Uskup Agung Bereaksi Tegas Soal Korupsi sampai Bilang Politik Busuk Jadi Alat Mematikan
Kata dia, korupsi belakangan dijadikan alat membunuh untuk menjegal orang demi kepentingan tertentu.
Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) menyampaikan sejumlah hal dalam pesan Natal 2024. Salah satu yang disoroti yakni mengenai kasus korupsi di tanah air.
Kondisi tersebut membuat Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo angkat bicara mengenai beberapa penyebab korupsi merajalela. Dia mengungkap soal budaya feodal hingga sistem tata negara.
Tata kelola negara yang amburadul juga membuat praktik korupsi langgeng di Tanah Air. Bahkan kata dia, korupsi di Indonesia belakangan dirasa menjai alat untuk menjegal orang demi kepentingan tertentu. Berikut ulasan selengkapnya, dilansir dari kanal YouTube MerdekaDotCom, Jumat (27/12).
Uskup Agung soal Korupsi
Dalam pesan Natal 2024, Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) menyoroti maraknya kasus korupsi di Indonesia. Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo menyampaikan, korupsi dilakukan oleh mereka yang mengingkari jati dirinya sendiri.
Namun jika dilihat dalam spektrum yang lebih luas, dia menuturkan korupsi merupakan suatu kenyataan yang begitu kompleks.
"Menurut saya, jati diri orang yang korupsi itu diingkari. Itu kalau kita ngomong tentang konsep. Kalau kita melihat secara luas, korupsi itu merupakan suatu realitas yang sangat kompleks," terangnya.
Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo mencontohkan soal korupsi dari kacamata budaya yang menurutnya mengakar kuat dari feodalisme.
Budaya feodal cenderung membuat seseorang di dalamnya hasu akan kedudukan dan rasa gengsi yang cukup besar. Hingga akhirnya, semua hal tersebut menuntunnya untuk melakukan praktik korupsi.
"Saya ambil contoh soal budaya. Diingkari seperti apapun, budaya masyarakat kita adalah budaya feodal. Ketika seseorang hidup di dalam feodal, dia akan berpikir mengenai gengsi dan kedudukan," ungkapnya.
"Kalau orientasinya seperti itu, segala cara akan dilakukan untuk mencapai yang dicari, entah kekuasaan atau gengsi. Dan semua itu butuh uang, jadilah korupsi," imbuh Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo.
Korupsi Jadi Alat Menjegal Orang
Dalam kesempatan itu juga, Uskup Agung turut menambahkan mengenai korupsi dari sudut pandang sistem tata kelola negara.
Menurutnya, praktik korupsi cenderung rentan terjadi jika sistem tata kelola negara berlangsung amburadul. Bahkan, kata dia, kasus korupsi belakangan ini di Indonesia justru cenderung dijadikan alat untuk menjegal orang demi kepentingan tertentu.
"Kedua yakni sistem tata kelola negara ini. Kita semua mendengar, akhir-akhir ini kok korupsi malah dijadikan alat ya untuk membunuh orang atau menjegal orang," ungkapnya.
Secara terang-terangan, Uskup Agung menyebut jika hal demikian tak lain merupakan contoh dari praktik politik busuk.
"Korupsi dibiarkan, namun pada saat waktunya nanti akan digunakan untuk kepentingan atau orang tertentu. Itu kan politik yang busuk sebetulnya dan segala macam cara," tegasnya.
Politisi Ditetapkan jadi Tersangka Korupsi
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan politikus senior sekaligus Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto sebagai tersangka korupsi dari kasus Harun Masiku, terkait suap Pergantian Antarwaktu (PAW) terhadap mantan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.
Hal tersebut disampaikan langsung oleh Ketua KPK Setyo Budiyanto saat konferensi pers di KPK, Rabu (24/12). Hal tersebut sebagaimana dalam surat perintah penyidikan (Sprindik) yang dikeluarkan pada 23 Desember 2024.
"Dengan uraian Sprindik perkara tipikor yang dilakukan tersangka HK (Hasto Kristiyanto) bersama HM (Harun Masiku) dan kawan-kawan berupa pemberian hadiah dan janji ke Wahyu, selaku anggota KPU bersama dengan Agustiani terkait penetapan anggota DPR RI," Kata Budi, Rabu (24/12).
Hasto dianggap turut serta dalam perkara suap kepada Wahyu untuk memasukan Harun Masiku sebagai salah satu anggota DPR RI dalam PAW.
Diberitakan sebelumnya, dalam surat Sprindik Hasto dijerat tersangka berdasarkan pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.