai melaksanakan ibadah haji.
-
Apa kontribusi ilmuwan ini? Salah satu kontribusi terpenting Brahe adalah pengamatan yang sangat akurat terhadap gerakan planet Mars. Data yang dikumpulkannya menjadi landasan penting bagi Johannes Kepler dalam pengembangan hukum gerak planet.
-
Kapan tradisi ini dimulai? Tradisi undangan berhadiah kopi saset hingga bumbu masak telah lama digunakan masyarakat Majalengka sebelum melangsungkan hajatan.
Teori lain menyebut bahwa ciuman bisa menjadi semacam tes kecocokan untuk mencium atau mencicipi mikroflora pasangan guna menilai kesehatan genetik mereka. Karena belum jelas asal usulnya, para ilmuwan mencoba melakukan riset pada perilaku primata.
Hasilnya, sulit menemukan perilaku yang serupa dengan ciuman manusia. Beberapa hewan melakukan kontak erat seperti bergesekan, tetapi hanya simpanse dan bonobo yang memiliki perilaku serupa dengan ciuman.
Menurut Adriano R. Lameira dari Universitas Warwick, dalam studi komprehensifnya mengungkapkan bahwa perilaku perawatan, seperti membersihkan sesama kawan, adalah cara utama untuk membentuk dan memelihara ikatan sosial pada kera besar.
Dengan demikian, bisa jadi ciuman muncul sebagai sisa perilaku leluhur ketika kera saling merawat secara bersamaan. Lameira menulis bahwa pada manusia, ciuman mungkin bertahan karena efek hedonik tambahan yang menyenangkan secara fisik. Namun, studi lebih lanjut dibutuhkan untuk memvalidasi asumsi ini.
Hanya Sekadar Budaya?
Pada 2015, sebuah studi terhadap 168 budaya menemukan bahwa hanya 46 persen yang terlibat dalam ciuman romantis. Banyak budaya pemburu-peramu tidak mencium, dan sebagian bahkan menganggapnya menjijikkan. Ini menunjukkan bahwa ciuman mungkin hanyalah budaya tertentu, bukan perilaku universal pada manusia.
Dengan demikian, ciuman adalah praktik yang diatur oleh aturan. Ada waktu dan tempat untuk melakukannya, dengan aturan sosio-kultural yang mendalam yang menentukan siapa yang bisa mencium siapa dan bagaimana melakukannya, tergantung budayanya.
Misalnya, dalam budaya Romawi, ada beberapa jenis ciuman yang memiliki peran berbeda sesuai konteksnya – “osculum” adalah ciuman di pipi yang menandakan kasih sayang sosial dan keluarga (bukan romantis); “basium” adalah ciuman di bibir yang menandakan hubungan erat antara anggota keluarga atau pasangan tanpa konotasi seksual; dan “savium”, ciuman di bibir yang menyiratkan keinginan seksual antara pasangan.
Di Eropa Latin modern, dua ciuman di pipi bisa digunakan sebagai salam antara wanita atau lawan jenis (meski pria biasanya berjabat tangan), namun ada juga variasi regional. Di kesempatan lain, mencium cincin, tangan, atau kaki seseorang menunjukkan rasa hormat, terutama dalam konteks seremonial atau keagamaan.